Senin, 03 September 2012

FENOMENA HOMOSEX DI INDONESIA


FENOMENA HOMOSEX DI INDONESIA
Oleh : Maryadi

Pendahuluan
Sebagai sebuah orientasi seksual, “homosek”, tetap dianggap kontroversial  karena diasumsikan sebagai gejala abnormal, hal  ini bersifat  linear jika    dikaitkan  dengan  konsepsi  agama. Padahal,  di  dalam   sebuah realita  kehidupan, tidak  sedikit   orang memiliki orientasi seksual yang berbeda dengan orang lain. Terkadang   orientasi   yang berbeda itu given dan adakalanya socially atau politically constructed. Dalam sebuah   pengertian,   individu   yang    memiliki orientasi seks  tertentu yang disebabkan oleh faktor biologis  biasanya  disebut   gay,   lesbian,   biseksual, hermafrodit  atau  kata  lainnya  bersifat   kodrati. Dalam   hal  ini  tidak   ada keputusan (judgment ) apa-apa, kecuali melihatnya dalam perspektif kekuasaan Tuhan, kecuali ada temuan baru yang mampu mempengaruhi susunan hormonal  seseorang   sehingga   orientasi   seksnya   berubah.   Demikian   juga orientasi seks yang  disebabkan  oleh  faktor   nonbiologis,  misalnya  sosial,  budaya,    politik, ataupun lainnya, maka ini sama dengan gender[1].
Mempersoalkan hal ini sejatinya tidak sesederhana seperti yang diasumsikan oleh kebanyakan orang. Perlu upaya kritis yang lahir dari postulat-postulat ilmiah. Freud  menyatakan   bahwa   determinan   manusia   berasal   dari  diri   manusia   itu sendiri   (faktor   internal),   sementara   Skinner   berpendapat   bahwa   faktor-faktor penentu tersebut berasal dari stimulus-stimulus eksternal. Sementara Maslow berpendapat lain,  dalam kajiannya dia menjelaskan bahwa  manusia  itu makhluk   rasional. Akan tetapi,  Freud   justru   berpegang   pada   anggapan   dasar bahwa manusia  merupakan  makhluk yang cenderung irasional di  mana  sebagian   besar   dari   tingkah   laku   manusia   didorong   oleh   kekuatan-kekuatan  irasional   yang   tidak   disadari;   Skinner   dalam  hal   ini   tidak  begitu   terikat   pada hipotesis rasional-irasional[2]. Dalam   pandangan lain  tentang  motivasi,  Freud  merumuskan   konsep homostatis,  yaitu  suatu  konsep  yang diilhami oleh  gagasan  keseimbangan (equilibrium)  fisis  Leibniz.   Ia  menerangkan bahwa tingkah laku manusia dimotivasi oleh upaya pengurangan  tegangan-tegangan internal (memuncaknya  energi naluri/insting  dari Id)  yang terjadi akibat ketidak seimbangan fisis. Dalam hal ini Skinner berasumsi bahwa tingkah laku manusia tidak   digerakkan oleh agen-agen internal yang disebut naluri, melainkan ditentukan oleh kekuatan-kekuatan eksterna[3]. 
Homoseksualitas dan lesbianisme telah dijuluki 'alternatif gaya hidup' 'pilihan pribadi', 'variasi alami', dll. Di Barat hari ini, di mana homoseksualitas pernah dianggap penyakit oleh Asosiasi Psikiater, kini telah dihapus dari daftar dan digantikan oleh homofobia (ketidaksukaan kaum homoseksual dan homoseksualitas). Sedangkan sebagian  masyarakat  Indonesia masih menganggap  bahwa  homoseksual, biseksual serta perilaku seks lainnya yang tidak sesuai dengan norma agama dan budaya sebagai perilaku yang menyimpang, karena perilaku seksual seperti ini belum berlaku secara umum dan dapat diterima oleh masyarakat[4]. Perilaku ini memunculkan apa yang disebut labeling yang merupakan pengidentifikasian seseorang sebagai   seorang penyimpang, yang seringkali diikuti oleh adanya perubahan perlakuan orang lain terhadap orang tersebut[5] .
Di dalam Fikih (hukum Islam) memang  selalu   terdapat    perbincangan seputar "dunia kelamin" bahkan dalam porsi yang lebih luas. Fikih dirumuskan sebagai hukum praktis (ahkam al-amaliyah) untuk memberikan solusi praktis kepada  masyarakat. Secara ringkas, fikih   selalu   menegaskan   bahwa   manusia hanya memiliki dua jenis kelamin, yaitu laki-laki dengan penis (dzakar)  dan perempuan dengan vagina (farji ). Tidak ada yang secara spesifik menjelaskan bahwa  ada   manusia  yang  berbeda,   selain  laki-laki dengan penisnya dan perempuan dengan vaginanya tetapi juga ada hermafrodit dengan penis dan vagina sekaligus. Dalam soal homoseksual, fikih hanya  mengenal istilah khuntsa yang dalam   kamus Arab al-Munawwir diterjemahkan sebagai banci, waria, atau wandu. Khuntsa berakar pada kata khanatsa yang  berarti ‘lunak’ atau ‘melunak’[6]. Secara medis, kondisi ini sering    disebut   sebagai   hermafrodit.   Kita mengenalnya dengan istilah transeksual. Islam dengan tegas  melarang perilaku yang menyimpang atau perilaku yang menyerupai jenis kelamin tertentu yang tidak sesuai dengan kelamin aslinya, ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw: “Rasululullah pernah menghitung jumlah orang-orang yang dilaknat di dunia ini dan disambutnya dengan Malaikat, diantaranya ialah laki-laki yang memang oleh Allah diciptakan betul laki-laki, tetapi ia  menjadikan dirinya   sebagai   perempuan dan menyerupai   perempuan.   Dan   yang   kedua yaitu    perempuan   yang    memang dicipta oleh Allah sebagai  perempuan betul-betul, tetapi kemudian dia menjadikan dirinya sebagai laki-laki dan menyerupai laki-laki. (hadis riwayat Thabrani)[7] . Perilaku seperti itu ditegaskan kembali dengan munculnya hadis dari Ali  bin Abi Thalib ra mengatakan: Rasulullah  saw  pernah melarang aku memakai cincin emas dan pakaian sutera dan pakaian yang dicelup dengan asfar (Thabrani)[8] . 
Fikih memilah istilah khuntsa ini menjadi dua jenis. Pertama yang disebut khuntsa   musykilah. Istilah ini dipahami fikih merujuk merujuk pada seorang yang memiliki   penis  dan   vagina. Para ulama menyebutkan kategori jenis ini  masuk pada hermafrodit. Memang jenis yang satu ini langka. Ulama fikih pada waktu itu tentu  telah menemukan fakta seksual jenis   tersebut. Di Indonesia sendiri, kasus hermafrodit itu beberapa kali terjadi dan berakhir dengan operasi ganti kelamin. Jenis  kedua  yang  disebut  khuntsa  ghairu musykila, yaitu sudah  jelas dihukumi sebagai laki-laki atau perempuan. Untuk menentukan kedua jenis ini, yang   menjadi   ukuran   biologis   adalah   bentuk   alat   reproduksi.   Jika  di   dalam tubuh terdapat rahim, ia dihukumi sebagai perempuan. Sebaliknya, jika pada kelamin dalam tidak ada rahim, ia  dihukumi  sebagai   laki-laki.  Tipe   yang  berpenis dan tidak punya rahim inilah yang dimasukkan dalam kelompok gay[9].

Fenomena Homosex di Televisi
Dalam mencermati kian merebak dan meluasnya kesempatan yang diberikan media kepada kaum Homosex merupakan sebuah fenomena bahwa kelompok ini adalah nyata dan menjadi fenomena tersendiri dalam realitas sosial. Hanya saja, potret yang ditampilkan media masih jauh dari apa yang diharapkan oleh aktivis pemerhati gender dan identitas seksual. Homosex, sampai saat ini, lebih sering ditampilkan sebagai pelengkap penderita, pemanis, dan bahan lelucon. Sebagai contoh penampilan Aming pada saat ditayangkannya  acara Extravaganza yang senantiasa menampilkan sosok perempuan ekstrim dengan dandanan berlebihan. Demikian pula dengan Olga Syahputra yang senantiasa menjadi bahan ejekan dan lelucon dalam setiap acara yang dibintanginya. Meskipun penggambaran terhadap eksistensi mereka yang mendapat penerimaan dari lingkungannya, tetapi kondisi ini tentu saja belum sepenuhnya sesuai dengan apa yang dialami oleh kaum Homosex dalam realitas yang seringkali mengalami pelecehan, pemarginalan, bahkan kekerasan baik secara psikologis maupun fisik.
Berbeda dengan kaum homosex diatas, potret Homosex secara positif ditampilkan oleh Dorce sebagai sosok yang cerdas dan shalihah dalam acara yang dipandunya. Demikian halnya dengan Ivan Gunawan yang menjadi representasi Homosex sebagai sosok yang kreatif, perfeksionis, dan multitalenta. Dalam konteks kedua figur ini, Homosex bukan lagi dijadikan sebagai pelengkap penderita melainkan sebagai tokoh yang sejajar dengan kelas gender yang lain – laki-laki & perempuan.
Tak dapat dipungkiri bahwa sejumlah acara yang menampilkan Homosex sebagai salah satu pengisinya –baik tokoh sentral maupun pendamping- mendapat sambutan yang luar biasa dari masyarakat, bahkan melahirkan ikon-ikon baru. Di dunia presenter dikenal Dave Hendrik dan Dorce, Ivan Gunawan berkibar dengan label desain bajunya, di ranah komedi Aming, Olga, dan Tessy menjadi top of mind dari pemirsa televisi.
Televisi swasta sebagai lembaga bisnis yang memang secara natural berusaha memenuhi permintaan pasar mengangkat fenomena ini. Hampir setiap hari kita disuguhi dengan tontonan yang dipenuhi dengan kaum Homosex. Tidak hanya presenter acaranya tetapi juga pengisi acaranya. Bahkan, berita dalam infotainment sekarang pun tak sungkan-sungkan lagi mengangkat isu tentang ini – skandal Krisna Mukti dengan salah satu pengusaha di Kalimantan, foto mesra Evan Sanders dengan teman prianya, perihal Betrand Antolin dan Indra L. Brugman, dll. Bahkan, dalam salah satu episode Cerita Pagi yang ditayangkan Tran TV, diceritakan bagaimana kisah seorang waria yang menjalani kerasnya sanksi masyarakat terhadap dirinya yang berakibat pada sulitnya ia untuk mencari penghasilan selain ngamen di jalanan. Demikian pula, pada sejumlah sinetron yang menampilkan bagaimana seorang Homosex mengalami proses pertobatan –dengan menjadi laki-laki heteroseksual.
Selanjutnya program reality show “Be A Man” yang ditayangkan Global TV menampilkan sekelompok Homosex yang digembleng dalam sebuah kamp militer agar mereka menjadi laki-laki kembali. Dalam tayangannya, celotehan, cara berpakaian, berdandan, dan kondisi emosi pesertanya sedemikian rupa menjadi sebuah tontonan yang –kurang- menarik. Fenomena acara ini seolah memandang Homosex bukan sebagai sebuah pilihan tetapi lebih pada sebuah keterpaksaan akibat faktor ekonomi dan lingkungan. Lebih lanjut, fenomena Homosex bukan hanya bersinggungan dengan menjadikan lelaki “melambai” menjadi lelaki macho. Akan tetapi, ini adalah bersinggungan dengan kondisi psikologis dan kenyamanan individu dalam memilih peran gendernya sebagai implikasi konstruksi sosial.
Tanpa bermaksud menyalahkan televisi, Homosex dianggap sebagai komoditas ekonomi media yang hanya digunakan sebagai kendaraan pendongkrak rating dan iklan. Homosex bukan dianggap sebagai fenomena sosial yang seharusnya dipotret secara berimbang, bukan hanya sebagai pelengkap penderita. Homosex, sebagaimana semangat yang ingin diusung oleh feminist, dapat digambarkan sebagai sosok yang mandiri, mampu melakukan adjustment terhadap lingkungan, serta diakui memiliki orientasi seksual tertentu.

Homosex dan Keterbukaan Homoseksual di Indonesia
Merujuk pada pendapat Moh Yasir Alimi perihal orientasi seksual sebagai bentukan sosial, maka fenomena keterbukaan orientasi seksual Homosex di Indonesia juga harus disikapi sebagai sebuah keberagaman. Dede utomo dalam bukunya “Memberi Suara pada yang Bisu” mengampanyekan agar Homosex di Indonesia kian berani untuk mengungkap jati dirinya –dalam istilah Homosex dikenal istilah “kloset ; menutup diri”, “came out ; membuka diri”. Semakin gencarnya media memberikan peluang untuk berkarya bagi kaum Homosex, tampaknya juga berpengaruh pada kian banyaknya organisasi yang memperjuangkan hak-hak mereka. Bahkan, perkawinan di antara sesama Homosex pun telah beberapa kali terjadi di Indonesia –pada tahun 90-an akhir Pyramide Cafe di jalan Bantul menjadi salah satu saksinya.
Irshad Manji penulis “Beriman Tanpa Rasa Takut” yang kebetulan adalah lesbian mengatakan bahwa orientasi seksual yang berbeda selama ini digambarkan sebagai sesuatu yang tabu untuk dibicarakan dan senantiasa dikonfrontasikan dengan nilai-nilai agama. Hasilnya, muncul represi agama terhadap kemerdekaan individu. Pernyataan lebih fenomenal lagi muncul dari Prof. Musdah Mulia yang dimuat dalam salah satu koran bahwa gay/lesbian adalah legal karena orientasi seksual tidak pernah membedakan manusia di mata Tuhan. Berkaca pada fenomena ini, lantas bagaimanakan sikap Anda dan bagaimana pula tentang fenomena homosex dan khurafat di Majelis Ta’lim.

Fenomena Homosex dan Khurafat Di Majelis Ta'lim
Majlis Ta’lim dalam pengertian sederhana adalah tempat belajar atau mencari ilmu. Tentu yang dimaksud adalah ilmu agama Islam. Berbeda dengan lembaga pendidikan formal yang mempunyai kurikulum baku, majelis ta’lim jauh lebih longgar, bahkan tanpa ikatan formal sebagaimana lembaga pendidikan pada umumnya. Keberadaan majlis ta’lim biasanya merupakan swausaha dan swadana masyarakat yang memang berkeinginan memperdalam ilmu agama Islamnya tanpa jadwal dan kurikulum yang ketat, namun kekeluargaan, serta disesuaikan dengan kebutuhan komunitasnya.
Namun belakangan, sebagian majlis ta’lim menjadi ajang pamer kekuatan, ajang pamer banyak-banyakan jama’ah, yang konon untuk memenuhi syahwat pimpinannya. Misalnya, pada musim pemilihan umum tingkat daerah hingga tingkat nasional, biasanya elite parpol yang ingin partainya meraih suara banyak, mendekati pimpinan majlis ta’lim tertentu dengan harapan jamaahnya yang terkesan banyak itu mau memberikan suara kepada parpol yang dipimpinnya. Diduga, mengalirlah money politic, yang susah dibuktikan kebenarannya namun sulit ditepis begitu saja. Siapa yang paling diuntungkan? Kemungkinan pimpinan atau elite majlis ta’lim tersebut. Siapa yang berhasil dibodohi? Selain jama’ah yang taklid juga pimpinan dan elite parpol tadi. Karena, siapa bisa menjamin bahwa parpolnya akan kebanjiran suara dari jama’ah majlis ta’lim tadi?
Perkembangan selanjutnya lebih meprihatinkan, tidak sekedar menjadikan majlis ta’lim sebagai sumber fulus, tetapi ada juga yang menjadi sumber penyebaran paham sesat (syi’ah dan sebagainya) serta aneka kemunkaran seperti homoseks, free sex dan pedofilia, sebagaimana terjadi baru-baru ini. Setidaknya, akhir-akhir ini ada dua majlis ta’lim yang terkesan banyak jama’ahnya. Nama majlis ta’limnya pun cukup mentereng, seperti Nurul Musthofa yang berarti cahaya pilihan. Bahkan ada majlis ta’lim yang merupakan ‘saingan’ Nurul Musthofa, menggunakan nama tak tanggung-tanggung yaitu Majelis Rasulullah SAW.
Kenyataannya, Nurul Musthofa (NM) pimpinan habib Hasan Assegaf, dan Majelis Rasulullah SAW (MR) pimpinan habib Munzir Al Musawwa, sama-sama punya kebiasaan buruk, yaitu menutup ruas jalan untuk menggelar acaranya. Tidak hanya pada musim muludan tetapi juga pada hari-hari lain. Sejumlah orang yang disebutnya jama’ah dari berbagai tempat seperti tumplek bleg di satu lokasi. Tidak sekedar memacetkan jalan, akan tetapi juga membuat bising kawasan sekitar.
Aparat kelurahan dan kecamatan serta pihak RT dan RW memberi izin kepada kerumunan ini berkiprah, karena mereka takut melihat banyaknya jama’ah majlis tersebut. Padahal, sesungguhnya segerombolan orang yang disebut jama’ah tadi hanyalah massa cair yang mudah diurai dengan protap (Prosedur Tetap)  yang baku. Bahkan, menurut sebuah sumber, massa cair yang dikesankan sebagai jama’ah tadi diduga adalah massa bayaran, bukan benar-benar jama’ah majlis bersangkutan.
Sumber fulus untuk mendanai massa bayaran tadi, antara lain kemungkinan dari sejumlah orang kaya yang cinta habib  dan dari sumber-sumber lain yang tidak accountable. Tujuannya jelas, dengan adanya gerombolan orang di satu titik dengan dalih menghadiri majlis ta’lim yang dipandu seorang habib, adalah untuk unjuk kekuatan. Serta, minim unsur ta’limnya. Misalnya, bisa dilihat banyaknya muda-mudi berkhalwat, pacaran, mojok, saat acara berlangsung. Gerombolan seperti ini sudah seharusnya tidak diberi izin oleh pihak RT dan RW juga oleh aparat terkait (babinsa, Lurah dan Camat), karena selain merampas hak masyarakat pengguna jalan, juga menimbulkan kebisingan, gangguan kamtibmas, serta lebih banyak mudharatnya ketimbang manfaatnya. Bahkan ada yang mencurigai, aktivitas keagamaan itu jangan-jangan menjadi cover yang nyaris sempurna untuk sebuah transaksi narkoba dan obat-obatan telarang lainnya.
Bila habib Hasan Assegaf yang diduga mengidap penyakit homoseksualitas dan pedofilia –yang dugaan itu– sudah mulai terkuak keburukan dan kebohongannya, tidak demikian halnya dengan habib Munzir. Namun, Hasan dan Muzir sama-sama mendoktrin jama’ahnya dengan cerita-cerita yang ajaib bernuansa khurafat bahkan berbau kemusyrikan. Seorang jama’ah Majelis Rasulullah dengan identitas e-mail pemudasuci@yahoo.com pernah menulis artikel di mailing list (milis) Majelis Rasulullah tentang karomah sang habib. Mungkin saking semangatnya di dalam mengkampanyekan sang habib, artikel bernuansa khurafat dan kebohongan tersebut di-forward (diteruskan) ke berbagai blog pribadi. Antara lain mampir juga ke lamannya mas Yogo Saptono (http://www.kaskus.us/showthread.php?t=13118500).
Oleh si pemudasuci@yahoo.com ini, habib Munzir dideskripsikan sebagai sosok yang masyhur (terkenal) dalam dakwah syariah, namun mastur (menyembunyikan diri) dalam keluasan haqiqah dan ma’rifahnya. Juga, dikesankan sebagai sosok yang banyak mengalami peristiwa ghaib namun tetap rendah hati dan tetap merahasiakan peristiwa ghaib tersebut. Beberapa ‘karomah’ yang dimiliki habib Munzir menurut penuturan pemudasuci@yahoo.com, antara lain berupa dapat mengetahui ajal seseorang. Misalnya, melalui penuturan berikut: “… ketika orang ramai minta agar habib Umar Maulakhela didoakan karena sakit, maka beliau (maksudnya habib Munzir-red) tenang-tenang saja, dan berkata: habib Nofel bin Jindan yang akan wafat, dan habib Umar Maulakhela masih panjang usianya. Benar saja, keesokan harinya habib Nofel bin Jindan wafat, dan habib Umar Maulakhela sembuh dan keluar dari opname. Itu beberapa tahun yang lalu…”
Kemampuan habib Munzir yang dikesankan bisa mengetahui ajal seseorang, juga bisa ditemui melalui penuturan pemudasuci@yahoo.com sebagai berikut: “… ketika habib Anis Al-Habsyi Solo sakit keras dan dalam keadaan kritis, orang-orang mendesak habib Munzir untuk menyambangi dan mendoakan habib Anis, maka beliau berkata kepada orang-orang dekatnya, habib Anis akan sembuh dan keluar dari opname, Insya Allah kira-kira masih sebulan lagi usia beliau. Betul saja, habib sembuh, dan sebulan kemudian wafat…”
Cerita-cerita di atas tidak sekedar membohongi dan membodohi, tetapi sudah bernuansa musyrik, karena mensejajarkan habib Munzir dengan Allah SWT dalam hal memiliki pengetahuan tentang ajal manusia. Padahal, dalam ajaran Islam hanya Allah yang mengetahui ajal setiap manusia. Bahkan para Rasul pun tidak diberi kemampuan tentang itu. Apalagi hanya seorang habib Munzir!

قُلْ لَا أَقُولُ لَكُمْ عِنْدِي خَزَائِنُ اللَّهِ وَلَا أَعْلَمُ الْغَيْبَ وَلَا أَقُولُ لَكُمْ إِنِّي مَلَكٌ إِنْ أَتَّبِعُ إِلَّا مَا يُوحَى إِلَيَّ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الْأَعْمَى وَالْبَصِيرُ أَفَلَا تَتَفَكَّرُونَ [الأنعام/50]

Katakanlah: aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. (QS Al-An’am: 50). Selain dikesankan punya kemampuan mengetahui ajal seseorang, habib Munzir oleh si pemudasuci@yahoo.com juga dikesankan mampu meredakan aktifitas gunung berapi, sebagaimana penuturan berikut: “… ketika gunung Papandayan bergolak dan sudah dinaikkan posisinya dari siaga satu menjadi awas, maka habib Munzir dengan santai berangkat ke sana, sampai ke ujung kawah, berdoa, dan melemparkan jubahnya ke kawah, kawah itu reda hingga kini dan kejadian itu adalah 7 tahun yang lalu (VCD-nya disimpan di markas dan dilarang disebarkan)…”
Kehebatan lainnya, sebagaimana dituturkan oleh si pemudasuci@yahoo.com adalah habib Munzir mampu mengatasi dukun jahat: “…demikian pula ketika beliau masuk ke wilayah Beji Depok, yang terkenal dengan sihir dan dukun-dukun jahatnya, maka selesai acara habib Munzir malam itu, keesokan harinya seorang dukun mendatangi panitia, ia berkata: saya ingin jumpa dengan tuan guru yang semalam buat maulid di sini. Semua masyarakat kaget, karena dia dukun jahat dan tak pernah shalat dan tak mau dekat dengan ulama dan sangat ditakuti. Ketika ditanya kenapa? Ia berkata: saya mempunyai empat jin khodam, semalam mereka lenyap, lalu subuh tadi saya lihat mereka (jin-jin khodam itu) sudah pakai baju putih dan sorban, dan sudah masuk Islam, ketika kutanya kenapa kalian masuk Islam, dan jadi begini? Maka jin-jin ku berkata: apakah juragan tidak tahu? semalam ada Kanjeng Rasulullah saw hadir di acara habib Munzir, kami masuk Islam…”
Berita itu bertentangan dengan Islam, karena tidak ada keterangan dalam Islam bahwa orang yang sudah wafat walaupun Nabi sekalipun hadir di acara manusia yang masih hidup, apalagi acara bid’ah seperti maulidan. Yang ada justru hadits tentang proses dicabutnya nyawa seseorang ketika mati sampai selanjutnya, kaitannya dengan alam ghaib, bukan kembali ke dunia apalagi ke acara yang diselenggarakan orang hidup. (lihat http://nahimunkar.com/2519/ruh-manusia-sesudah-mati-ada-di-mana/ ). Jadi itu dusta atas nama agama.
Masih menurut penuturan si pemudasuci@yahoo.com pula: “… kejadian serupa di Beji Depok seorang dukun yang mempunyai dua ekor macan jadi-jadian yang menjaga rumahnya, malam itu macan jejadiannya hilang, ia mencarinya, ia menemukan kedua macan jadi-jadian itu sedang duduk bersimpuh di depan pintu masjid mendengarkan ceramah habib Munzir…”
Ini cerita berdasarkan pengakuan dukun dan mengenai macan jadi-jadian lagi, sedangkan mempercayai dukun itu sendiri sudah dilarang dalam Islam.
Hadis-hadis Nabi s.a.w :

 مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً.(رواه مسلم وأحمد

“ Orang yang mendatangi tukang ramal (paranormal) kemudian ia bertanya kepadanya tentang sesuatu, maka shalatnya tidak akan diterima selama 40 malam”. (Hadist Riwayat Imam Muslim dan Imam Ahmad dari sebagian isteri Nabi [Hafshah]).

 مَنْ أَتَى كَاهِنًا أَوْ عَرَّافًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُول فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ (رواه أحمد والحاكم.

“ orang yang mendatangi dukun atau tukang ramal, kemudian membenarkan apa yang dikatakannya maka orang tersebut telah kufur terhadap apa yang telah diturunkan kepada Muhammad saw”. (HR. Imam Ahmad dan al- Hakim dari Abu Hurairah).
Boleh jadi, cerita-cerita pembodohan seperti inilah yang menjadi salah satu daya tarik sekelompok orang, selain pengakuan sang habib yang konon merupakan keturunan nabi Muhammad dari jalur Fathimah ra. Bahkan para pengikut fanatik habib Munzir ini percaya tentang karomah sang habib yang dapat berdaya-guna meski tanpa kehadiran habib Munzir, sebagaimana penuturan pemudasuci@yahoo.com berikut ini: “… maka saat mereka membaca maulid, tiba-tiba terjadi angin ribut yang mengguncang rumah itu dengan dahsyat, lalu mereka minta kepada Allah perlindungan, dan teringat habib Munzir dalam hatinya, tiba-tiba angin ribut reda, dan mereka semua mencium minyak wangi habib munzir yang seakan lewat di hadapan mereka, dan terdengarlah ledakan bola-bola api di luar rumah yang tak bisa masuk ke rumah itu. Ketika mereka pulang mereka cerita pada habib Munzir, beliau hanya senyum dan menunduk malu…”
Padahal seharusnya justru menjelaskan, acara maulidan itu sendiri tidak ada landasannya yang kuat dalam Islam. Sedang reda atau tidaknya suatu peristiwa itu hanya Allah yang menguasainya.
Firman Allah Ta’ala:
 وَإِنْ يَمْسَسْكَ اللَّهُ بِضُرٍّ فَلَا كَاشِفَ لَهُ إِلَّا هُوَ وَإِنْ يَمْسَسْكَ بِخَيْرٍ فَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ(17)وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ وَهُوَ الْحَكِيمُ الْخَبِيرُ(18)
“ Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya melainkan Dia. Dan jika Dia mendatangkan kebaikan kepadamu, maka Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Dan Dialah Yang Berkuasa atas sekalian hamba-Nya, dan Dialah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui”. (QS. al-An-am [6] : 17-18) 
Pada suatu ketika, habib Munzir diminta partisipasinya dalam demo anti Ahmadiyah yang diprakarsai habib lainnya, namun Munzir menolak. Sehingga, ia dituduh pro Ahmadiyah, karena dia tidak dikenal sebagai orang yang anti demo tentang apapun. Menurut penuturan pemudasuci@yahoo.com diceritakan bahwa: “…demikian pula ketika habib Munzir dicaci-maki dengan sebutan Munzir Ghulam Ahmad, karena ia tidak mau ikut demo anti Ahmadiyah, beliau tetap senyum dan bersabar, beliau memilih jalan damai dan membenahi ummat dengan kedamaian daripada kekerasan, dan beliau sudah memaafkan pencaci itu sebelum orang itu minta maaf padanya, bahkan menginstruksikan agar jamaahnya jangan ada yang mengganggu pencaci itu, kemarin beberapa minggu yang lalu di acara Al-Makmur Tebet habib Munzir malah duduk berdampingan dengan si pencaci itu, ia tetap ramah dan sesekali bercanda dengan Da’i yang mencacinya sebagai murtad dan pengikut Ahmadiyah…”
Penuturan tadi mau tak mau membawa kita kepada kesimpulan, bahwa habib Munzir ini boleh jadi termasuk yang percaya atau toleran kepada yang meyakini ada nabi lain setelah Muhammad Shallallahu alaihi wasallam. Kalau tidak, kenapa tidak ada penjelasan sama sekali? Paling kurang, sikap seperti itu membingungkan bagi orang yang mau berfikir, sedang bagi yang fanatic, maka menghargainya sebagai sikap yang terpuji. Padahal di balik itu secara tidak langsung kalau dihubungkan dengan sikap Abu Bakar Shiddiq khalifah pertama yang memerangi nabi palsu Musailimah al-kaddzab dan para pengikutnya, maka lafal kekerasan sama dengan disematkan pula kepada Abu Bakar radhiallahu anhu dan para sahabat yang menyerang nabi palsu. Apakah habib Munzir lebih baik daripada Abu Bakar radhiallahu anhu dan para sahabat?
Berkat keberanian seorang guru ngaji bernama Ustadz Maryam (menantu Haji Atung), maka keburukan habib Hasan Assegaf terkupas tuntas. Selain mengidap homoseksualitas, ternyata Hasan Assegaf ini mengidap pedofilia, yaitu penyakit kelainan orientasi seks yang cenderung melampiaskan hasrat birahinya kepada anak lelaki muda (usia belasan tahun). Meksi Hasan Assegaf sudah beristri sejak 2004, namun penyakitnya tetap eksis. Menurut pemerhati yang biasa menangani kasus pedofilia dan homoskesualitas, serta paham bahasa gaul, kosa-kata yang digunakan Hasan kepada korbannya memang lazim digunakan kalangan pengidap kelainan seks seperti waria atau bencong. Sebagaimana diberitakan majalah GATRA Nomor 15/18 yang sudah beredar sejak hari Kamis tanggal 16 Februari 2012, ada beberapa istilah yang digunakan Hasan, misalnya, spg dan vcd beef.
Menurut pemerhati bahasa gaul, vcd beef merupakan kependekan dari video compact disc (VCD) dan beef adalah BF yang merupakan kependekan dari Blue Film alias film biru alias film porno, atau biasa disebut juga bokep. Sedangkan spg merupakan kependekan dari sepong yang bermakna sederhana isep atau menghisap. Dalam konteks ini, sepong adalah oral sex (menghisap alat kelamin atau dihisap alat kelaminnya).
Penjelasan pemerhati bahasa gaul tadi, nampaknya mendukung cerita jabonjaya yang mengatakan bahwa sejak 2002 Hasan tidak sekedar melakukan pelecehan (meraba-raba), tetapi menurut bahasa jabonjaya: “…Mereka di oral dan mengoral sang habib.” (http://nahimunkar.com/11067 / fenomena-habib-diduga-cabul-dari-majlis-nm)
Korban Hasan Assegaf tidak cuma anak lelaki belasan tahun, tetapi ada sejumlah remaja putri. Sebagaimana diberitakan Tribunnews.com edisi Rabu, 15 Februari 2012, seorang remaja putri korban Hasan menuturkan, mereka disuruh foto bugil kemudian foto tersebut ditunjukkan kepada Hasan. Alasannya, melalui foto bugil itu sang habib bisa melihat keseluruhan isi hati si perempuan. Indera untuk membaca isi hati dari Hasan akan terhalang jika perempuan masih mengenakan busana.
Sebagaimana Munzir, sosok Hasan Assegaf juga diselimuti kisah-kisah fantastis yang bagi orang beriman dan berpendidikan, sulit diterima akal sehat. Sebagaimana dapat diperiksa pada http://kisahhabib.blogspot.com/2011/03/cahaya-pilihan.html yaitu: Di tahun 1998, sekitar enam bulan setelah Hasan Assegaf membuka sekaligus memimpin Majelis Ta’lim Al-Irfan di belakang rumah Habib Kramat Empang, Bogor, ia kedatangan seorang jama’ah yang membawa seorang pria berumur separuh baya. Pria itu minta agar habib Hasan Assegaf bersedia mengobati kakinya.
Ketika itu, habib Hasan Assegaf sempat bingung, karena ia belum pernah menangani hal demikian. Namun, karena tidak ingin mengecewakan tamunya, habib Hasan Assegaf kemudian mengambil sebotol air putih dan membacakan Ratib Alattas. Botol itu kemudian diserahkan kepada si sakit dengan pesan agar diminum setibanya di rumah. Dua hari kemudian orang itu kembali lagi dalam keadaan sembuh.   Kisah ajaib bagaikan Ponari sang dukun cilik itu, ternyata menyebar dari mulut ke mulut, dan anehnya membuat sebagian masyarakat percaya, sehingga mereka berduyun-duyun menjadi jama’ah Hasan Assegaf.
Bila Munzir bisa melawan harimau jejadian, Hasan Assegaf bisa mengalahkan kalajengking: “…suatu hari, ketika Hasan Assegaf bangun tidur, ranjangnya penuh dengan kalajengking. Maka ia pun segera bangkit dari tidur dan berdoa. Dalam sekejap kalajengking-kalajengking itu mati semua…” Bahkan konon, selain kalajengking, Hasan pernah menemukan seekor ular di kamar tidurnya.
Cerita pembodohan seperti yang melingkari sosok Munzir dan hasan Assegaf, tentu sengaja direkayasa untuk membuat sosok keduanya menjadi begitu bernilai di mata jama’ah yang bodoh ilmu dan lemah iman ini. Artinya, majlis ta’lim yang mereka dirikan sudah menyimpang dari semestinya. Yaitu bukan membuat pintar tapi membodohi.Tidak sekedar membodohi, tetapi juga merugikan masyarakat. Hal ini sebagaimana pernah diungkap secara terulis oleh Ahmad melalui blog pribadinya, Minggu 19 Juni 2011, sebagai berikut:
Sabtu malam (18/06), Saya lewat jam setengah dua belas malam, saya beranjak dari kantor di Mampang Prapatan menuju rumah di Depok. Meskipun kondisi jalanan masih cukup ramai, hal ini wajar terutama pada malam Minggu. Namun hal yang tampak biasa dan wajar berubah menjadi luar biasa dan menyebalkan karena adanya rombongan sebuah pengajian.
Sejak sebelum memasuki kawasan Pasar Minggu, kepadatan jalan raya mulai terlihat dan nampak tidak biasa karena volume kendaraan lebih banyak dari biasanya. Bunyi klakson bersahutan, baik dari pengendara mobil, sepeda motor, maupun angkutan umum. Semua tak lebih karena “kemarahan” akibat kemacetan yang terjadi. Dan “parade” ini terus berlangsung hingga kawasan jalan Poltangan, tempat pengajian digelar.
Kemacetan semakin parah begitu memasuki Pasar Minggu, terutama saat memasuki terowongan yang jalannya menyempit. Setelah masuk terowongan, saya melihat beberapa mikrolet yang disesaki penumpang berbaju takwa dan kopiah putih, bukan hanya bergelantungan, mereka juga memenuhi atap mikrolet. Yang mengejutkan lagi, sebagian besar mereka adalah anak remaja yang kelihatannya masih SD atau SMP. Di bagian belakang mikrolet dipajang spanduk putih yang ditulis dengan spidol hitam bertuliskan, TEBET BERSOLAWAT, atau pada mobil yang lainnya, JUANDA-DEPOK BERSOLAWAT, dan pada beberapa bagian ada juga tulisan bahasa Arab yang bacaanya “Nurul Musthofa”, yang artinya “cahaya pilihan”.
Perjalanan berlanjut, dan semakin rusuh saja. Selain intensitas suara klakson yang makin tinggi, laju kendaraan pun semakin lambat. Bukan itu saja, beberapa jamaah muda yang saya sebut di atas juga mulai turun ke jalan, entah untuk apa. Stres melanda. Tak bisa melawan, hanya boleh bertahan. Dan saya hanya menggeleng dan menganggukkan kepala mengikuti irama klakson yang dibunyikan sebagai satu-satunya cara meredam stres dan kemarahan.
Di sisi jalan, tepatnya di pinggir rel kereta api yang tanahnya lebih tinggi dari jalan raya, banyak sekali jamaah yang nongkrong sambil menyimak pengajian dan mondar-mandir tak tentu arah. Beberapa jamaah yang kelihatannya dari satu keluarga berjalan kaki ke arah berlawanan, bersama anak-anak mereka yang masih kecil. Di samping itu, terlihat wajah yang pucat pasi dan kelelahan dari beberapa pengendara mobil yang sempat saya tengok mukanya. Agresifitas para pengendara motor pun sangat kentara. Mereka tidak membiarkan ada ruang kosong sekecil apapun di depannya, dan tak hentinya membunyikan klakson memerintahkan kendaraan di depannya supaya segera maju.
Laju kendaraan perlahan membaik begitu mendekati pusat pengajian di seputar jalan Poltangan. Setengah jalur menuju Lenteng Agung yang dijadikan majelis, dijaga ketat oleh beberapa jamaah dan sedikit polisi serta dipagari dengan tali. Walau kendaraan mulai berjalan lancar –sekalipun terseok-seok– beberapa pengendara masih meluapkan kekesalannya dengan membunyikan klakson berulang kali. Kontan saja para penjaga barikade marah. Mereka (penjaga barikade) meneriakkan ke para pengandara supaya tidak membunyikan klakson lagi. Teriakannya begini, “Woi, klakson, woi! Pada mau ngaji apa mau ngapain, sih!” Lho, ‘gimana sih? Yang membunyikan klakson tentu saja bukan orang yang datang untuk mengaji, melainkan mereka yang terganggu karena kemacetan ini. Dan tak lama setelah teriakan tersebut, ada salah seorang yang berteriak, “b**gsat!”. Malu saya mendengarnya, ada kata makian di tengah pengajian. Sambil melintasi para jemaah yang sedang mengikuti pengajian, saya mencoba untuk tetap tenang dan sesekali mencuri pandang ke arah pengajian karena penasaran, “apa yang disampaikan oleh sang ustadz?” Anehnya, sang ustadz tidak ada di situ, melainkan sebuah proyektor yang menayangkan sang Ketua Majelis sedang memberikan ceramah. Rasa penasaran saya akan isi pengajian nihil, karena saya sama sekali tidak bisa mendengar apa yang disampaikan oleh sang Ketua majelis di layar proyektor. Suara bising kendaraan, klakson yang masih saja “meraung”, serta teriakan orang-orang memecahkan konsentrasi ketika menyimak tausyiah sang ustadz yang tak dapat didengar dengan baik. Setelah cukup sabar menanti, siksaan “efek pengajian di jalanan” pun berakhir. Laju sepeda motor saya kembali kencang, dan tak ada lagi klakson kemarahan. Kemacetan malam itu menyisakan kesan yang sangat mendalam sekaligus banyak pertanyaan. Saya sangat terkesan, mengapa orang mau berbondong-bondong datang ke pengajian seperti itu, padahal tidak semuanya mengikuti pengajian dengan sungguh-sungguh, apalagi melihat cukup banyak anak-anak dan ibu-ibu yang mengajak serta anaknya yang masih kecil untuk ikut pengajian.
Saya terkesan bagaimana para jamaah dengan kompaknya bersatu demi tertibnya pengajian tersebut (tidak berlaku untuk ketertiban di luar pengajian). Tapi di luar itu, saya tak habis pikir, mengapa mereka memilih mengadakan pengajian di tengah jalan raya yang jelas-jelas menganggu ketertiban umum? Bukankah mengadakannya di tanah lapang yang luas atau masjid yang besar adalah pilihan (lebih) bijak? Lalu, kemana aparat kepolisian yang bertugas menertibkan lalu lintas? Dan pertanyaan terbesar adalah, apakah mereka, para petinggi majelis sadar akan situasi ini? Kesemrawutan dan ketidaktertiban berlalu lintas yang terjadi ketika jamaahnya mengadakan pengajin yang menyebabkan banyak pihak (terutama pengendara) merasa tidak nyaman dan merasa terganggu? Sampai dimanakah batas toleransi yang mereka miliki? Sadarkah mereka kalau kemacetan menimbulkan banyak kerugian materil maupun imateril bagi orang lain (berapa cc bahan bakar dan waktu terbuang, berapa banyak orang yang merasa kesal dan marah). Mengingat banyak orang yang mengeluhkan setiap diadakannya pengajian yang selalu mengganggu ketertiban umum?

Pemerintah sudah seharusnya tegas kepada kelompok-kelompok seperti ini, yang menjadikan agama (Islam) sebagai tameng, menjadikan majlis ta’lim sebagai kedok, untuk memenuhi syahwat duniawi pemimpinnya. Caranya, jangan beri izin kepada majlis-majlis seperti ini yang menggelar pengajian dengan cara menutup sebagian ruas jalan. Jalanan bukan tempat mengaji. Masjid dan mushalla adalah tempat yang semestinya untuk itu.
Apa-apa yang mereka lakukan sama sekali jauh dari kaidah dan etika majlis ta’lim yang semestinya mencerdaskan serta mencerahkan, justru kontraproduktif, yaitu menstigma Islam sebagai biang kekacauan. Bahkan ketika mereka menggelar muludan dengan nuansa yang seperti itu, apalagi diramaikan dengan letusan puluhan petasan (mercon), maka apa-apa yang mereka lakukan sama sekali tidak akan menumbuhkan kecintaan kepada Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam, tetapi justru kebalikannya. Begitulah cara musuh-musuh Islam memfitnah Islam dan Nabi Muhammad Rasulullah: mereka menggunakan atribut Islam, menyebut-nyebut cinta Rasul, namun output yang mereka hasilkan adalah kebencian.
Kelompok-kelompok seperti ini jelas berbahaya, sama bahayana dengan terorisme yang meledakkan sejumlah bangunan dan menewaskan sejumlah orang seperti Bom Bali dan sebagainya. Bahkan kelompok-kelompok seperti ini memang berbahaya. Karena kelompok-kelompok seperti ini –secara sadar atau tidak— secara tidak langsung membenamkan citra negatif ke dalam benak sejumlah orang terhadap Islam dan Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam  Mereka –sadar atau tidak— menjalani perbuatan yang hakekatnya sama dengan menggerogoti dan melakukan pembusukan dari dalam.

Penutup
Dari fenomena yang telah diungkap diatas, Realitasnya di Indonesia, norma-norma yang ada masih cenderung strukturalis, yakni melihat sesuatu berdasarkan posisi binernya. Termasuk dalam hal identitas. Identitas yang diterima sebagai hal yang umum hanya identitas laki-laki dan perempuan (konsekuensinya adalah relasi yang dianggap sah adalah relasi heteroseksual), padahal kedua kategori tersebut tidak cukup untuk mengakomodir identitas lain, misalnya identitas gay, lesbian, biseksual, transeksual, transgender, maupun queer. Identitas tersebut kemudian dianggap sebagai sesuatu yang “merusak” sistem yang telah dibangun oleh pemahaman yang melulu biner. Disini terjadi pergulatan makna. Bahwa dalam tataran pemikiran, wacana tentang identitas gay, lesbian, transeksual, transgender dan queer menjadi wacana yang asing bagi pemahaman yang sudah berpijak pada pola-pola stukturalis. Dalam tararan praktis, keasingan ini diwujudkan dengan respon-respon yang cenderung menolak orang-orang gay, lesbian, transeksual, transgender dan queer dengan alasan tidak sesuai dengan norma walaupun dalam realitas mereka ada. Bagaimana pandangan kita tentang fenomena yang telah merambah dari segala arah dan masalah ?








Daftar Pustaka

Ahmadi, Abu. Psikologi Sosial. Surabaya: Bina Ilmu, 1988

Alwisol. Psikologi Kepribadian. Cet.VI. Malang. UMM Pres, 2008

at-Thabrani, Abu al-Qasim Sulaiman ibn Ahmad ibn.  Al-Mu'jam   al-Kabeer.  juz   III, Beirut: Dar al Fikr, 1980

Bracher,  Mark. Jacques Lacan,  Diskursus, dan Perubahan Sosial:  Pengantar Kritik-Budaya Psikoanalisis. Bandung: Jalasutra, 2005

Hidayati,   Rahmi.   Struktur   Kepribadian   Dalam   Perspektif   Psikoanalisa  (Studi   Kasus    Pada    Lesbian). Skripsi Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri (UIN) Malang. Tidak Diterbitkan. 2007

Horton, Paul B., & Chester L. Hunt. Sosiologi, Jilid 1 Ed. Ke-VI, ( terj. Aminuddin Ram, Tita Sobari ). Jakarta: Penerbit Erlangga, 1993

Brook, Ann. Postfeminisme dan Cultural Studies. Bandung: Jalasutra. 1997

Munawir, A. fatah. Kamus Al-Munawwir, Arab-Indonesia Terlengkap.  ( Surabaya. Pustaka Progresif. 1996

Poduska,  Bernard. Empat Teori  Kepribadian (Eksistensialis, Behaviorisme,   Psikoanalisa,   Aktualisasi   Diri).  Restu   Agung:    Jakarta Pusat. 2000

Puspitosari, Hesti & Pujileksono, Sugeng. Waria dan Tekanan Sosial. Malang : UMM Press, 2005

Sa’adah, Urin  Laila. Pembentukan   Identitas   Seksual Kaum Gay.   Skripsi Fakultas    Psikologi    Universitas   Islam   Negeri    (UIN)   Malang.    Tidak  Diterbitkan. 2008

Santrock, John W.   Adolescence, Perkembangan Remaja.Jakarta:  Erlangga, 2003

Tong, P. Rosemary. Feminis Thought. Bandung: Jalasutra. 1998

Majalah Cermin Dunia Kedokteran No. 126, tahun 2000. Jakarta. PT. kalbe Farma, 2000

http://nahimunkar.com
www.media muslim.info.


[1]. Ahmadi, Abu. Psikologi Sosial. ( Surabaya: Bina Ilmu. 1988), 
[2] Alwisol. Psikologi Kepribadian. Cet.VI. ( Malang: UMM Pres. 2008 ), h. 8
[3]. Ibid
[4] Puspitosari, Hesti & Pujileksono, Sugeng. Waria dan Tekanan Sosial.  ( Malang : UMM Press, 2005 ) h. 44
[5] Horton, Paul B., & Chester L. Hunt. Sosiologi, Jilid 1 Ed. Ke-VI, ( terj. Aminuddin Ram, Tita Sobari ). ( Jakarta: Penerbit Erlangga, 1993), h. 207
[6] Munawir, A. fatah. Kamus Al-Munawwir, Arab-Indonesia Terlengkap.  ( Surabaya. Pustaka Progresif. 1996 ), h. 867
[7] at-Thabrani, Abu al-Qasim Sulaiman ibn Ahmad ibn.  Al-Mu'jam   al-Kabeer.  juz   III, ( Beirut: Dar al Fikr, 1980),  h. 337
[8] Ibid, h. 338
[9]. www.media muslim.info.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar