A. Pendahuluan
Dewasa
ini Studi komunikasi telah banyak melahirkan berbagai macam teori yang
masing-masing memiliki kelebihan dan kelemahan tersendiri. Ada banyak teori
tentang komunikasi. Berdasarkan kurun waktu dan pemahaman atas makna
komunikasi, teori komunikasi semakin hari berkembang seiring berkembangnya
teknologi informasi yang memakai komunikasi sebagai fokus kajiannya. Teori
komunikasi kontemporer yang merupakan perkembangan dari teori komunikasi klasik
melihat fenomena komunikasi tidak fragmatis. Artinya, komunikasi dipandang
sebagai sesuatu yang kompleks-tidak sesederhana yang dipahami dalam teori
komunikasi klasik.
Pendekatan
dalam memahami komunikasi pun tidak hanya mengacu pada teori semata, tetapi
juga memperhitungkan mazhab dan model apa yang dipakai. Mazhab yang dipakai
antara lain mazhab proses dan semiotika. Namun, dalam paper ini saya tidak
membahas teori kontemporer yang dianggap ‘pahlwan revolusioner’, tetapi saya
mengajak anda untuk mengkaji lebih detail tentang salah satu teori komunikasi
klasik yang dicetuskan oleh Shannon dan Weaver, yaitu teori matematis atau
teori informasi yang berkembang setelah perang dunia II . Teori yang termasuk
ke dalam tradisi sibernetik ini mengkaji bagaimana mengirim sejumlah informasi
yang maksimum melalui saluran yang ada[1].
Tentunya
teori ini memiliki kelebihan dan kelemahan jika dibandingkan dengan teori-teori
lainnya. Apakah teori ini masih relevan atau justru sudah tidak dapat disentuh
sama sekali. Namun, kita tidak bisa menafikkan kontribusi Shannon dan Weaver
dalam memberikan inspirasi ahli-ahli komunikasi berikutnya yang terus
mengembangkan teorinya seperti Gerbner, Newcomb, Westley dan MacLean, dan
lain-lain[2].
B. Mathematical
Theory of Communication
Salah
satu teori komunikasi klasik yang sangat mempengaruhi teori-teori komunikasi adalah Mathematical Theory of Communication(teori
informasi atau teori matematis). Teori ini merupakan bentuk penjabaran dari
karya Claude Shannon dan Warren Weaver[3].
Teori ini melihat komunikasi sebagai fenomena mekanistis, matematis, dan
informatif: komunikasi sebagai transmisi pesan dan bagaimana transmitter
menggunakan saluran dan media komunikasi[4].
Ini merupakan salah satu contoh gamblang dari mazhab proses yang mana melihat
kode sebagai sarana untuk mengonstruksi pesan dan menerjemahkannya (encoding
dan decoding). Titik perhatiannya terletak pada akurasi dan efisiensi
proses. Proses yang dimaksud adalah komunikasi seorang pribadi yang bagaimana
ia mempengaruhi tingkah laku atau state of mind pribadi yang lain. Jika efek
yang ditimbulkan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, maka mazhab ini
cenderung berbicara tentang kegagalan komunikasi. Ia melihat ke tahap-tahap
dalam komunikasi tersebut untuk mengetahui di mana letak kegagalannya. Selain
itu, mazhab proses juga cenderung mempergunakan ilmu-ilmu sosial, terutama
psikologi dan sosiologi, dan cenderung memusatkan dirinya pada tindakan
komunikasi.
Karya
Shannon dan Weaver ini kemudian banyak berkembang setelah Perang Dunia II di
Bell Telephone Laboratories di Amerika Serikat mengingat Shannon sendiri adalah
insiyiur di sana yang berkepentingan atas penyampaian pesan yang cermat melalui
telepon. Kemudian Weaver mengembangkan konsep Shannon ini untuk diterapkan pada
semua bentuk komunikasi. Titik kajian utamanya adalah bagaimana menentukan cara
di mana saluran (channel) komunikasi digunakan secara sangat efisien. Menurut
mereka, saluran utama dalam komunikasi yang dimaksud adalah kabel telepon dan
gelombang radio. Latar belakang keahlian teknik dan matematik Shannon dan
Weaver ini tampak dalam penekanan mereka. Misalnya, dalam suatu sistem telepon,
faktor yang terpenting dalam keberhasilan komunikasi adalah bukan pada pesan
atau makna yang disampaikan-seperti pada mazhab semiotika, tetapi lebih pada
berapa jumlah sinyal yang diterima dam proses transmisi[5].
Penjelasan
Teori Informasi Secara Epistemologi, Ontologi, dan Aksiologi
Teori
informasi ini menitikberatkan titik perhatiannya pada sejumlah sinyal yang
lewat melalui saluran atau media dalam proses komunikasi. Ini sangat berguna
pada pengaplikasian sistem elektrik dewasa ini yang mendesain transmitter,
receiver, dan code untuk memudahkan efisiensi informasi.Jika dianalogikan
dengan pesawat telepon, salurannya adalah kabel, sinyalnya adalah arus listrik
di dalamnya, dan transmitter dan penerimanya adalah pesawat telepon. Dalam
percakapan, mulut adalah transmitternya, sedangkan gelombang suara yang ke luar
melalui saluran udara adalah sinyalnya, dan telinga adalah penerimanya.
Shannon
dan Weaver membuat model komunikasi yang dilihat sebagai proses linear yang
sangat sederhana. Karakteristik kesederhanaanya ini menonjol dengan jelas.
Mereka menyoroti masalah-masalah komunikasi (penyampaian pesan)
berdasarkan tingkat kecermatannya.Sebagaimana
yang dipakai dalam teori komunikasi informasi atau matematis, konsep tidak
mengacu pada makna, akan tetapi hanya memfokuskan titik perhatiannya pada
banyaknya stimulus atau sinyal.Konsep dasar dalam teori ini adalah entropi dan
redundansi-konsep yang dipinjam dari thermodynamics. Kedua konsep ini saling
mempengaruhi dan bersifat sebab akibat (kausatif). Di mana entropi akan sangat
berpengaruh terhadap redundansi yang timbul dalam proses komunikasi.
Entropi
adalah konsep keacakan, di mana terdapat suatu keadaan yang tidak dapat
dipastikan kemungkinannya. Entropi timbul jika prediktabilitas/kemungkinan
rendah (low predictable) dan informasi yang ada tinggi (high information).
Sebagai contoh ada pada penderita penyakit Aids. Pengidap Aids atau yang lebih
sering disebut OHIDA tidak dapat dipastikan usianya atau kapan ia akan dijemput
maut. Ada yang sampai delapan tahun, sepuluh tahun, bahkan sampai dua puluh
tahun, masih bisa menjalani hidup sebagaimana orang yang sehat. Hal ini
dikarenakan ajal atau kematian adalah sebuah sistem organisasi yang
kemungkinannya sangat tidak dapat dipastikan.Dengan kata lain, semakin besar
entropi, semakin kecil kemungkinan-kemungkinannya (prediktabilitas). Informasi
adalah sebuah ukuran ketidakpastian, atau entropi, dalam sebuah situasi.
Semakin besar ketidakpastian, semakin besar informasi yang tersedia dalam
proses komunikasi. Ketika sebuah situasi atau keadaan secara lengkap dapat
dipastikan kemungkinannya atau dapat diprediksikan-highly predictable, maka
informasi tidak ada sama sekali. Kondisi inilah yang disebut dengan negentropy.
Konsep
kedua yang merupakan kebalikan dari entropi adalah redundansi. Redudansi adalah
sesuatu yang bisa diramalkan atau diprediksikan (predictable). Karena
prediktabilitasnya tinggi (high predictable), maka informasi pun rendah
(low information). Fungsi dari redundan dalam komunikasi menurut Shannon dan
Weaver ada dua, yaitu yang berkaitan dengan masalah teknis dan yang berkaitan
dengan perluasan konsep redundan itu sendiri ke dalam dimensi sosial.Fungsi
redundansi apabila dikaitkan dengan masalah teknis, ia dapat membantu untuk
mengatasi masalah komunikasi praktis. Masalah ini berhubungan dengan akurasi
dan kesalahan, dengan saluran dan gangguan, dengan sifat pesan, atau dengan
khalayak.
Kekurangan-kekurangan
dari saluran (channel) yang mengalami gangguan (noisy channel) juga dapat
diatasi oleh bantuan redundansi. Misalnya ketika kita berkomunikasi melalui
pesawat telepon dan mengalami gangguan, mungkin sinyal yang lemah, maka kita
akan mengeja huruf dengan ejaan yang telah banyak diketahui umum, seperti
charlie untuk C, alpa untuk huruf A, dan seterusnya. Contoh lain, apabila kita
ingin mengiklankan produk kita kepada masyarakat konsumen baik melalui media
cetak (koran, majalah, atau tabloid) ataupun elektronik (radio dan televisi),
maka redundansi berperan pada penciptaan pesan (iklan) yang dapat menarik
perhatian, sangat simpel, sederhana, berulang-ulang dan mudah untuk
diprediksikan (predictable).
Selain
masalah gangguan, redundansi juga membantu mengatasi masalah dalam
pentransmisian pesan entropik dalam proses komunikasi. Pesan yang tidak
diinginkan atau tidak diharapkan, lebih baik disampaikan lebih dari satu kali,
dengan berbagai cara yang sekreatif mungkin.Fungsi kreatif redundansi ini juga
bila dikaitkan dengan khalayak, akan sangat membantu sekali pada masalah jumlah
dan gangguan pesan di dalamnya. Jika pesan yang ingin disampaikan tertuju pada
khalayak yang besar dan heterogen, maka pesan tersebut harus memiliki tingkat
redundansi yang tinggi, sehingga pesan yang disampaikan akan berhasil dan mudah
dicerna. Sebaliknya, jika khalayak berada pada jumlah yang kecil, spesialis,
dan homogen, maka pesan yang akan disampaikan akan lebih entropik.
Contoh
dari fungsi redundansi di atas misalnya pada pemaknaan seni populer (popular
art) yang lebih redundan dari pada seni bercita rasa tinggi (highbrow art). Hal
ini dikarenakan seni populer lebih mudah untuk dicerna dan dipahami oleh banyak
khalayak dari pada seni bercita rasa tinggi di mana khalayak yang mengerti
hanya beberapa golongan elit saja. Selain masalah di atas, konsep redundansi
juga bisa diperluas hubungannya dengan konvensi dan hubungan realitas sosial
masyarakat.
Konvensi
adalah menyusun suatu pesan dengan pola-pola yang sama. Pengertian sederhananya
dapat dipahami sebagai bentuk baku yang telah umum diterima sebagai pedoman.
Sebagai contoh, dalam karya sastra lama ada yang disebut dengan pantun. Pantun
merupakan salah satu bentuk karya sastra lama (klasik) yang memiliki
karakteristik tersendiri. Cirinya antara lain berpola AB AB, artinya bunyi
huruf terakhir dari dua baris terakhir pasti sama dengan bunyi dua huruf
terakhir dua baris pertama. Contoh:
Beli
kain di pajak ikan
Baju
dijahit diteras rumah
Hadirin
ramai mendengarkan
Ustad
Mujahid sedang ceramah
Pada
contoh pantun ini, kita setidaknya dapat meramalkan bahwa baris ketiga dan
keempat pasti memiliki bunyi yang sama dengan baris pertama dan kedua, walaupun
kita belum mengetahui isi dan maknanya. Hal ini dikarenakan pantun menekankan
pengulangan dan pola-pola yang bisa diramalkan. Sehingga ini bisa meningkatkan
redundansi dan menurunkan entropi.Ketika berbicara masalah entropi dan redundansi
pada masalah karya seni, kita mengetahui bahwa karya seni bukan merupakan hal
yang statis dan kaku. Ia akan terus berubah dan bersifat dinamis seiring
perkembangan nilai dan corak hidup masyarakat. Karya seni ada kalanya akan
bersifat ‘nakal’ atau ‘nyeleneh’ dan melanggar konvensi-konvensi yang ada,
sehingga menjadi entropik bagi khalayak yang ada di dekatnya. Namun, ia juga
akan berusaha mengikis imej itu secara perlahan dengan membangun sendiri
konvensi-konvensi baru yang awalnya hanya ada pada khalayak yang jumlahnya
terbatas. Maka dengan sendirinya karya seni tadi akan diterima dan dipelajari
secara luas, sehingga dapat meningkatkan redundansinya. Sebagai contoh, seni
lukis tubuh (body paint) yang dahulu dianggap tabu sekarang dianggap sebagai
hal yang biasa dan mempunyai nilai seni[6].
Analisis Sifat-sifat dan Fungsi Teori
Jika
dianalisis secara detail maka sifat-sifat dan fungsi teori dapat dikemukakan sebagai
berikut :
1.Semua
teori adalah abstraksi tentang sesuatu hal, yang berarti suatu teori bersifat
terbatas.
2. Teori
salalu mengurangi pengalaman menjadi sebuah bentuk kategori-kategori yang
sebagai hasilnya selalu meninggalkan sesuatu. Disamping itu teori merupakan
konstruksi ciptaan individual manusia[7].
3.
Suatu teori itu sifatnya relatif dalam arti tergantung pada cara pandang si
pencipta teori, sifat dan aspek yang diamati, serta kondisi-kondisi lain yang
mengikat seperti waktu, tempatdan lingkungan sekitarnya[8].
4. Sebuah
teori mengfokuskan perhatian kita pada sesuatu pola, hubungan, variabel, dan
mengabaikan yang lainnya[9].
5.
Teori sifatnya tidak mengikat peneliti, maksudnya peneliti bebas berteori untuk
memaknai data dan mendialogkannya dengan konteks sosial yang terjadi.
6. Setiap
teori bersifat sistematis, karena dilatarbelakangi dengan munculnya sebuah
fenomena, menghubungkan fenomena dengan variabel-variabel yang mendukung
fenomena tersebut, penulusuran terhadap fenomena yang terjadi, serta menjelaskan
berbagai rumusan dan kesimpulannya. Atau dengan kata lain teratur menurut
sistem[10].
7. Teori
bersifat majemuk, artinya setiap teori menjelaskan fenomena yang berbeda-beda
dan terdapat beraneka tafsir terhadap pemahaman sebuah teori.
8. Teori
selalu berkembang, artinya teori senantiasa mengikuti perkembangan zaman, teori
diperbaharui dengan menyempurnakan informasi yang terkait dengan fenomena yang
terjadi di masa lampau dan dihubungkan dengan fenomena yang terjadi di masa
sekarang[11].
9. Teori
bersifat terbuka, artinya teori membuka kemungkinan-kemungkinan lain yang
tentatif (bersifat sementara), kontekstual, dan bermutu.
10. Teori
bersifat perspektival, artinya setiap orang dapat menganalisis makna yang
terkandung dalam sebuah teori berdasarkan sudut pandang masing-masing[12].
11. Teori
bersifat empiris, artinya teori didapatkan berdasarkan pengalaman terutama yang
diperoleh dari penemuan, percobaan, dan pengamatan yang telah dilakukan[13].
12. Teori
bersifat universal, artinya ruang lingkup teori bergantung pada prinsip umum
atau gagasan bahwa sebuah penjelasan teori harus cukup umum untuk dapat masuk
ke pengamatan tunggal.
13. Teori
bukan spekulasi, artinya kebenaran teori didasarkan pada penjelasan kongkrit
dan ilmiah bukan secara kebetulan[14].
Dari
analisa yang dikemukakan diatas maka fungsi teori informasi dapat
dikemukakan sebagai berikut :
1. Fungsi Menjelaskan
Teori
harus mampu membuat suatu penjelasan tentang hal yang diamatinya. Misalnya
mampu menjelaskan pola-pola hubungan dan menginterpretasikan
peristiwa-peristiwa tertentu.Dalam teori informasi ini menjelaskanbahwa dalam
suatu sistem telepon, faktor yang terpenting dalam keberhasilan komunikasi
adalah bukan pada pesan atau makna yang disampaikan-seperti pada mazhab
semiotika, tetapi lebih pada berapa jumlah sinyal yang diterima dam proses
transmisi .
2. Fungsi Meramalkan
Meskipun
kejadian yang diamati berlaku pada masa lalu, namun berdasarkan data dan hasil
pengamatan yang dilakukan harus dibuat suatu perkiraan tentang keadaan yang
bakal terjadi apabila hal-hal yang digambarkan oleh teori juga tercermin dalam
kehidupan di masa sekarang. Fungsi prediksi ini terutama sekali penting bagi
bidang-bidang kajian komunikasi terapan seperti persuasi dan perubahan sikap,
komunikasi dalam organisasi, dinamika kelompok kecil, periklanan, public
relations dan media massa.
Teori
informasi memprediksikan bahwa khalayak tergantung kepada informasi yang
berasal dari media massa dalam rangka memenuhi kebutuhan khalayak bersangkutan
serta mencapai tujuan tertentu dari proses konsumsi media massa.
3. Fungsi Memberikan Pandangan
Teori
informasi ini mampu memberikan pandangan kepada masyarakat terhadap sesuatu
hal, dan pandangan tersebut jelas sangat erat kaitannya dengan ketergantungan
masyarakat akan sebuah media massa. Ketika media membangun persepsi dengan
memberikan informasi tentang hal-hal yang buruk terhadap masyarakat oleh
pemegang kekuasan, maka pemegang kekuasaan akan berusaha mengembalikan atau
membalikan persepsi tersebut dengan menyampaikan informasi melalui media pula.
4. Fungsi Memberikan Strategi
Teori
Informasi berfungsi memberikan strategi dalam hal ini teori ini mampu mengorganisasikan
dan menyimpulkan pengetahuan tentang suatu hal. Ini berarti teori informasi
mampu mengamati realitas kita tidak boleh melakukan secara sepotong-sepotong.
Kita perlu mengorganisasikan dan mensintesiskan hal-hal yang terjadi dalam
kehidupan nyata. Pola-pola dan hubungan-hubungan harus dapat dicari dan ditemukan.
Pengetahuan yang diperoleh dari pola atau hubungan itu kemudian disimpulkan.
Hasilnya (berupa teori) akan dapat dipakai sebagai rujukan atau dasar bagi
upaya-upaya studi berikutnya.
2. Memfokuskan.
Teori pada dasarnya menjelaskan tentang sesuatu hal, bukan banyak hal.
3. Menjelaskan.
Teori harus mampu membuat suatu penjelasan tentang hal yang diamatinya.
Misalnya mampu menjelaskan pola-pola hubungan dan menginterpretasikan
peristiwa-peristiwa tertentu.
4. Pengamatan.
Teori tidak sekedar memberi penjelasan, tapi juga memberikan petunjuk bagaimana
cara mengamatinya, berupa konsep-konsep operasional yang akan dijadikan patokan
ketika mengamati hal-hal rinci yang berkaitan dengan elaborasi teori.
5. Membuat
predikasi. Meskipun kejadian yang diamati berlaku pada masa lalu, namun
berdasarkan data dan hasil pengamatan ini harus dibuat suatu perkiraan tentang
keadaan yang bakal terjadi apabila hal-hal yang digambarkan oleh teori juga
tercermin dalam kehidupan di masa sekarang. Fungsi prediksi ini terutama sekali
penting bagi bidang-bidang kajian komunikasi terapan seperti persuasi dan
perubahan sikap, komunikasi dalam organisasi, dinamika kelompok kecil,
periklanan, public relations dan media massa.
6. Fungsi
heuristik atau heurisme. Artinya bahwa teori yang baik harus mampu merangsang
penelitian selanjutnya. Hal ini dapat terjadi apabila konsep dan penjelasan
teori cukup jelas dan operasional sehingga dapat dijadikan pegangan bagi
penelitian-penelitian selanjutnya.
7. Komunikasi.
Teori tidak harus menjadi monopoli penciptanya. Teori harus dipublikasikan,
didiskusikan dan terbuka terhadap kritikan-kritikan, yang memungkinkan untuk
menyempurnakan teori. Dengan cara ini maka modifikasi dan upaya penyempurnaan
teori akan dapat dilakukan.
8. Fungsi
kontrol yang bersifat normatif. Asumsi-asumsi teori dapat berkembang menjadi
nilai-nilai atau norma-norma yang dipegang dalam kehidupan sehari-hari. Dengan
kata lain, teori dapat berfungsi sebagai sarana pengendali atau pengontrol
tingkah laku kehidupan manusia.
9. Generatif.
Fungsi ini terutama menonjol di kalangan pendukung aliran interpretif dan
kritis. Menurut aliran ini, teori juga berfungsi sebagai sarana perubahan
sosial dan kultural serta sarana untuk menciptakan pola dan cara kehidupan yang
baru[15].
Sedangkan
menurut Koentjaraningrat dalam suatu riset, teori mempunyai fungsi-fungsi:1. Menyimpulkan
generalisasi-generalisasi dari fakta-fakta hasil pengamatan, artinya merupakan
kesimpulan induktif yang menngeneralisasi hubungan antara fakta-fakta atau
kelas-kelas fakta-fakta.2. Memberi kerangka
orientasi untuk analisis dan klasifikasi dari fakta-fakta yang
dikumpulkan dalam penelitian, artinya berfungsi sebagai pendorong proses
berpikir deduktif yang bergerak dari alam abstrak ke alam fakta-fakta konkrit.
Suatu teori dipakai oleh periset sebagai kerangka yang memberi batasan terhadap
fakta-fakta konkrit yang tak terbilang banyaknya dalam kenyataan di masyarakat.
3. Memberi ramalan terhadap gejala-gejala baru yang terjadi, artinya adalah
memberi prediksi atau ramalan sebelumnya kepeda periset mengenai fakta-fakta
yang akan terjadi.
4. Mengisi
lowongan-lowongan dalam pengetahuan kita tentang gejala-gejala yang telah atau
sedang terjadi[16].
Fungsi
teori menurut Soerjono Soekamto merupakan ikhtisar hal-hal yang telah diketahui
serta diuji kebenarannya yang menyangkut objek yang dipelajari.Teori memberikan
petunjuk-petunjuk terhadap kekurangan-kekurangan pada seseorang yang
memperdalam pengetahuannya.Teori berguna untuk lebih mempertajam atau lebih
mengkhususkan fakta yang dipelajari. Selanjutnya suatu teori akan sangat
berguna dalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta, membina struktur
konsep-konsep serta memperkembangkan definisi-defini yang penting untuk
penelitian.Pengetahuan teoritis memberikan kemungkinan-kemungkinan untuk
mengadakan proyeksi sosial, yaitu usaha untuk dapat mengetahui ke arah mana
masyarakat akan berkembang atas dasar fakta yang diketahui pada masa yang
lampau dan pada dewasa ini[17].
Kritik Terhadap
Teori Informasi
Teori
informasi yang dikemukakan Shannon dan Weaver ini banyak menuai kritik . Salah
satunya adalah ia tidak mnjelaskan konsep umpan balik (feedback) dalam model
teorinya. Padahal dalam konsep analogi pesawat telepon yang ia kemukakan,
konsep umpan balik sangat berperan penting dalam menentukan keberhasilan
komunikasi. Hal ini dikarenakan teori yang ia kaji hanya melihat komunikasi
sebagai fenomena linear satu arah.Teori informasi (matematis) yang ia kaji
hanya melihat komunikasi dari faktor komunikator yang dominan. Padahal penerima
sebagai komunikan pun adalah bagian dari proses komunikasi yang akan terlibat
jika konsep umpan balik ia masukkan. Selain itu umpan balik juga justru bisa
memberitahukan kegagalan dalam komunikasi. Sebagai contoh, ketika seseorang
menelpon dan yang ditelepon tidak melakukan reaksi apapun, atau mungkin sinyal
di udara lemah, maka reaksi diam penerima sebenarnya adalah umpan balik bagi
sumber atau penelpon.
Selain
konsep umpan balik yang tidak diusung dalam teori informasi, sebenarnya,
Shannon dan weaver juga tidak mengkaji detil tentang peranan medium (media)
dalam teorinya. Ia hanya terfokus pada fungsi saluran atau transmitter. Padahal
konsep medium tidak dapat dipisahkan dari konsep transmisi yang ia usung
sebelumnya. Secara garis besar, jika dibandingkan dengan teori kontemporer,
misalnya, interaksionisme simbolik, model teori Shannon dan Weaver ini terlalu
sederhana. Padahal komunikasi terdiri dari banyak aspek seperti yang dikatakan
Schramm sebagai area studi Multidisipliner. Ia akan selalu berkaitan dengan
ilmu sosial, psikologi, kejiwaan, teknologi, bahkan perang.
Penutup
Beberapa
kritik terhadap teori ini memang pantas dikemukakan di sini mengingat beberapa
hal yang tampaknya masih perlu penjelasan dan pengujian lebih lanjut, yakni
antara lain sebagai berikut:
(1) Sulit untuk
menjelaskan dengan teori ini mengenai kekuatan penjelasannya, misalnya dalam
kasus, sekelompok orang dengan ide dan kepercayaannya selama ini mengirim
pesanpesan kepada sekelompok orang yang berbeda melalui penggunaan media,
khususnya media massa.
(2) Kritik
berikut berkaitan dengan adanya kekuatan untuk meramalkan (to predict) sesuatu
yang belum terjadi. Bahwa budaya dunia ketiga akan rusak atau hancur, dan
orang-orangnya akan beridentitas sebagai orang barat, terutama dalam
pandangan-pandangan dan kepercayaannya. Apa iya seperti itu. Bukankah adanya
akulturasi buada malahan justru bisa memperkaya wawasan masyarakat sehingga
pada akhirnya akan mengembangkan budaya yang ada, termasuk budaya lokal?.
(3) Terlalu
sederhana jika kita hanya melihat seperti garis lurus dari proses penggunaan
media yang asalnya dari pengirim menuju ke penerima, lalu dilihat efeknya.
Efek-efek komunikasi tidak bisa diukur atau dijelaskan sebagai pola hubungan
garis lurus, tapi bisa jadi berpola kurva, kurva linear, spurious, atau bahkan
negatif.
(4) Kritik
berikutnya adalah falsifiability (bisa salah). Negara-negara dunia ketiga tidak
terpengaruh oleh media barat, dan mereka juga tidak kehilangan kebudayaannya.
Bahkan dalam hal-hal tertentu, justru media barat bisa digunakan untuk
menjelaskan pola budaya lokal, sehingga budaya lokal menjadi mengglobal.
(5) Adanya
suatu alur peristiwa yang tampak logis sehingga berkonsekuensi terhadap teori
itu sendiri.
(6) Kritik
lainnya adalah pada heuristic provocativeness. Mungkin akan muncul hipotesis
baru mengenai effek dari adanya proses budaya. Budaya mana yang paling banyak
dipengaruhi oleh budaya lainnya, dan seberapa besar pengaruh budaya tersebut
terhadap budaya lokal.
(7) Terlalu
menganggap kuat organisasi pengusung media massa. Kita sebenarnya mengetahui
bahwa budaya barat dan budaya timur memang berbeda.
DAFTAR PUSTAKA
Berger, Arthur Asa.Media Analysis Techniques. Beverly Hills
: Sage Publication.1982
Carey, James W.Communication as Culture, Essays on Media and
Society. Boston: Unwin Hyman, 1989
Crowly, David dan David Mitchell. Communication Theory Today.
Cambridge : Policy Press.1994.
Effendy, Onong Uchjana.Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya 2003
Effendy, Onong Uchjana. Spektrum Komunikasi. Bandung:
Penerbit Mandar Maju, 1992
Fiske, John. Introduction To Communication Studies. 2nd Edition.
London: Guernsey Press Co Ltd, 1999
Griffin, EM. A First Look at
Communication Theory, 5th Edition. USA: McGraw-Hill, 2003
Littlejohn, Stephen W.. Theories of Human Communication. USA:
Wadsworth Group, 2002
Miller, Katherine. Communication Theories: Perspectives, Processes,
and Contexts. USA: McGraw Hill, 2002
Mulyana, Deddy. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2003
Susanto, Astrid. S. Komunikasi Kontemporer. Jakarta: Penerbit
Binacipta, 1977
Denzin, Norman K dan Yvonna S. Lincoln (2005), Handbook of
Qualitative Research, London : Sage Publication.
Dijk, Teun A. Van, (1988), News As Discourse, Hillsdale, New
Jersey: Lawrence Erlbaum Associate.
Eriyanto, (2001). Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media.
Yogyakarta : LKiS,
Fairclough, Norman (2006).
Discourse and Social Change. Cambridge:
Polity Press
------------------------
(2005). Analysing Discourse, Textual analysis for social research.
London and New York: Routledge
-------------------------
(1995). Media Discourse, London : Edward Arnold.
-------------------------
(1995). Critical Discourse Analysis, London-NY : Longman.
Foss, Sonja K, at.all, (1985) Contemporary Perspectives on
Rethoric, Illinois : Waveland.
Gee, James Paul, (2005). an Introduction to Discourse Discourse
Analysis, Theory and Method, London and New York : Routledge.
Fiske, John, 1991. Introduction to Communication Studies. London
and New York: Routledge
Gamson, Willam A dan Andre
Modigliani. 1998. “Media Discourse and Public Opinion on
Nuclear Power A. Constructionist Approach”, Journal of Sociology,
Vol 95, No. 1. July 1989.
Gee, James Paul. 2000. An Introduction to Discourse Analysis,
Theory and Method. London – New York : Routledge.
Griffin, EM. 2003. A First Look at Communication Theory. Boston-Toronto:
McGraw Hill.
Halliday, MAK (1993), Language as Social Semiotic, The Social
Interpretation of Language and Meaning, London : The Open University Set Book.
Hamad, Ibnu. 2004. Konstruksi Realitas Politik di Media Massa
sebuah Study Critical Discourse Analysis Discourse. Jakarta: Granit.
Heath, Robert L dan Jannings Bryant. 2000. Human Communication
Theory and Research, Concepts, Contexts,
and Challenges. Mahwah, New Jersey –
London: Lawrence Erlbaum Associate Publisher.
Krippendorf, Klauss. 1980.
Content Analysis, An Introduction to Its Methodolgy” (Beverly Hill
California : Sage Publication.
Littlejohn, Stephen W. 1999. Theories of Human Communication.
Belmont-Toronto: Wadsworth Publishing Company.
McQuail, Dennis and Sven
Windahl. 1996. Communication Models :
for The Study of Mass Communication. New York
: Longman.
Mills, Sara. 1997. Discourse, London and New York : Routledge
Norris, Sigrid dan Rodney H. Jones (2005), Discourse in Action,
London and New York: Routledge
Schiffrin, Deborah at.al, editor. (2005). The Handbook of Discourse
Analysis. Blackwell Publishing.
Sobur, Alex. 2001. Analisis Teks Media, Suatu Pengantar Analisis
Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing, Bandung : Rosdakarya,
Titscher, Stefan, at.al. 2000. Methods of Text and Discourse
Analysis. London-Thousand Oaks-New Delhi : Sage Publication.
[1]McQuail,
Dennis and Sven Windahl. Communication Models : for The Study of Mass
Communication. (New York : Longman.
1996), h. 125
[2]Gee,
James Paul, an Introduction to Discourse
Discourse Analysis, Theory and Method, (London and New York : Routledge, 2005),
h .215
[3]Hamad,
Ibnu. Konstruksi Realitas Politik di Media Massa sebuah Study Critical
Discourse Analysis Discourse. Jakarta: Granit. 2004), h. 124
[4]Miller,
Katherine. Communication Theories:
Perspectives, Processes, and Contexts. USA: McGraw Hill, 2002), h. 126
[5]Griffin,
EM. A First Look at Communication Theory, 5th Edition. (USA: McGraw-Hill,
2003), h. 236
[6]
Susanto, Astrid. S. Komunikasi Kontemporer. (Jakarta: Penerbit Binacipta,
1997), h. 125
[7]Berger,
Arthur Asa. Media Analysis Techniques. (Beverly Hills : Sage
Publication. 1982) , h. 234
[8].
Carey, James W. Communication as Culture, Essays on Media and Society.
Boston: Unwin Hyman, 1989, h. 235
[9].
ibid
[10].
Crowly, David dan David Mitchell. Communication Theory Today. (Cambridge :
Policy Press.1994), 326
[11].
ibid
[12]Effendy,
Onong Uchjana. Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek. ( Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2003), h. 126-132
[13].
ibid
[14]Fiske,
John. Introduction To Communication Studies. 2nd Edition. (London: Guernsey
Press Co Ltd, 1999), h. 213-216
[15]Littlejohn,
Stephen W. Theories of Human Communication. (USA: Wadsworth Group, 2002),
h. 223-237
[16].
Mulyana, Deddy. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2003), h. 125
[17]Soerjono
Soekamto, Sosiologi Suatu Pengantar ( Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada,1982),
h.26
Tidak ada komentar:
Posting Komentar