Selasa, 04 September 2012


Fenomena Masyarakat Miskin Perkotaan

Pendahuluan
Keberadaan sebuah realitas masyarakat tidak dengan sendirinya muncul, ada sesuatu sebab yang kemudian menjadikan kondisi itu terjadi dalam kehidupan. Bermacam sebab yang menghadir sebagai realitas, menandakan bahwa sebab itu adalah kenyataan di alam dari sebuah persoalan. Dengan kata lain sebab itu sendiri adalah persoalan, yang kemudian menimbulkan permasalahan. Secara ontologis, keberadaan masyarakat miskin ataupun kaya, keberadaannya adalah sama, yaitu masyarakat itu sendiri. Pada wilayah aksiologis yang kemudian terjadi batasan antara yang satu dengan yang lain, beserta atributnya. Maka, untuk melihat sebagai sebuah kesatuan antara yang ontologis dan aksiologis dipergunakan pengetahuan untuk menempatkan dalam proporsinya.
Melihat fakta yang ada, keberadaan semua kategori masyarakat itu sama-sama ada, entah itu masyarakat miskin, dunia ketiga, borjuis, eropa, modern dan sebagainya. Sehingga beradaannya tidak memunculkan persoalan. Yang memunculkan persoalan, ketika berada pada dataran nilai (aksiologisnya) atau riilnya, yang secara epistologis dapat dilihat sebagai pengetahuan, yaitu kemiskinan sebagai realitas.
Bagi kota-kota besar di Indonesia, persoalan kemiskinan merupakan masalah yang serius karena dikhawatirkan akan menyebabkan terjadinya kantong-kantong kemiskinan yang kronis dan kemudian menyebabkan lahirnya berbagai persoalan sosial di luar kontrol atau kemampuan pemerintah kota untuk menangani dan mengawasinya. Kemiskinan merupakan salah satu masalah sosial di Indonesia yang tidak mudah untuk diatasi. Beragam upaya dan program dilakukan untuk mengatasinya, namun masih saja banyak kita jumpai permukiman masyarakat miskin di hampir setiap sudut kota yang disertai dengan ketidaktertiban dalam hidup bermasyarakat di perkotaan. Misalnya yaitu, pendirian rumah maupun kios dagang secara liar di lahan-lahan pinggir jalan sehingga mengganggu ketertiban lalu lintas yang akhirnya menimbulkan kemacetan jalanan kota. Masyarakat miskin di perkotaan itu unik dengan berbagai problematika sosialnya sehingga perlu mengupas akar masalah dan merumuskan solusi terbaik bagi kesejahteraan mereka. Dapat dijelaskan bahwa bukanlah kemauan mereka untuk menjadi sumber masalah bagi kota namun karena faktor-faktor ketidakberdayaanlah yang membuat mereka terpaksa menjadi ancaman bagi eksistensi kota yang mensejahterahkan[1].
Untuk itu kewajiban pemerintah sangat diperlukan keefisienannya dalam menghadapi permasalahan masyarakat miskin kota ini. ”Pemerintahan perkotaan yang baik selalu berupaya menemukan cara-cara untuk dapat melibatkan kelompok miskin perkotaan, sehingga kebutuhan mereka dapat direfleksikan dalam kebijakan dan program-program pemerintah kota. Pencapaian untuk alternatif perkotaan masa depan sangat tergantung pada seberapa jauh kelompok-kelompok miskin mampu mengorganisasikan diri, yang tidak hanya terbatas dalam lingkup wilayah mereka tetapi juga dapat menghasilkan suatu kekuatan politik secara lebih besar dalam skala kota dan bangsa.” (Panos: Governing Our Cities). Keluhan yang paling sering disampaikan mengenai permukiman masyarakat miskin biasanya adalah rendahnya kualitas lingkungan yang dianggap sebagai bagian kota yang mesti disingkirkan[2].
Di kota-kota besar di negara-negara Dunia biasa ditemukan adanya daerah kumuh atau pemukiman miskin. Adanya daerah kumuh ini merupakan pertanda kuatnya gejala kemiskinan, yang antara lain disebabkan oleh adanya urbanisasi berlebih, di kota-kota tersebut. Secara umum, daerah kumuh (slum area) diartikan sebagai suatu kawasan pemukiman atau pun bukan kawasan pemukiman yang dijadikan sebagai tempat tinggal yang bangunan-bangunannya berkondisi substandar atau tidak layak yang dihuni oleh penduduk miskin yang padat. Kawasan yang sesungguhnya tidak diperuntukkan sebagai daerah pemukiman di banyak kota besar, oleh penduduk miskin yang berpenghasilan rendah dan tidak tetap diokupasi untuk dijadikan tempat tinggal, seperti bantaran sungai, di pinggir rel kereta api, tanah-tanah kosong di sekitar pabrik atau pusat kota, dan di bawah jembatan.
Stigmatisasi pembangunan perkotaan memposisikan kawasan dan lingkungan permukiman kumuh adalah penyakit kota. Kawasan dan lingkungan permukiman kumuh dianggap sebagai bagian wilayah kota yang sangat tidak produktif, kotor, tidak memiliki potensi, tidak efisien dan mengganggu estetika serta keindahan. Pendekatan konvensional yang paling populer adalah menggusur permukiman kumuh dan kemudian diganti oleh kegiatan perkotaan lainnya yang dianggap lebih bermartabat. Cara seperti ini yang sering disebut pula sebagai peremajaan kota yang ternyata bukanlah cara yang berkelanjutan untuk menghilangkan kemiskinan dari perkotaan. Kemiskinan dan kualitas lingkungan yang rendah adalah hal yang mesti dihilangkan tetapi tidak dengan menggusur masyarakat yang telah bermukim lama di lokasi tersebut. Menggusur adalah hanya sekedar memindahkan kemiskinan dari lokasi lama ke lokasi baru dan kemiskinan tidak berkurang. Bagi orang yang tergusur malahan penggusuran ini akan semakin menyulitkan kehidupan mereka karena mereka mesti beradaptasi dengan lokasi permukimannya yang baru. Apalagi berkenaan dengan upaya pengembangan dan penguatan masyarakat, lemahnya pilihan taktis dan strategis dalam upaya pemecahan problem kaum miskin di perkotaan, sehingga yang terjadi justru penegakan kepentingan elit dan lebih mengejar target soisal-ekonomi-politik saja dan pemecahan masalahpun terkesan setengah hati. Stigma negatif terhadap komunitas dan lingkungan permukiman kumuh pada hakekatnya mengingkari kesejarahan kota, sedangkan praktek penggusuran dan pengusiran merupakan praktek pelanggaran terhadap hak-hak konstitusional, hak tradisional maupun hak asasi manusia yang melekat pada setiap warga dan masyarakatnya. Pada sisi lain, stigmatisasi tersebut sekaligus menunjukkan adanya sindrom inferioritas di kalangan pengelola kebijakan dan pemerintahan, yakni berupa ketidakberdayaan dan rendahnya kapasitas dalam mengelola pembangunan dan penciptaan kesejahteraan rakyat. Persoalan lebih mendasar dari stigmatisasi komunitas dan kawasan lingkungan permukiman kumuh, adalah bias sektoral pembangunan yang berorientasi pertumbuhan. Rumah hunian dan lingkungan permukiman merupakan bagian eksistensial bagi setiap manusia, sehingga praktek penggusuran dan pengusiran tersebut dapat dikatakan sebagai praktek dehumanisasi pembangunan. Tidak teringkari bahwa kawasan dan lingkungan permukiman kumuh perkotaan berkembang di luar kendali kebijakan dan sistem penataan ruang kawasan perkotaan. Dalam banyak kasus masyarakat pemukim kawasan ini berhadapan dengan persoalan laten terkait dengan ketidakpastian status hukum penguasaan dan penggunaan lahan, menempati lahan yang dalam perspektif lingkungan dan pengelolaan kawasan tidak direkomendasikan sebagai daerah hunian sampai lahan publik. Tidak ayal jika tanah-tanah in-absensia, bantaran sungai, penyangga jalan kereta api, pemakaman umum dan kawasan sekitar pembuangan akhir sampah perkotaan dikerumuni gubug-gubug, rumah semi permanen dan kemudian juga rumah permanen. Lingkungan permukiman kumuh tersebut miskin fasilitas umum dan dihuni para pekerja kota dalam berbagai sektor dan jenis pekerjaan. Di kawasan seperti ini kualitas lingkungan dan peri-kehidupan masyarakatnya buruk, sehingga mudah terjangkit berbagai persoalan penyakit endemik serta sarat masalah sosial dan kemiskinan. Konflik-konflik keagrariaan kota berkembang dan secara eksplosif muncul setiap saat. Persoalan yang terus mengendap dan laten menilik pada lemahnya penyelenggaraan hukum, perlindungan hak warga dan ketidakpastian serta inkonsistensi implementasi kebijakan penataan dan pengelolaan ruang kawasan. Komitmen pemerintah terhadap masalah kemiskinan, jaminan perlindungan dan pemenuhan hak-hak dasar manusia serta penanganan masalah permukiman kumuh merupakan usaha pemerintah menjalankan kewajiban konstitusionalnya atas hak-hak asasi warga yang dijamin konstitusi negara. Komitmen demikian memperoleh dorongan penguatan dari komitmen internasional.
Ditengah berbagai kelemahan dan kekurangan dalam sistem penyelenggaraan pengembangan perkotaan dan pelayanan permukiman yang ada dewasa ini, orientasi dan paradigma baru pembangunan kota, khususnya perumahan dan permukiman perkotaan, harus ditempuh. Stigma pengembangan kota sebagai penggusuran kelompok tak berdaya harus dihilangkan, sebaliknya pemberdayaan setiap pihak yang terlibat perlu ditingkatkan. Implementasi dari tekad dan komitmen ini masih membutuhkan penyempurnaan, baik proses maupun model dan polanya. Penyempurnaan ini nampaknya tidak cukup melalui peningkatan aspek ketrampilan profesional (professional skills) semata, akan tetapi juga menghendaki adanya perubahan paradigma. Perubahan ini justru menjadi dasar yang akan menentukan proses, pola dan model dalam sistem pengembangan kota. Perubahan paradigma dimaksud, tidak hanya untuk pengembangan kota tetapi merupakan tuntutan dan bagian integral dari pelaksanaan otonomi daerah; sebagai hak dan kewajiban daerah untuk mengurus dan mengatur daerah otonomi termasuk hal-hal yang menyangkut asas desentralisasi, terkait dengan pembagian dan penyerahan maupun pelimpahan wewenang secara proporsional[3].
Orientasi dan paradigma baru terkait dengan pijakan sikap, pikiran dan tindakan politik pemerintahan dan pembangunan yang mendudukkan rakyat (masyarakat) sebagai subyek dan bagian integral dalam penyelenggaraan negara. Perubahan ini menuntut penyempurnaan pada berbagai aspek, terutama terkait dengan kebijakan, pengelolaan sumberdaya aparat serta model, pendekatan dan metode kerja pembangunan dan pelayanan. Dalam pembangunan kota sebagai usaha penataan dan peningkatan kualitas lingkungan permukiman kumuh, secara paradigmatik pemerintah dituntut sikap keberpihakannya pada warga dan masyarakat penghuninya. Operasionalisasi pelayanan permukiman dituntut untuk selaras dengan penataan ruang kawasan perkotaan yang ada, namun aspirasi, inisiatip dan kepentingan warga miskin dan kelompok berpenghasilan rendah merupakan hal yang utama. Hal ini berarti merubah orientasi dan pandangan yang sebelumnya dominan, bahwa perumahan dan permukiman adalah persoalan individual warga sebagaimana tercermin dari model dan pendekatan pasar dalam pembangunan perumahan. Proses kerja dan pembelajaran bersama untuk membangun hubungan dan kerjasama pemerintah dan masyarakat menjadi pokok yang penting dan harus dijalani seluruh elemen pemerintahan. Pemerintah bersama seluruh aparat, kedinasan dan kebijakannya dituntut untuk bertindak partisipatoris dalam realitas kehidupan masyarakatnya dengan maksimalisasi peran sebagai regulator, pelayan dan pemberdaya masyarakat/warga dalam mencapai kesejahteraan.
Peran multi-pihak seperti swasta/dunia usaha, organisasi non-pemerintahan maupun perguruan tinggi dan lainnya dalam proses ini adalah kunci yang lain. Keterlibatan multi-pihak merupakan penguatan sistem dukungan bagi keberlanjutan usaha pembangunan perkotaan. Seperti pembangunan kawasan bisnis oleh swasta didorong dengan tetap menempatkan dan menguatkan keberadaan masyarakat di sekitarnya sebagai bagian dari keutuhan sistem kota secara sosial, ekonomi, politik dan budaya. Pembebasan lahan jangan sampai dioperasionalkan sebagai praktek jual-beli dan pengusiran, tetapi kerjasama sinergis dalam penataan kawasan dengan masyarakat kota, terutama pemukim kawasan terbangun, sebagai subyek yang tidak boleh dinomorduakan.Bagaimanapun, pilihan warga untuk bertahan dan menghuni kawasan permukiman padat dan kumuh perkotaan karena asesibilitasnya yang mudah terhadap ruang kerja dan penghidupan mereka. Tempat-tempat demikian memungkinkan pekerja berpenghasilan terendah dapat hidup dan menjalankan berbagai aktivitas produktif dengan biaya terendah dalam suatu kegiatan ekonomi. Permukiman kumuh dapat memfasilitasi eksistensi dari bentuk keunggulan ekonomi komparatif ; memberi fungsi ekonomi dengan biaya yang kompetitif, baik dalam skala perekonomian tingkat kota, wilayah maupun global ; serta sebagai sumber keunggulan perekonomian kota. Mengelola tempat-tempat ini dengan baik, di bagian wilayah manapun, merupakan kunci untuk menjamin kesuksesan ekonomi dan kestabilan demokrasi.
Realitas kemiskinan dalam dunia global, nation state dan agama jelas berbeda penyebab dan keberadaan kemiskinan itu sendiri. Pada masyarakat global, kemiskinan justru-bagi mereka pendukung globalisasi-lahir karena tidak mengikuti arus yang sedang mengglobal saat ini, yaitu masyarakat bergerak sebagai satu keseluruhan. Inilah yang dikehendaki oleh globalisasi. Untuk mendukung globalisasi, muncullah para aktor-aktor sebagai pemain utamanya. Bank Dunia, WTO, IMF, NAFTA, APEC, Perusahaan-perusahaan transnasional dan lainnya mendesain ‘arena bermain’ demi mendulang keuntungan kapital berupa pasar bebas. Dengan permainan itu, pergadangan global yang dipandu oleh prinsip yang menuntut liberalisasi pasar, jelas bermuara pada keserakahan berupa maksimalisasi keuntungan. Lebih mengenaskan lagi, untuk memaksimalisasi keuntungan ini ternyata bergerak tak hanya pada perdagangan barang dan jasa, tetapi telah meliputi seluruh aspek kehidupan. Inilah praktik neo-liberalisme, dan kemiskinan adalah keberadaan dari mereka yang dikalahkan.
Setiap negara pasti mengedepankan kesejahteraan bagi rakyatnya. Perihal prosesnya bagaimana untuk mewujudkannya tergantung sistem yang diselenggarakan. Namun bila sistem yang terselenggara nyatanya menempatkan persoalan kemiskinan hanya sebatas jargon politik, sampai kapan pun kemiskinan tetap menggelayut pada rakyat banyak. Gambaranya seperti di negeri paman sam, model ala Demokrat atau Republik.
Partai demokrat menempatkan semua rakyat berhak memperoleh posisi yang sama, dalam hal ekonomi dan yang lain. Kelompok yang miskin didorong untuk keluar dari jerat kemiskinan itu sendiri. Republik berbeda, justru mendorong mereka yang kaya untuk terus mendulang kekayaan, sehingga keberlimpahannya modal mengalir dinikmati oleh yang miskin. Aksi wall street bukti semaju dan sekapitalis AS pun, suara kemiskinan masih ada setelah sekian lama terpendam, akhirnya membuncah suara penolakan pada keserakahan.
Berbeda dengan Indonesia, sebagai negara kesatuan, memiliki beragam cara pandang dalam menyelesaikan kemiskinan. Sayangnya semua berorintasi yang sama, namun tidak jelas praktiknya. Ala Nasionalis, Moderat, Islamis sekalipun, partai yang berkuasa dan memiliki suara justru untuk pemenuhan kelompoknya sendiri. Inginnya menyelesaikan kemiskinan, tetapi silang sengkarut politik menjerat pada kepentingan antar sesama untuk saling bersengkongkol agar korupsi terus saja bisa dijalankan.
Sebagai homo religiousus, kesalehan seseorang belum menjamin pada kesalehan sosial. Praktik peribadatan seolah tak relasional dengan praktik kehidupan bernegara. Simbol kesalehan justru digunakan sebagai citra dan menjadikannya hanya sebatas ritual an sich. Diluar urusan itu, sudah bukan lagi keharusan sebagai seorang yang patuh beribadah.
Sebenarnya dalam kehidupan ini tidak bisa melepaskan dualitas yang beriringan bersama dalam praktik kehidupan. Entitas dualitas itu menjadi berada sebab masing-masing bukan untuk saling timpang, tetapi bagaimana selaras dan harmonis. Si kaya ada karena si miskin, negara maju ada karena ada negara berkembang dan seterusnya. Meski demikian, kemiskinan bukan menjadi keadaan yang sejatinya telah berada, tetapi menjadi arena berbagi dan bahwa diluar sana masih ada yang lain, yang berbeda posisi dan kedudukan satu sama lain. Jika kemiskinan itu lahir disebabkan oleh sistem penyeleggaraan ekonomi-politik-hukum demi pemenuhan kebutuhan manusia yang tak terbatas, maka kemiskinan bukan sendirinya ada, tetapi efek dari keserakahan dan ketidakpedulian. Kemiskinan bukan menjadi realitas keseharian, melainkan hasil ciptaan dari konsekwensi sistem dan struktur yang mendominasi, culas dan hegemonik.
            Keberadaan Undang-undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dapat dimanfaatkan oleh wajib zakat dan pengelola zakat untuk memanfaatkan potensi zakat yang ada di Indonesia. Meskipun demikian, bukan berarti bahwa dengan adanya UU tersebut permasalahan dan kontribusi zakat terhadap masyarakat miskin teratasi dan optimal penggunaannya. Karena sebagai UU masih ada beberapa kelemahan yang ada pada UU No. 38 Tahun 1999 tersebut antara lain muzaki tidak terikat secara langsung sebagai wajib zakat dan pengelola zakat hanya berwenang untuk menerima zakat[4] Disisi lain, keraguan akan pemberlakuan UU No. 38 Tahun 1999 disebabkan oleh adanya kekhawatiran bahwa pemberlakuan zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak justru akan mempersulit pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak[5]
            Terlepas dari keberadaan UU No. 38 Tahun 1999, bahwa pada dasarnya setiap muslim yang telah memenuhi syarat wajib zakat harus membayar zakat dalam rangka melaksanakan fungsi sosial dan ajaran agamanya. Secara terminologis, zakat merupakan bagian harta yang wajib dibayarkan oleh setiap muslim yang memenuhi syarat untuk diberikan kepada pihak-pihak yang berhak menerimanya sesuai ketentuan ajaran Islam. Menurut bahasa kata zakat merupakan kata dasar dari zaka yang berarti berkah, tumbuh, bersih dan baik. Berdasarkan istilah fiqih, zaka berarti sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah diserahkan kepada orang-orang yang berhak. Adapun jumlah yang dikeluarkan dari kekayaan itu disebut zakat[6]
            Adapun keterkaitan antara optimalisasi pemanfaatan zakat dengan upaya pengentasan kemiskinan telah diutarakan oleh ekonom-ekonom muslim antara lain Dawam Rahardjo yang menyarankan bahwa pengelolaan zakat dibawah pengawasan negara sehingga dana zakat dapat didistribusikan kepada masyarakat miskin yang sangat membutuhkan. Budiman  menyebutkan bahwa keberadaan dana ZIS (Zakat, Infak, dan Shadaqah) mempunyai andil yang signifikan dalam membantu masyarakat miskin serta pembangunan infrastruktur seperti masjid, sekolah, rumah sakit[7]. Hal yang perlu diperhatikan terkait dengan zakat adalah perlunya memposisikan zakat sebagai sumber pendapatan yang daoat mengangkat harkat dan martabat penduduk miskin di Indonesia yang sebagian besar adalah muslim. Disisi lain, ada bagian yang perlu diperbaiki terkait dengan zakat yaitu kesempurnaan peraturan tentang zakat dan kualitas sumber daya manusia pengelola zakat. Karena keberaaan lembaga pengelola zakat (BAZIS) tidak terlepas dari keberadaan sumber daya manusia dan perangkat perundang-undangan yang mengaturnya[8].     
Pentingnya Peran Pengelola Zakat Dalam Mengentaskan Kemiskinan
Pengelola zakat dalam hal ini BAZIS (Badan Amil Zakat, Infak dan Shadaqah) diawali oleh pembentuikan lembaga semi pemerintah di lingkungan Pemda DKI Jakarta yang bertugas melaksanakan pengunmpulan dan pembagian zakat, didirikan pada tahun 1968. Pada tahun 1968 Departemen Agama mengeluarkan Peraturan Menteri Agama No. 4 Tahun 1968 tentang Pembentukan Badan Amil Zakat dan Peraturan Menteri Agama No. 5 Tahun 1968 tentang Pembentukan Baitulmaal (perbendaharaan) di Tingkat Pusat, Propinsi, dan Kabupaten/Kota[9].
Upaya pemerintah dalam mempertegas keberadaan BAZIS tertuang dalam Surat Keputusan Bersama antara Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama No. 29 dan 47 Tahun 1991 tentang Pembinaan Badan Amil Zakat, Infak, dan Shadaqah. Sementara  itu, pada tahun 1999 pemerintah telah mengeluarkan Undang-undang No. 38 Tahun 1999 tentang Badan Amil Zakat Infak dan Shadaqah. Adapun realisasi pembentukan Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) tertuang pada SK Presiden Megawati yang salah satu programnya adalah menjalin kerjasama dengan Direktor Jenderal Pajak untuk menerbitkan Nomor Pajak Wajib Zakat (NPWZ)[10].
Dalam hal pengumpulan dan penyaluran zakat, selama ini pengumpulan dan penyaluran zakat belum optimal karena pengumpulan dan penyalurannya terpencar melalui berbagai badan-badan amil zakat. Dengan keluarnya Keputusan Presiden No 103 Tahun 2004 tentang perubahan susunan keanggotaan Badan Amil Zakat, peran pemerintah bisa lebih optimal dalam melakukan fungsi fasilitasi dan sosialisasi zakat (tempointeraktif.com). Dari rekapitulasi data zakat Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf Depag RI diperoleh data untuk tahun 2002 di seluruh Indonesia terkumpul dana zakat Rp 6, 81 M, infaq Rp 997 juta, shodaqoh Rp 8,8 M. Tahun 2003 zakat Rp 69, 57 M, infaq Rp 20,82 M, shodaqoh Rp 23, 87 M. Dan hingga Juli Tahun terkumpul zakat Rp 88,03 M, infaq Rp 33,94 M dan shodaqoh Rp 36,49 M[11]
            Dana yang dikumpulkan dari kaum muslim tersebut disalurkan kepada pihak-pihak yang memenuhi persyaratan atau berhak menerima. Sebagai contoh penyaluran zakat di Kabupatenm Tangerang, sebanyak 4.800 kaum duafa dari 28 kecamatan di Kabupaten Tangerang menerima zakat, infak dan shodaqoh (ZIS). Penyerahan ZIS tersebut dipusatkan di kawasan wisata Tanjung Kait Kecamatan Mauk.Dari sejumlah ZIS tersebut, 25% atau senilai Rp 144.000.000,00 diantaranya dihimpun dari dinas/instansi serta bagian-bagian di Pemerintah Kabupaten Tangerang. ZIS yang dihimpun telah disalurkan antara lain dalam bentuk beasiswa 630 murid madrasyah Rp 57 juta, bantuan guru mengaji Rp 65 juta, pengembangan ekonomi umat bagi 66 penerima sebesar Rp 20 juta. Selain itu dana ZIS dimanfaatkan untuk pengobatan gratis 1.300 orang dengan dana Rp 19,5juta, santunan yatim piatu Rp  10 juta[12].
Pada saat ini pemerintah menargetkan dalam kurun waktu 10 tahun mendatang jumlah penduduk yang menderita rawan pangan menurun sebesar 2 juta jiwa per tahun. Dan diharapkan pada 2015 jumlah penduduk rawan pangan dapat berkurang sebesar 50 persen dari keseluruhan tingkat kerawanan pangan di Indonesia. Data Badan Pusat Statistik pada 2004 sekitar 36,1 juta jiwa atau 16,7 persen dari total penduduk tergolong miskin. Bahkan 8,9 juta penduduk diantaranya hidup dalam kondisi sangat miskin. Pada 2002 prevalensi anak balita kurang gizi sebesar 24,8 persen, tetapi pada 2003 naik menjadi 27,3 persen, selain itu prevalensi gondok naik menjadi 11,1 persen dari 9,8 persen pada 1998. Badan Pusat Statistik (BPS) memperkirakan jumlah penduduk miskin di Indonesia pada 2005 mencapai 62 juta jiwa atau sekitar 28,44 persen dari total jumlah penduduk yang mencapai 218 juta jiwa. Jumlah 62 juta penduduk miskin tersebut berdasarkan hasil pendataan sementara BPS yang memperkirakan jumlah RTM (Rumah Tangga Miskin) di Indonesia mencapai 15,5 juta kepala keluarga (KK)[13].
Kalau dikaji lebih jauh antara pentingnya keberadaan pengelola zakat dengan program pemerintah dalam mengurangi kerawanan pangan atau penduduk miskin seharusnya berjalan seiring seirama. Karena apabila proses penyadaran dan kesadaran dari umat islam yang telah memenuhi syarat sebagai muzaki tebentuk dengan diimbangi oleh manajemen pengelola zakat yang baik (termasuk perbaikan kesejahteraan pengelola zakat), maka program pengentasan penduduk miskin yang dicanangkan oleh pemerintah bukan sekedar slogan[14].
            Dengan demikian, peran pengelola zakat di masa depan harus mampu memenuhi kebutuhan masyarakat dan sejalan dengan program pemerintah dalam rangka mengangkat harkat dan martabat umat Islam. Disisi lain, pengelola zakat dan pemerintah perlu menjalin kerjasama dalam rangka perbaikan organisasi pengelola zakat. Hal yang lebih lagi adalah apabila pemerintah mengawasi langsung semua organisasi zakat yang ada di Indonesia sehingga akan terwujud integrasi sistem pengumpulan dan penyaluran zakat[15].
Hambatan Dalam Pemanfaatan Zakat
Dalam pelaksanaan pemanfaatan zakat selama ini masih terdapat beberapa kendala atau hambatan, yaitu[16] :
1.  Kurangnya kesadaran masyarakat dalam membayar zakat.
2. Belum adanya dukungan yang bersifat kelembagaan secara maksimal terhadap pengumpulan zakat
3.  Masih sempitnya pandangan masyarakat terhadap konsepsi fiqih zakat yang lebih sesuai
4. Adanya anggapan di sebagian masyarakat bahwa dengan membayar zakat adalah langkah yang tidak produktif atau suatu kerugian.
5. Zakat sampai sekarang baru menjadi pengurang dari penghasilan (cost) dan bukan pengurang pajak (tax deductible)
6.  Belum adanya konsep manajemen zakat seragam diantara lembaga zakat yang telah ada
Dari hambatan pelaksanaan zakat di atas, seharusnya pengelola zakat dan pemerintah bisa membuat rumusan sistem zakat dalam jangka panjang sehingga keberadaan zakat memang mampu mengangkat harkat dan martabat umat Islam di Indonesia. Adapun beberapa langkah yang perlu dilakukan oleh pengelola zakat dan pemerintah dalam rangka mengoptimalkan pemanfaatan zakat bagi umat Islam adalah[17]:
1.  Perbaikan manajemen pengelola zakat, meliputi adanya integrasi sistem pengelola zakat baik itu terkait dengan konsep zakat, profesionalisme panitia zakat, data base wajib zakat dan penerima zakat
2.  Perlu kebijakan pemberian insentif dari pemerintah bagi wajib zakat yang juga menjadi wajib pajak. Sehingga masyarakat akan mampu melaksanakan pungutan wajib tersebut dan tidak merasa menjadi suatu beban.
3. Perlu adanya kesesuaian program-program pengentasan kemiskinan pemerintah dan upaya mengangkat harkat serta martabat umat Islam dari pengelola zakat.    

Penutup
            Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa:
1. Perlunya sosialisasi yang lebih intensif tentang peraturan zakat yang telah ada (termasuk perlunya dilakukan penyempurnaan terhadap peraturan yang dinilai kurang komprehensip)
2. Perlu terus dilakukan perbaikann manajemen pengelolaan zakat mulai dari pusat sampai desa terutama sumber daya manusianya
3. Pemerintah perlu memberikan dan melaksanakan kebijakan isentif kepada muzaki dalam rangka peningkatan penerimaan zakat
4.        BAZIS mulai dari pusat sampai desa perlu menciptakan keseragaman atau integrasi dalam pengelolaan zakat (mulai dari pengumpulan zakat, basis data penerima zakat, dan distribusinya). Disisi lain panitia atau pengelola zakat juga perlu memperoleh insentif yang wajar (sebagai bagian dari 8 asnaf)
5. Pengelolaan zakat yang baik akan berdampak pula pada upaya pengentasan kemiskinan di Indonesia






Referensi
Budiman, Budi, Potensi Dana ZIS Sebagai Instrumen Ekonomi Islam; Dari Teori dan Implementasi Manajemenny”, P3EI UII, Yogyakarta, 2002

Djuanda, Gustian, “Alternatif Model Pengenaan Pajak dan Zakat Penghasilan di Indonesia”, P3EI UII, Yogyakarta, 2002

Gunadi, “Optimalisasi Pemungutan Zakat dan Pajak Demi Kesejahteraan Ummat dan Pembangunan Nasional” Media Indonesia Online, 2011

Qardhawi, Yusuf, Hukum Zakat, Litera Antar Nusa, Jakarta. Cetakan V, 2001

Riyardi, Agung, Pajak, Zakat, dan Dhoribah Dalam Sisem Fiskal”, P3EI UII, Yogyakarta, 2002

usamto, Ahmad Akbar, “Zakat Sebagai Pengurang Penghasilan Kena Pajak Sebuah Tinjauan Makro Ekonomi”, P3EI UII, Yogyakarta, 2002


[1] Susamto, Ahmad Akbar,  “Zakat Sebagai Pengurang Penghasilan Kena Pajak Sebuah Tinjauan Makro Ekonomi”, P3EI UII, Yogyakarta, 2002
[2]. Susamto, Ahmad Akbar, 2002
[3]Susamto, Ahmad Akbar, “Zakat Sebagai Pengurang Penghasilan Kena Pajak Sebuah Tinjauan Makro Ekonomi”, P3EI UII, Yogyakarta, 2002
[4]. Budiman, 2002
[5]. Susamto, 2002
[6] (Qardhawi, 2001.
[7] Budiman,  2002
[8]. Djuanda, Gustian, “Alternatif Model Pengenaan Pajak dan Zakat Penghasilan di Indonesia”, P3EI UII, Yogyakarta, 2002
[9].  Djuanda, Gustian, 2002
[10]. Ibid
[11].  tempointeraktif.com
[12] Susamto, Ahmad Akbar, 2002, “Zakat Sebagai Pengurang Penghasilan Kena Pajak Sebuah Tinjauan Makro Ekonomi”, P3EI UII, Yogyakarta
[13]. Media Indonesia Online
[14] Gunadi, “Optimalisasi Pemungutan Zakat dan Pajak Demi Kesejahteraan Ummat dan Pembangunan Nasional”2002
[15] Susamto, Ahmad Akbar, “Zakat Sebagai Pengurang Penghasilan Kena Pajak Sebuah Tinjauan Makro Ekonomi”, P3EI UII, Yogyakarta, 2002
[16] (Budiman, 2002):
[17] Gunadi, “Optimalisasi Pemungutan Zakat dan Pajak Demi Kesejahteraan Ummat dan Pembangunan Nasional”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar