Selasa, 04 September 2012

Fenomena Pornografi dan Pornoaksi


Fenomena Pornografi dan Pornoaksi


Pendahuluan
Perkembangan dan kebebasan media massa merupakan tolok ukur kemajuan dunia informasi. Kemajuan dunia informasi ini dapat disaksikan di seluruh belahan dunia, termasuk di Indonesia, media cetak dan elektronik telah berkembang cukup pesat. Secara kuantitas media seperti koran, tabloid, televisi, VCD, dan internet sangat jauh meningkat. Namun, peningkatan ini sayangnya tidak dibarengi dengan peningkatan kualitas. Bila dicermati isinya, banyak media yang tidak berbobot dan terkesan hanya memenuhi alasan selera pasar. Salah satu yang ditonjolkan adalah eksploitasi seksual. Kasus-kasus pornografi yang mencuat beberapa waktu lalu dan sekarang juga masih terjadi adalah bukti akan rendahnya kualitas kebanyakan media yang ada.
Terlepas dari perdebatan tentang definisi pornografi dan pornoaksi, bila media-media itu dicermati dari sudut pandang isi dan gambarnya, tidak ada asosiasi lain kecuali orientasi seksual. Gambar atau foto perempuan dengan pakaian minim (bahkan ada yang hanya ditutupi dengan daun pisang) serta narasi yang dituturkan secara vulgar jelas-jelas tidak dapat diasosiasikan lain selain seksual. Celakanya, media semacam ini secara bebas bisa diperoleh dengan mudah di kios-kios kecil pinggir jalan maupun di perempatan lampu lalu lintas. Siapa pun bisa mengakses tanpa melihat batas usia, tentu dengan harga yang sangat murah. Lahan subur bagi berkembangnya pornografi dan pornoaksi yang sangat meresahkan adalah juga melalui VCD. Jutaan keping VCD porno yang beredar di masyarakat, siap untuk ditonton oleh siapa pun dan di mana pun, dan yang lebih tragis lagi saat ini dengan hanya dengan satu flash disc. dapat menyimpan puluhan bahkan ratusan judul film porno. Dengan hanya bermodal beberapa lembar uang ribuan, orang yang tingkat ekonominya rendah sekalipun dapat menikmati tayangan yang sarat dengan unsur seksual vulgar tersebut. Tayangan TV pun tidak ketinggalan mulai berani turut ambil bagian dalam menayangkan eksploitasi seksual. Demikian juga dengan sejumlah video klip baik dari lagu-lagu Barat maupun dalam negeri hampir dapat dikatakan selalu menonjolkan unsur seksual. Kasus Inul misalnya, semakin menambah panjang daftar pornografi dan pornoaksi. Iklan dan film pun tidak jauh berbeda. Bahkan perkembangan yang terakhir, pornografi dan pornoaksi sudah merambah pada telepon genggam (HP)[1].
Pornografi dan pornoaksi yang tampil dalam dunia “abstrak” di tabloid, VCD, TV, internet, dan HP ternyata menemukan bentuk “konkret” nya di tengah masyarakat. Hadirnya sejumlah tempat hiburan yang membuka pintu lebar-lebar bagi eksploitasi seksual cukup untuk dikatakan “gayung bersambut”. Tempat-tempat semacam itu seakan menjadi media penyaluran yang pas dari apa yang telah mereka lihat di tabloid, TV, VCD, internet, maupun HP. Adanya transaksi seks di sejumlah cafe dan diskotik bukan menjadi rahasia lagi. Kalau dulu, kehidupan seks bebas dilakukan untuk tujuan mencari uang, tetapi sekarang sudah merambah ke arah sekedar “just have a fun”.
Jika kehidupan masyarakat dibombardir secara terus menerus dengan suguhan atau menu yang tidak mengindahkan batas-batas nilai kesopanan dan kesusilaan, bukan tidak mungkin masyarakat akan sampai pada suatu titik di mana pornografi dan pornoaksi tidak lagi dianggap sebagai suatu yang tabu dan asusila. Masyarakat akan menjadi terbiasa dan menganggap semua itu sebagai kewajaran. Diawali dengan terbiasa melihat dan membaca, lama kelamaan perilaku pun berubah. Perasaan malu sudah tidak ada lagi, dan berkembanglah sikap apatis. Akhirnya orang merasa bebas merdeka untuk melakukan apa pun tanpa adanya kontrol masyarakat.
Lemahnya kontrol masyarakat akan mengarah pada terbentuknya budaya permisif. Nilai-nilai yang mendasari perilaku masyarakat sebagai tatanan yang seharusnya dijaga menjadi terpinggirkan, atau bahkan terkikis habis. Masyarakat menjadi sangat permisif terhadap segala bentuk penyimpangan yang terjadi, karena batasan nilai telah memudar. Akar budaya yang menjunjung tinggi nilai dan religi menjadi tercabut. Tidak ada lagi kata tabu, malu apalagi dosa. Ujung-ujungnya adalah desakralisasi seks. Seks tidak lagi dipahami sebagai hal sakral yang hanya terdapat dalam lembaga perkawinan. Seks pun menjadi ‘barang’ murahan yang bisa dilakukan oleh siapa saja dan di mana saja. Tidak mengherankan jika kemudian angka kelahiran di luar pernikahan saat ini semakin meningkat. Bahkan yang lebih memprihatinkan, praktek aborsi ilegal terjadi di mana-mana dan sering dijadikan sebagai penyelesaian akhir, meskipun disadari atau tidak berisiko tinggi, yaitu kematian[2].
Dampak pornografi dan pornoaksi ibarat virus yang menebarkan kanker di tubuh. Pornografi selain hanya akan membuat pikiran berorientasi pada hal-hal yang berbau seks, juga akan menggiring pada perubahan tata nilai. Nilai-nilai religius akan tergusur dan kepedulian masyarakat terhadap nilai-nilai sosial akan semakin melemah. Lebih parah lagi, perilaku yang mengutamakan intelektualitas dan budaya tinggi berupa kreativitas dan kasih sayang berganti menjadi budaya rendahan seperti seks dan kekerasan[3].

Pengertian Pornografi dan Pornoaksi
Perdebatan tentang pro kontra pornografi memang bukan hal baru. Reaksi masyarakat terhadap pembahasan Rancangan Undang-undang Anti Pornografi yang sedang dikaji DPR RI (waktu itu) cukup mencerminkan kondisi masyarakat dalam menyikapi pornografi. Salah satu masalah krusial yang tak kunjung usai diperdebatkan adalah masalah batasan pornografi itu sendiri. Oleh karena itu perlu dilihat secara jernih arti istilah ini.
Istilah pornografi bila dilacak pengertiannya secara etimologis berasal dari bahasa Yunani kuno “porne” yang berarti wanita jalang, dan “graphos” yang artinya gambar atau lukisan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pornografi diartikan sebagai: (1) penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau untuk membangkitkan nafsu birahi, mempunyai kecenderungan merendahkan kaum wanita; (2) bahan yang dirancang dengan sengaja dan semata-mata untuk membangkitkan nafsu seks. Esther D. Reed sebagaimana yang dikutip oleh Supartingsih berpendapat bahwa pornografi secara material menyatukan seks atau eksposur yang berhubungan dengan kelamin sehingga dapat menurunkan martabat atau harga diri. Menurut Owen Ogien sebagaimana yang dikutip oleh Haryatmoko, pornografi dapat didefinisikan sebagai representasi eksplisit (gambar, tulisan, lukisan, dan foto) dari aktivitas seksual atau hal yang tidak senonoh, mesum atau cabul yang dimaksudkan untuk dikomunikasikan ke publik[4].
Beberapa istilah yang sering kali dikaitkan dengan pornografi diantaranya adalah pornokitcsh yang bermakna selera rendah; obscenity yang bermakna kecabulan, keji dan kotor, tidak senonoh, melanggar kesusilaan dan kesopanan. Bila hal-hal yang terkandung maknanya dalam pornografi ini diwujudkan melalui tindakan maka itulah yang disebut dengan pornoaksi. FX. Rudi Gunawan mengidentikkan pornoaksi dengan sexual behaviour atau perilaku seksual yang mencakup cara berpakaian seronok, gerak-gerik dan ekspresi wajah yang menggoda, suara yang mendesah dan majalah porno yang menampilkan gambar nude[5].
Dalam kenyataannya, pornografi muncul dalam berbagai perwujudan, antara lain dalam film, musik maupun tabloid/majalah/koran/buku. Pertama, film, pengertian porno dalam hal ini adalah (a) adegan atau kesan pria atau wanita telanjang, eksposure organ vital, ciuman, adegan, gerakan, suara persenggamaan atau kesan persenggamaan; (b) perilaku seksual yang tampil secara fisikal, kesan dan verbal, sentuhan, prostitusi, kontak seksual agresif dan seterusnya; (c) kesan-kesan seksual yang ditampilkan secara tidak langsung, misal lewat asosiasi, ilusi, sindiran atau kata-kata atau simbol-simbol, termasuk juga penampilan wacana seksual yang jelas walau tak diadegankan secara langsung. Kedua, musik, pengertian porno dalam hal ini adalah syair atau bunyi yang mengantarkan atau mengesankan aktivitas dan organ seksual serta bagian-bagian tubuh tertentu secara porno, baik secara eksplisit maupun implisit. Ketiga, tabloid / majalah / koran / buku, pengertian porno adalah (a) gambar atau kata-kata yang mengeksplesitasi seks, syahwat atau penyimpangan seksual serta gambar-gambar telanjang atau setengah telanjang sehingga perhatian pembaca langsung tertuju pada bagian-bagian tertentu yang bisa mengakibatkan rangsangan seksual; (b) gambar atau kata-kata yang bersifat erotis maupun yang memberikan kemungkinan berdampak erotis[6].
Secara kasar, pornografi merepresentasikan atau memamerkan kecabulan, khususnya seksualitas manusia, dibuat dengan satu tujuan yaitu untuk fantasi. Tjipta Lesmana merangkum berbagai pendapat tentang pornografi antara lain: (1) Muhammad Said mengartikan porno adalah segala apa saja yang sengaja disajikan dengan maksud merangsang nafsu seks orang banyak; (2) Hooge Raad berpendapat bahwa pornografi menimbulkan pikiran jorok; (3) Jurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia mencantumkan bahwa sesuatu dikatakan porno jika kebanyakan anggota masyarakat menilai, berdasar standar nilai yang berlaku saat itu, materi tadi secara keseluruhan dapat membangkitkan nafsu rendah pembaca. Kriteria porno adalah gambar atau tulisan yang dapat membangkitkan rangsangan seksual mereka yang melihat dan membacanya, yang melanggar rasa kesusilaan atau kesopanan masyarakat dan oleh sebab itu tidak pantas disiapkan secara umum.

Pornografi dan Pornoaksi dalam Pandangan Beberapa Peneliti
Tolok ukur peradaban suatu masyarakat tercermin dari penjagaan nilai-nilai moral dalam setiap aspek hidupnya. Pelanggaran terhadap nilai-nilai kebaikan memberi peluang yang sangat besar bagi hancurnya sendi-sendi kehidupan masyarakat tersebut. Pada dasarnya susunan sosial adalah susunan moral. Masyarakat disusun menurut peraturan moral. Kegiatan akal budi yang mengarahkan manusia pada pemahaman tentang tata cara dan perjalanan kehidupan sosial, sifat dunia sosial, interaksi sosial antara sesama manusia, tidak dapat dikatakan lain kecuali nilai moral itu sendiri.
Salah satu masalah yang cukup memprihatinkan berkaitan dengan nilai-nilai sosial, khususnya nilai moral adalah makin maraknya pornografi dan pornoaksi di tengah masyarakat. Pornografi dan pornoaksi merupakan satu bentuk kejahatan sosial berupa perbuatan yang diasosiasikan sebagai eksploitasi seksual rendahan. Seksualitas pada dirinya sendiri memang mampu mengungkapkan banyak hal tentang manusia. Kebermaknaannya meliputi banyak dimensi yakni dimensi biologis-fisik, behavioral, klinis, psiko-sosial, sosio-kultural, dan yang tak kalah penting adalah dimensi religius. Akan tetapi jika keseluruhan dan kesakralan maknanya direduksikan pada nilai komersial, tentu ia menjadi masalah besar. Pengeksploitasian seks sebagai barang komoditi mengakibatkan seseorang berkondisi untuk memandang seks sebagai barang konsumsi. Karena itu, konsumsi seperti ini dapat saja terjadi tanpa batas dan arah. Salah satu gejala yang dapat dilihat adalah gaya hidup free sex yang pada saat ini telah menggoyangkan aturan-aturan perilaku seks yang sudah mapan[7].
Pornografi dan pornoaksi memang sudah lama diperdebatkan, diprotes, dan bahkan ditentang banyak kalangan. Ironisnya, penyelesaian terhadap masalah ini belum menampakkan hasil yang diharapkan. Penyelesaian umum terhambat karena terjebak pada perdebatan tentang definisi “pornografi”. Masing-masing pihak memiliki penafsiran yang berbeda yang dapat ditarik ulur sesuai kepentingan si penafsir. Perangkat hukum pun belum memiliki konsep yang jelas tentang masalah ini, akibatnya kasus-kasus pornografi pun lewat demikian saja. KUHP Indonesia mencantumkan batasan yang sangat tidak jelas berkaitan dengan pornografi. Pasal 282 ayat 1 misalnya, tertulis: barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan menempelkan di depan umum, tulisan atau gambaran atau benda yang telah diketahui isinya melanggar kesusilaan, dapat dikenai pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah. Pasal lain yang juga tidak banyak memberi penjelasan adalah pasal 533 ayat 1, di dalamnya tertulis: barang siapa di tempat lalu lintas umum dengan terang-terangan mempertunjukkan atau menempelkan tulisan dengan judul, kulit atau isi yang dibikin terbaca, maupun gambar atau benda yang mampu membangkitkan nafsu birahi remaja dapat diancam dengan pidana kurungan paling lama dua tahun. Kata-kata “melanggar kesusilaan” dan “mampu membangkitkan nafsu birahi remaja” pengertiannya sering kali ditarik ulur. Karena itu, pasal-pasal ini sering dianggap sebagai pasal karet, artinya memiliki banyak penafsiran. Di saat perdebatan tentang definisi masih berlangsung, bersamaan dengan itu dampak pornografi terus menggoyang sendi-sendi kehidupan[8].
Secara umum ada dua hal yang dapat dilihat sebagai penyebab maraknya pornografi dan pornoaksi, yaitu budaya patriarkhi dan kepentingan komersialisme. Pornografi yang terdapat dalam sejumlah media massa menyiratkan fungsinya sebagai meaning maker yang sangat berperan dalam melestarikan budaya patriarkhi dengan menonjolkan mainstream sosok perempuan yang stereotipikal. Disebut stereotip karena ia merupakan konsepsi atau pelabelan sifat berdasarkan prasangka dan subyektif. Umumnya ia bersifat negatif sehingga merugikan yang diberi label. Opini yang dirugikan media massa umumnya menempatkan perempuan sebagai “makhluk fungsional bagi laki-laki”, lebih khusus lagi untuk “kegunaan seksual”. Eksploitasi seksual juga banyak dilakukan dengan alasan komersialisasi. Kekuatan feminim yang bertumpu pada daya pikat dari kekenyalan otot dan kelembutan garis-garis tubuh perempuan dianggap oleh sebagian feminis sebagai suatu mitos yang sengaja diciptakan untuk mendukung struktur kapitalisme. Tidak jarang dalam dunia bisnis, pengusaha menggunakan cover dan ilustrasi yang memanfaatkan daya tarik seks (sex appeal) untuk sekadar memancing para konsumennya. Dunia perfilman bahkan secara gamblang memanfaatkan seks untuk menjaring penonton sebanyak-banyaknya, demikian pula gambar iklan, lukisan, lirik lagu beserta penampilan artis-artisnya, novel serta produk-produk di berbagai bidang lainnya.
Eksploitasi seksual di media massa menurut kalangan feminis dipandang sebagai satu bentuk kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan oleh masyarakat luas. Hal ini mengacu pada Deklarasi PBB tentang penghapusan kekerasan terhadap perempuan yang berbunyi: kekerasan secara fisik, seksual dan psikologis yang terjadi dalam masyarakat luas, termasuk perkosaan, penyalahgunaan seksual, pelecehan dan ancaman seksual di tempat kerja, dalam lembaga-lembaga pendidikan dan sebagainya, perdagangan perempuan dan pelacuran paksa. Munculnya eksploitasi seksual sebenarnya tidak lepas dari kontrol sosial dan negara. Lemahnya kontrol sosial terhadap penjagaan nilai-nilai sosial memungkinkan terjadinya keruntuhan sendi-sendi masyarakat.

Kontroversi Seputar Pornografi
Persoalan pornografi memang menimbulkan banyak kontroversi dalam masyarakat. Yasraf Amir Piliang mengidentifikasi kontroversi ini ke dalam dua bagian yaitu kontroversi semiotis dan sosiologis. Pertama, kontroversi semiotis ini terjadi di seputar makna pornografi, batas porno atau tidak porno, batas pornografi dan sensualitas, batas makna estetik dan non estetik. Apa yang dikatakan oleh masyarakat sebagai porno dan amoral, oleh foto model, pengarang atau pun pemilik media dianggap hanya sebagai sebuah bentuk estetik dan seni sensualitas belaka. Kedua, kontroversi sosiologis, dalam hal ini gambar atau tulisan yang disuguhkan sebagai komoditas untuk masyarakat luas tidak dapat dilihat sebagai fenomena estetik atau semiotik belaka. Lebih dari itu, bersangkut paut dengan persoalan ekonomi, sosial dan kebudayaan yang lebih luas, khususnya kebudayaan massa (mass culture). Tepatnya gambar atau tulisan itu merupakan bagian integral sebuah kontruksi sosial budaya massa dengan segala muatan ideologis di dalamnya.

Pandangan Islam Terhadap Pornografi dan Pornoaksi
Dalam perspektif Islam, pembicaraan tentang pornografi tidak bisa dipisahkan dengan pembicaraan tentang aurat, tabarruj (berpenampilan seronok), dan pakaian. Unsur yang terpenting dalam konsep pornografi adalah melanggar kesusilaan dan membangkitkan nafsu seks. Sedangkan dalam terminologi Islam persoalan tersebut erat kaitannya dengan persoalan aurat dan pakaian. Karena yang disebut aurat dalam Islam adalah bagian tubuh manusia yang tidak boleh diperlihatkan atau harus ditutup karena dapat menimbulkan rasa malu (Q.S. an Nur [24]: 58) dan membangkitkan nafsu seks orang yang melihatnya (Q.S. al Ahzab [33]: 59).
, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِيَسْتَأْذِنْكُمُ الَّذِينَ مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ وَالَّذِينَ لَمْ يَبْلُغُوا الْحُلُمَ مِنْكُمْ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ۚ مِنْ قَبْلِ صَلَاةِ الْفَجْرِ وَحِينَ تَضَعُونَ ثِيَابَكُمْ مِنَ الظَّهِيرَةِ وَمِنْ بَعْدِ صَلَاةِ الْعِشَاءِ ۚ ثَلَاثُ عَوْرَاتٍ لَكُمْ ۚ لَيْسَ عَلَيْكُمْ وَلَا عَلَيْهِمْ جُنَاحٌ بَعْدَهُنَّ ۚ طَوَّافُونَ عَلَيْكُمْ بَعْضُكُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ ۚ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الْآيَاتِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum balig di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari) yaitu: sebelum sembahyang subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar) mu di tengah hari dan sesudah sembahyang Isya. (Itulah) tiga 'aurat bagi kamu.  Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani kamu, sebahagian kamu (ada keperluan) kepada sebahagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS,24:58)

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
Artinya : Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang. (QS,33:59)

 Sementara itu pakaian merupakan alat yang dipergunakan untuk menutup aurat yang dimaksud. Sedangkan tabarruj menggambarkan seseorang dalam berpakaian yang cenderung seronok atau mencirikan penampilan orang yang tidak terhormat. Penampilan yang dimaksud merupakan gabungan dari pemahaman seseorang tentang batasan aurat dan cara berpakaian.
Ada beberapa ayat dan hadits yang berbicara tentang aurat, tabarruj, dan pakaian. Ayat-ayat tersebut antara lain:
Pertama, ayat tentang aurat, sebagaimana terdapat dalam surat an Nur [24]: 31 dan 58.
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖ وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ ۖ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَىٰ عَوْرَاتِ النِّسَاءِ ۖ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ ۚ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya : Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (QS,24 ; 31)

Kedua, ayat-ayat tentang tabarruj sebagaimana tersebut dalam surat al Ahzab [33]: 33 dan an Nur [24]: 60.
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ ۖ وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۚ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا
Artinya : dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. (QS,33:33)

وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَاءِ اللَّاتِي لَا يَرْجُونَ نِكَاحًا فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَنْ يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ ۖ وَأَنْ يَسْتَعْفِفْنَ خَيْرٌ لَهُنَّ ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Artinya : Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS,24 : 60)


Ketiga, ayat tentang pakaian sebagaimana tersebut dalam surat al Ahzab [33]: 59.
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
Artinya : Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang.(QS, 33:59)


Pengertian Pornografi dan porno aksi dalam Islam

Islam memberikan definisi yang jelas dan tidak mengambang tentang pornografi dan pornoaksi. Pornografi adalah produk grafis (tulisan, gambar, film)-baik dalam bentuk majalah, tabloid, VCD, film-film atau acara-acara di TV, situs-situs porno di internet, ataupun bacaan-bacaan porno lainnya-yang mengumbar sekaligus menjual aurat, artinya aurat menjadi titik pusat perhatian. Sedangkan pornoaksi adalah sebuah perbuatan memamerkan aurat yang digelar dan ditonton secara langsung dari mulai aksi yang ‘biasa-biasa’ saja seperti aksi para artis di panggung-panggung hiburan umum hingga luar biasa dan atraktif seperti tarian telanjang atau setengah telanjang di tempat-tempat hiburan khusus (diskotek-diskotek, klab-klab malam, dll). Tentu saja, dalam konteks pornografi dan pornoaksi yang mengumbar aurat ini, yang dimaksud adalah aurat menurut syariat islam Islam. Seorang wanita yang memperlihatkan sekadar rambut atau bagian bwah kakinya, misalnya jelas termasuk orang yang mengumbar aurat. Sebab aurat wanita dalam pandangan Islam adalah seluruh tubuhnya kecuali muka dan telapak tangan[9].
Secara fikih, menyaksikan secara langsung aurat seseorang yang bukan haknya (pornoaksi) adalah HARAM, kecuali untuk tujuan yang dibolehkan oleh syara, misalnya memberi pertolongan medis. Ini akan berlaku juga pada para pembuat pornografi (kamerawan, pengarah gaya, sutradara etc.) Sementara itu sebuah benda dengan muatan pornografi dihukumi seabagai benda yaitu mubah. Namun demikian, kemubahan ini bisa berubah menjadi haram ketika benda (baca: sarana/wasilah) itu dipastikan dapat menjerumuskan pada tindakan keharaman. Sebab kaidah ushul fikih yang mu’tabar menyebutkan : Sarana yang menjerumuskan pada tindakan keharaman adalah haram[10]
Karena itu, kemubahan ini juga tidak berlaku untuk penyebarluasan dan propaganda pornografi/pornoaksi yang akan memiliki dampak serius di masyarakat. Seseorang yang dihadapkan pada suatu media porno, misalnya memang dipandang belum melakukan aktivitas haram (karena media sebagai benda adalah mubah). Akan tetapi, bila orang itu ikut dalam usaha membuat dan/atau menyebarkaluaskan media porno, maka menurut syariat, dia dianggap telah melakukan aktivitas yang haram.

Solusi Pornografi dan Pornoaksi dalam Islam
Islam menghargai kebebasan untuk berekspresi, namun dalam koridor syariat. Islam juga mengakui bahwa setiap manusia memiliki naluri seksual, namun mengarahkanya supaya disalurkan dalam cara-cara sesuai syariat. Islam sebagai mabda’ (ideologi) memiliki cara yang khas, untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi manusia tanpa menelantarkan kebutuhannya yang lain, dan juga tanpa mengabaikan kebutuhan manusia lainnya dalam masyarakat. Oleh karena itu, Islam tidak sekedar menetapkan agar tak ada seorangpun dalam wilayah Islam yang mengumbar aurat, kecuali dalam hal-hal yang dibenarkan syariat; namun Islam juga memberikan satu perangkat agar ekonomi berjalan dengan benar, sehingga tak perlu ada orang yang harus mencari nafkah dalam bisnis pornografi/pornoaksi. Islam juga memberikan tuntunan hidup dan aturan bermasyarakat yang akan menjaga agar setiap orang memahami tujuan hidup yang sahih serta tolok kebahagiaan yang hakiki sehingga demand (permintaan) pada bisnis pornografi/pornoaksi pun akan merosot tajam. Bagaimanapun, setiap bisnis hanya akan berputar kalau ada supply (penawaran) dan demand (permintaan). Karena itu, keduanya harus dihancurkan. Pemerintah Islam akan mendidik rakyatnya untuk berpola sikap dan perilaku islami. Media massa akan diarahkan agar tidak lagi memprovokasi umat dengan stimulasi-stimulasi yang merangsang kebutuhan pornografi/pornoaksi. Demikian juga keberadaan berbagai sarana hiburan yang selama ini menjadi ajang pertemuan pelaku kemaksiatan akan dibersihkan, tanpa harus merusak fisiknya[11].
Definisi zina dalam Islam adalah jelas, yakni setiap hubungan seksual yang dikehendaki dari pihak-pihak yang tidak diikat pernikahan. Ini jelas berbeda dengan definisi KUHP yang hanya membatasi perzinaan sebatas pada orang-orang yang berstatus kawin dan pasangannya keberatan atas selingkuhnya. Walhasil, memberantas pornografi/pornoaksi tak bisa sepotong-sepotong, namun harus komprehensif. Ini tak bisa tidak harus dimulai dari dasar fundamentalnya, yakni dengan melibas sistem hukum sekular dan menggantinya dengan sistem hukum Islam. Bukankah Allah Swt. telah berfirman: Apakah hukum Jahiliah yang kalian kehendaki? Siapakah yang lebih baik hukumnya selain Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS al-Maidah [5]: 50). (from:www.bloggaul.com) adalah semakin menjauhkan kaum muslim dari ideologi Islam. Dan pada akhirnya akan menghancurkan ideologi Islam itu sendiri.[12]

Islam Menjawab dengan Kâffah
Berlarut-larutnya pembahasan pornografi dan pornoaksi saat ini adalah akibat ketidak jelasan standar pijakan untuk menilai pornonografi dan pornoaksi. Standar porno diserahkan kepada akaldan hawa nafsu manusia. Akibatnya, kesimpulan yang dihasilkan berbeda-beda. Bergantung dengankebiasaan, pengalaman, selera, budaya, dan pikiran masing-masing.Jika sejak awal pornografi dikembalikan kepada Islam, persoalan pornografi tidak akan berlarut-larut seperti saat ini. Sebab, Islam memiliki konsep jelas mengenai definisi pornografi dan bagaimana cara mencegahnya dalam kehidupan bermasyarakat dengan basis teologis yang jelas pula.Islam mengajarkan bahwa kehidupan dunia tak pernah terlepas dari kehidupan di akhiratkelak. Sebab kelak manusia akan diminta pertanggungan jawab dari semua perbuatannya di dunia.Karena itu, perbuatan manusia di dunia pun memiliki aturan tertentu. Bukan aturan hidup yangdibuat oleh manusia sendiri, tapi aturan yang berasal dari Allah swt sebagai pencipta manusia,sehingga aturan itu pasti bisa dijamin kebenarannya dan kemampuannya dalam menyelesaikansegala problema kehidupan manusia.Sebagai ajaran yang diturunkan oleh Sang Pencipta Yang Mahabijaksana , Islam memberikan syariat yang sangat lengkap[13].
Wanita dipandang sebagai sosok yang diberikehormatan dan tugas yang mulia, yakni sebagai "madrasah/sekolah" pertama bagi generasi baru dan mitra bagi suaminya; bukan sebagai komoditas ataupun lawan bagi para lelaki.Hasrat seksual ataupun pamer aurat dipenuhi di dalam
pernikahan, yakni antara suami-istri. Kaum wanita tidak perlu menjual dirinya karena alasan ekonomi, karenasistem nafkah dalamIslam membentuk jaringan yang rapi, sehingga tidak perlu seorang wanita menjadi terlunta-lunta. Setiap wanita akan dinafkahi oleh ayahnya, suaminya, saudara laki-lakinya, pamannya, atau bahkan anak laki-lakinya. Jika tidak ada kerabatnya ini yang mau menafkahi, negara wajib campur tangan, dan ini tidak dianggap sebagai intervensi negara ke ruang privat. Jika dia tidak memiliki kerabat, atau ada tetapi juga tidak mampu, negara membantunya secara langsung dengan menunjuk hakim yang adil untuk menjadi wali bagi wanita itu. Tentu saja negara juga menyelenggarakan sistem pendidikan dengan kurikulum yang islami. Bahan ajar yang mendewakan kebebasan berekspresi atau berperilaku, atau teori Freud, tentu saja harus dibongkar kepalsuannya, dan digantikan dengan ajaran-ajaran Islam yangmenyejukkan kalbu, memuaskan akal, dan menenangkan jiwa. Negara juga menegakkan syariat tentang aurat dalam Islam. Islam telah memberikan definisi yang jelas tentang pornografi dan pornoaksi.
Pornografi adalah segala jenis produk grafis(tulisan, gambar, film) –baik dalm bentuk majalah, tabloid, VCD, film-film atau acara-acara di TV, situs-situs porno di internet, ataupun bacaan-bacaan porno lainnya - yang mengumbar aurat (baik aurat laki-laki maupun perempuan) yang dipertontonkan dan dijual ke tengah-tengah masyarakat (ke public) atau kepada orang yang tidak berhak[14]. Adapun porno aksi adalah perbuatan memamerkan aurat yang digelar dan ditonton secara langsung dari mulai aksi yang biasa-biasa saja seperti aksi para artis di panggung-panggung hiburanumum hingga yang luar biasa dan atraktif seperti tarian telanjang atau setengah telanjang di tempat-tempat hiburan khusus (diskotek, klub malam, dan sebagainya)[15] Pornografi dan pornoaksi ini hukumnya haram dalam Islam, karena mempertontonkan auratdi muka umum (selain kepada yang berhak, dengan alasan yang dibenarkan syariat) adalah haram.Tentu saja, dalam konteks ini yang dimaksud adalah aurat menurut syariat Islam.Allah SWT berfirman: “
 Katakanlah kepada wanita yang beriman, "Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, memelihara kemaluan mereka, dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka. Hendaklah mereka menutupkankerudung ke dada mereka dan janganlah menampakkan perhiasan mereka; kecuali kepada suamimereka, ayah mereka, ayah suami mereka, putra-putra mereka, putra-putra suami mereka, saudara-saudara mereka, putra-putra saudara laki-laki mereka, putra-putra saudara perempuanmereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai hasrat (terhadap wanita), atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita."  (QS an-Nur [24]: 31).

Penutup
Islam telah menetapkan batas-batas aurat, baik laki-laki maupun perempuan, yang tidak boleh dibuka di sembarang tempat dan sembarang orang. Dalam Islam, batas aurat wanita bagi laki-laki asing adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangannya. Suatu saat Asma’ binti Abu Bakar masuk ke dalam ruangan Rasulullah saw. Dia mengenakan pakaian tipis. Rasulullah saw pun berpaling, kemudian bersabda: “ Wahai Asma’, sesungguhnya wanita apabila telah sampai pada usia baligh, tidak diperkenankanterlihat darinya kecuali ini dan ini, seraya menunjuk wajah dan telapak tangannya (HR AbuDawud). Itulah batas aurat yang harus ditutup ketika wanita keluar rumah. Lebih dari itu, merekadiperintahkan mengenakan pakaian khusus yang ditentukan oleh Allah Swt. Pakaian tersebut adalahal-khimâr (kerudung) yang harus menutupi seluruh kepala (kecuali wajah) hingga dada (QS al-Nur:31) danal-jilbâb(QS al-Ahzab: 59). Jilbab adalah baju kurung atau terusan yang longgar, dan menutupi seluruh bagian tubuh hingga kaki. Allah SWT berfirman: “ Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak  perempuanmu dan istri-istri orang Mukmin, "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruhtubuh mereka."  (QS al-Ahzab [33]: 59). Demikian juga dengan laki-laki. Meski batas auratnya tidak seperti perempuan, laki-laki pun memiliki batas aurat yang tidak boleh diperlihatkan di depan umum. Batas auratnya adalah antara pusar dan lutut. Dari Muhammad bin Jahsy, suatu saat Rasulullah saw melewati Ma’mar yang kedua pahanya tersingkap, beliau bersabda kepadanya: “ Wahai Ma’mar, tutuplah kedua pahamu, karena sesungguhnya kedua paha itu aurat (HR Ahmad). Dalam berpakaian dan berperilaku, diharamkan pula tabarruj (berhias berlebihan di ruang publik), yang memungkinkan munculnya hajat seksual lawan jenisnya. Islam juga melarang wanita berduaan dengan laki-laki yang bukan mahramnya (khalwat). Di sisi lain, negara justru harus mengupayakan agar wanita-wanita yang diperlukankeahliannya dan akan bekerjatetap dapat melakukan aktivitasnya sekalipun berjilbab. Tidak seperti sekarang, wanita yang berusaha menutup auratnya malah dipersulit, sekalipun mereka profesional.Mereka yang harus mengajar ilmu di depan majelis yang juga dihadiri laki-laki juga tetapdiberi hak untuk itu, karenasuara bukanlah aurat.Kalau satu pihak (wanita) diperintahkan menutup aurat, maka pihak yang lain (laki-laki)diperintahkanmenundukkan pandangan. Demikian Allah SWT berfirman: Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, "Hendaklah mereka menahan pandangannyadan memelihara kemaluannya. Yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka."  (QS an-Nur[24]: 30). Laki-laki yang "ingin segera melihat aurat wanita" dibantu dengan jalan dipermudah menikah. Syariat mendorong masyarakat dan negara untuk menjadi fasilitator bagi mereka yang ingin menikah, bahkan sebagian harta Baitul Mal bisa dipakai untuk mensponsori pernikahan ini, sebagaimana yang dilakukan Khalifah Umar bin Abdul Azis. Allah SWT berfirman: Kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kalian dan orang-orang yang patut (kawin) dari hamba-hamba sahaya kalian yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi mereka kecukupan dengan karunia-Nya. (QS an-Nur [24]: 32). Untuk mencegah masuknya pornografi dari luar negeri, negara menerapkan syariat hubungan luar negeri yang berbasis pada dakwah dan jihad. Perdagangan luar negeri dipandang dalam kerangka yang akan menguatkan Khilafah Islam dan kaum Muslim. Segala komoditas yang berpotensi melemahkan—termasuk melemahkan akidah dan kepribadian kaumMuslim—harus dicegah. Agar semua hukum itu berjalan, negara menerapkan sanksi tegas kepada siapa pun bagi pelanggarnya. Dalam syariah, sanksi itu tercakup dalam hukum ta’zir, yang jenis sanksinya diserahkan kepada qadhi (hakim). Yang terpenting, sanksi hukum itu dapat memberikan efek jera kepada pelanggarnya dan mencegah bagi yang belum melaksanakan. Itulah ketetapan Islam. Jelas dan baku sepanjang zaman. Dalam Daulah Islam, ketetapan itu tidak hanya diberlakukan terhadap rakyat yang muslim, tetapi juga non muslim yang menjadi kafir dzimmi. Dengan aturan yang jelas itu, masyarakat akan bersih dari pornografi dan pornoaksi. Walhasil, hanya dengan Islam masyarakat yang tenteram, adil, dan sejahtera akan terwujud. Oleh4  karena itu, untuk menyelesaikan masalah pornografi ini, mengapa tidak ‘melirik’ pada Islam? Agenda bersama yang ironis, aparat di negeri ini seringkali lebih senang bersikap reaktif menunggu masyarakat marah dan kemudian merusak sarana-sarana maksiat (termasuk arena pornoaksi atau lapak-lapak penjualan pornografi). Padahal, seharusnya aparatlah yang proaktif melakukan pencegahan. Bukankah mereka yang mempunyai kekuatan? Rasulullah saw. bersabda: Siapa saja yang melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubah dengan tangan (kekuasaan)-nya; jika tidak mampu, dengan lisannya; jika tidak mampu, dengan kalbunya. Namun,itulah selemah-lemah iman. (HR Muslim). Karena itu, kita menyerukan kepada seluruh aparat negeriini, agar kekuasaan yang diamanahkan kepada mereka digunakan untuk mencegah kemungkaran ini terus berlanjut.Merekatidak boleh ada dalam posisi hanya sekadar bicara atau membuat wacana.Sementara itu,tugas para ulama adalah senantiasa mengingatkan, agar para penguasa tidak lalai dalam menjalankan amanah di atas. Mereka berkewajiban untuk mencerdaskan umatnya, agar umat juga berani mengingatkan pemimpinnya, dan secara pribadi juga tidak justru menikmati keberadaan pornografi itu. Walhasil,tugas kita bersama untuk mencegah pornografi. Bukan sekedar terjebak pada aksi mendukung atau menolak UU Pornografi- saja, karena hakekatnya –sebagaimana keyakinan kita sebagai seorang muslim- UU Pornografi tersebut tidak akan bisa menjadi solusi kecuali bila disandarkan pada tuntunan syariah-Nya. Dan tugas kita bersamalah untuk membangun satu barisan perjuangan yang rapi dan kokoh demi tegaknya syariat Islam dan institusi yang akan menjadi pelindung dan penjaga umat ini, termasuk masa depan kita dan anak-cucu kita.












Daftar Pustaka
Bracher,  Mark. Jacques Lacan,  Diskursus, dan Perubahan Sosial:  Pengantar Kritik-Budaya Psikoanalisis. Bandung: Jalasutra, 2005 

Hidayati,   Rahmi.   Struktur   Kepribadian   Dalam   Perspektif   Psikoanalisa  (Studi   Kasus    Pada    Lesbian). Skripsi Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri (UIN) Malang. Tidak Diterbitkan. 2007

Puspitosari, Hesti & Pujileksono, Sugeng. Waria dan Tekanan Sosial. Malang : UMM Press, 2005

Sa’adah, Urin  Laila. Pembentukan   Identitas   Seksual Kaum Gay.   Skripsi Fakultas    Psikologi    Universitas   Islam   Negeri    (UIN)   Malang.    Tidak  Diterbitkan. 2008




www.media muslim.info

http://forget-hiro.blogspot.com




[1].  (http://nahimunkar.com/11067 /
[2]. (http://nahimunkar.com/11067
[3]. Ibid
[4]. Bracher,  Mark. Jacques Lacan,  Diskursus, dan Perubahan Sosial:  Pengantar Kritik-Budaya Psikoanalisis. Bandung: Jalasutra, 2005  
[5]. Hidayati,   Rahmi.   Struktur   Kepribadian   Dalam   Perspektif   Psikoanalisa  (Studi   Kasus    Pada    Lesbian). Skripsi Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri (UIN) Malang. Tidak Diterbitkan. 2007
[6]. http://dunianyajulia.blogspot.com
[7]. http://nahimunkar.com/11067
[8]. www.media muslim.info.
[10]. ibid
[11]. Sa’adah, Urin  Laila. Pembentukan   Identitas   Seksual Kaum Gay.   Skripsi Fakultas    Psikologi    Universitas   Islam   Negeri    (UIN)   Malang.    Tidak  Diterbitkan. 2008
[12].  Puspitosari, Hesti & Pujileksono, Sugeng. Waria dan Tekanan Sosial. Malang : UMM Press, 2005
[13].  Sa’adah, Urin  Laila. Pembentukan   Identitas   Seksual Kaum Gay.   Skripsi Fakultas    Psikologi    Universitas   Islam   Negeri    (UIN)   Malang.    Tidak  Diterbitkan. 2008
[14].  www.media muslim.info.
[15]. www.alislamu.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar