Kamis, 04 April 2013

MATHEMATICAL THEORY OF COMMUNICATION


MATHEMATICAL THEORY OF COMMUNICATION

A. Pendahuluan
Dewasa ini Studi komunikasi telah banyak melahirkan berbagai macam teori yang masing-masing memiliki kelebihan dan kelemahan tersendiri. Ada banyak teori tentang komunikasi. Berdasarkan kurun waktu dan pemahaman atas makna komunikasi, teori komunikasi semakin hari berkembang seiring berkembangnya teknologi informasi yang memakai komunikasi sebagai fokus kajiannya. Teori komunikasi kontemporer yang merupakan perkembangan dari teori komunikasi klasik melihat fenomena komunikasi tidak fragmatis. Artinya, komunikasi dipandang sebagai sesuatu yang kompleks-tidak sesederhana yang dipahami dalam teori komunikasi klasik.
Pendekatan dalam memahami komunikasi pun tidak hanya mengacu pada teori semata, tetapi juga memperhitungkan mazhab dan model apa yang dipakai. Mazhab yang dipakai antara lain mazhab proses dan semiotika. Namun, dalam paper ini saya tidak membahas teori kontemporer yang dianggap ‘pahlwan revolusioner’, tetapi saya mengajak anda untuk mengkaji lebih detail tentang salah satu teori komunikasi klasik yang dicetuskan oleh Shannon dan Weaver, yaitu teori matematis atau teori informasi yang berkembang setelah perang dunia II . Teori yang termasuk ke dalam tradisi sibernetik ini mengkaji bagaimana mengirim sejumlah informasi yang maksimum melalui saluran yang ada[1].
Tentunya teori ini memiliki kelebihan dan kelemahan jika dibandingkan dengan teori-teori lainnya. Apakah teori ini masih relevan atau justru sudah tidak dapat disentuh sama sekali. Namun, kita tidak bisa menafikkan kontribusi Shannon dan Weaver dalam memberikan inspirasi ahli-ahli komunikasi berikutnya yang terus mengembangkan teorinya seperti Gerbner, Newcomb, Westley dan MacLean, dan lain-lain[2].

B. Mathematical Theory of Communication
Salah satu teori komunikasi klasik yang sangat mempengaruhi teori-teori komunikasi  adalah Mathematical Theory of Communication(teori informasi atau teori matematis). Teori ini merupakan bentuk penjabaran dari karya Claude Shannon dan Warren Weaver[3]. Teori ini melihat komunikasi sebagai fenomena mekanistis, matematis, dan informatif: komunikasi sebagai transmisi pesan dan bagaimana transmitter menggunakan saluran dan media komunikasi[4]. Ini merupakan salah satu contoh gamblang dari mazhab proses yang mana melihat kode sebagai sarana untuk mengonstruksi pesan dan menerjemahkannya (encoding dan decoding). Titik perhatiannya terletak pada akurasi dan efisiensi proses. Proses yang dimaksud adalah komunikasi seorang pribadi yang bagaimana ia mempengaruhi tingkah laku atau state of mind pribadi yang lain. Jika efek yang ditimbulkan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, maka mazhab ini cenderung berbicara tentang kegagalan komunikasi. Ia melihat ke tahap-tahap dalam komunikasi tersebut untuk mengetahui di mana letak kegagalannya. Selain itu, mazhab proses juga cenderung mempergunakan ilmu-ilmu sosial, terutama psikologi dan sosiologi, dan cenderung memusatkan dirinya pada tindakan komunikasi.
Karya Shannon dan Weaver ini kemudian banyak berkembang setelah Perang Dunia II di Bell Telephone Laboratories di Amerika Serikat mengingat Shannon sendiri adalah insiyiur di sana yang berkepentingan atas penyampaian pesan yang cermat melalui telepon. Kemudian Weaver mengembangkan konsep Shannon ini untuk diterapkan pada semua bentuk komunikasi. Titik kajian utamanya adalah bagaimana menentukan cara di mana saluran (channel) komunikasi digunakan secara sangat efisien. Menurut mereka, saluran utama dalam komunikasi yang dimaksud adalah kabel telepon dan gelombang radio. Latar belakang keahlian teknik dan matematik Shannon dan Weaver ini tampak dalam penekanan mereka. Misalnya, dalam suatu sistem telepon, faktor yang terpenting dalam keberhasilan komunikasi adalah bukan pada pesan atau makna yang disampaikan-seperti pada mazhab semiotika, tetapi lebih pada berapa jumlah sinyal yang diterima dam proses transmisi[5].

Penjelasan Teori Informasi Secara Epistemologi, Ontologi, dan Aksiologi
Teori informasi ini menitikberatkan titik perhatiannya pada sejumlah sinyal yang lewat melalui saluran atau media dalam proses komunikasi. Ini sangat berguna pada pengaplikasian sistem elektrik dewasa ini yang mendesain transmitter, receiver, dan code untuk memudahkan efisiensi informasi.Jika dianalogikan dengan pesawat telepon, salurannya adalah kabel, sinyalnya adalah arus listrik di dalamnya, dan transmitter dan penerimanya adalah pesawat telepon. Dalam percakapan, mulut adalah transmitternya, sedangkan gelombang suara yang ke luar melalui saluran udara adalah sinyalnya, dan telinga adalah penerimanya.
Shannon dan Weaver membuat model komunikasi yang dilihat sebagai proses linear yang sangat sederhana. Karakteristik kesederhanaanya ini menonjol dengan jelas. Mereka menyoroti masalah-masalah komunikasi (penyampaian pesan) berdasarkan  tingkat kecermatannya.Sebagaimana yang dipakai dalam teori komunikasi informasi atau matematis, konsep tidak mengacu pada makna, akan tetapi hanya memfokuskan titik perhatiannya pada banyaknya stimulus atau sinyal.Konsep dasar dalam teori ini adalah entropi dan redundansi-konsep yang dipinjam dari thermodynamics. Kedua konsep ini saling mempengaruhi dan bersifat sebab akibat (kausatif). Di mana entropi akan sangat berpengaruh terhadap redundansi yang timbul dalam proses komunikasi.
Entropi adalah konsep keacakan, di mana terdapat suatu keadaan yang tidak dapat dipastikan kemungkinannya. Entropi timbul jika prediktabilitas/kemungkinan rendah (low predictable) dan informasi yang ada tinggi (high information). Sebagai contoh ada pada penderita penyakit Aids. Pengidap Aids atau yang lebih sering disebut OHIDA tidak dapat dipastikan usianya atau kapan ia akan dijemput maut. Ada yang sampai delapan tahun, sepuluh tahun, bahkan sampai dua puluh tahun, masih bisa menjalani hidup sebagaimana orang yang sehat. Hal ini dikarenakan ajal atau kematian adalah sebuah sistem organisasi yang kemungkinannya sangat tidak dapat dipastikan.Dengan kata lain, semakin besar entropi, semakin kecil kemungkinan-kemungkinannya (prediktabilitas). Informasi adalah sebuah ukuran ketidakpastian, atau entropi, dalam sebuah situasi. Semakin besar ketidakpastian, semakin besar informasi yang tersedia dalam proses komunikasi. Ketika sebuah situasi atau keadaan secara lengkap dapat dipastikan kemungkinannya atau dapat diprediksikan-highly predictable, maka informasi tidak ada sama sekali. Kondisi inilah yang disebut dengan negentropy.
Konsep kedua yang merupakan kebalikan dari entropi adalah redundansi. Redudansi adalah sesuatu yang bisa diramalkan atau diprediksikan (predictable). Karena prediktabilitasnya tinggi (high predictable), maka informasi pun rendah (low information). Fungsi dari redundan dalam komunikasi menurut Shannon dan Weaver ada dua, yaitu yang berkaitan dengan masalah teknis dan yang berkaitan dengan perluasan konsep redundan itu sendiri ke dalam dimensi sosial.Fungsi redundansi apabila dikaitkan dengan masalah teknis, ia dapat membantu untuk mengatasi masalah komunikasi praktis. Masalah ini berhubungan dengan akurasi dan kesalahan, dengan saluran dan gangguan, dengan sifat pesan, atau dengan khalayak.
Kekurangan-kekurangan dari saluran (channel) yang mengalami gangguan (noisy channel) juga dapat diatasi oleh bantuan redundansi. Misalnya ketika kita berkomunikasi melalui pesawat telepon dan mengalami gangguan, mungkin sinyal yang lemah, maka kita akan mengeja huruf dengan ejaan yang telah banyak diketahui umum, seperti charlie untuk C, alpa untuk huruf A, dan seterusnya. Contoh lain, apabila kita ingin mengiklankan produk kita kepada masyarakat konsumen baik melalui media cetak (koran, majalah, atau tabloid) ataupun elektronik (radio dan televisi), maka redundansi berperan pada penciptaan pesan (iklan) yang dapat menarik perhatian, sangat simpel, sederhana, berulang-ulang dan mudah untuk diprediksikan (predictable).
Selain masalah gangguan, redundansi juga membantu mengatasi masalah dalam pentransmisian pesan entropik dalam proses komunikasi. Pesan yang tidak diinginkan atau tidak diharapkan, lebih baik disampaikan lebih dari satu kali, dengan berbagai cara yang sekreatif mungkin.Fungsi kreatif redundansi ini juga bila dikaitkan dengan khalayak, akan sangat membantu sekali pada masalah jumlah dan gangguan pesan di dalamnya. Jika pesan yang ingin disampaikan tertuju pada khalayak yang besar dan heterogen, maka pesan tersebut harus memiliki tingkat redundansi yang tinggi, sehingga pesan yang disampaikan akan berhasil dan mudah dicerna. Sebaliknya, jika khalayak berada pada jumlah yang kecil, spesialis, dan homogen, maka pesan yang akan disampaikan akan lebih entropik.
Contoh dari fungsi redundansi di atas misalnya pada pemaknaan seni populer (popular art) yang lebih redundan dari pada seni bercita rasa tinggi (highbrow art). Hal ini dikarenakan seni populer lebih mudah untuk dicerna dan dipahami oleh banyak khalayak dari pada seni bercita rasa tinggi di mana khalayak yang mengerti hanya beberapa golongan elit saja. Selain masalah di atas, konsep redundansi juga bisa diperluas hubungannya dengan konvensi dan hubungan realitas sosial masyarakat.
Konvensi adalah menyusun suatu pesan dengan pola-pola yang sama. Pengertian sederhananya dapat dipahami sebagai bentuk baku yang telah umum diterima sebagai pedoman. Sebagai contoh, dalam karya sastra lama ada yang disebut dengan pantun. Pantun merupakan salah satu bentuk karya sastra lama (klasik) yang memiliki karakteristik tersendiri. Cirinya antara lain berpola AB AB, artinya bunyi huruf terakhir dari dua baris terakhir pasti sama dengan bunyi dua huruf terakhir dua baris pertama. Contoh:
Beli kain di pajak ikan
Baju dijahit diteras rumah
Hadirin ramai mendengarkan
Ustad Mujahid sedang ceramah
Pada contoh pantun ini, kita setidaknya dapat meramalkan bahwa baris ketiga dan keempat pasti memiliki bunyi yang sama dengan baris pertama dan kedua, walaupun kita belum mengetahui isi dan maknanya. Hal ini dikarenakan pantun menekankan pengulangan dan pola-pola yang bisa diramalkan. Sehingga ini bisa meningkatkan redundansi dan menurunkan entropi.Ketika berbicara masalah entropi dan redundansi pada masalah karya seni, kita mengetahui bahwa karya seni bukan merupakan hal yang statis dan kaku. Ia akan terus berubah dan bersifat dinamis seiring perkembangan nilai dan corak hidup masyarakat. Karya seni ada kalanya akan bersifat ‘nakal’ atau ‘nyeleneh’ dan melanggar konvensi-konvensi yang ada, sehingga menjadi entropik bagi khalayak yang ada di dekatnya. Namun, ia juga akan berusaha mengikis imej itu secara perlahan dengan membangun sendiri konvensi-konvensi baru yang awalnya hanya ada pada khalayak yang jumlahnya terbatas. Maka dengan sendirinya karya seni tadi akan diterima dan dipelajari secara luas, sehingga dapat meningkatkan redundansinya. Sebagai contoh, seni lukis tubuh (body paint) yang dahulu dianggap tabu sekarang dianggap sebagai hal yang biasa dan mempunyai nilai seni[6].

Analisis  Sifat-sifat dan  Fungsi Teori
Jika dianalisis secara detail maka sifat-sifat dan fungsi teori dapat dikemukakan sebagai berikut :
1.Semua teori adalah abstraksi tentang sesuatu hal, yang berarti suatu teori bersifat terbatas.
2. Teori salalu mengurangi pengalaman menjadi sebuah bentuk kategori-kategori yang sebagai hasilnya selalu meninggalkan sesuatu. Disamping itu teori merupakan konstruksi ciptaan individual manusia[7].
3. Suatu teori itu sifatnya relatif dalam arti tergantung pada cara pandang si pencipta teori, sifat dan aspek yang diamati, serta kondisi-kondisi lain yang mengikat seperti waktu, tempatdan lingkungan sekitarnya[8].
4. Sebuah teori mengfokuskan perhatian kita pada sesuatu pola, hubungan, variabel, dan mengabaikan yang lainnya[9].
5. Teori sifatnya tidak mengikat peneliti, maksudnya peneliti bebas berteori untuk memaknai data dan mendialogkannya dengan konteks sosial yang terjadi.
6. Setiap teori bersifat sistematis, karena dilatarbelakangi dengan munculnya sebuah fenomena, menghubungkan fenomena dengan variabel-variabel yang mendukung fenomena tersebut, penulusuran terhadap fenomena yang terjadi, serta menjelaskan berbagai rumusan dan kesimpulannya. Atau dengan kata lain teratur menurut sistem[10].
7. Teori bersifat majemuk, artinya setiap teori menjelaskan fenomena yang berbeda-beda dan terdapat beraneka tafsir terhadap pemahaman sebuah teori.
8. Teori selalu berkembang, artinya teori senantiasa mengikuti perkembangan zaman, teori diperbaharui dengan menyempurnakan informasi yang terkait dengan fenomena yang terjadi di masa lampau dan dihubungkan dengan fenomena yang terjadi di masa sekarang[11].
9. Teori bersifat terbuka, artinya teori membuka kemungkinan-kemungkinan lain yang tentatif (bersifat sementara), kontekstual, dan bermutu.
10. Teori bersifat perspektival, artinya setiap orang dapat menganalisis makna yang terkandung dalam sebuah teori berdasarkan sudut pandang masing-masing[12].
11. Teori bersifat empiris, artinya teori didapatkan berdasarkan pengalaman terutama yang diperoleh dari penemuan, percobaan, dan pengamatan yang telah dilakukan[13].
12. Teori bersifat universal, artinya ruang lingkup teori bergantung pada prinsip umum atau gagasan bahwa sebuah penjelasan teori harus cukup umum untuk dapat masuk ke pengamatan tunggal.
13. Teori bukan spekulasi, artinya kebenaran teori didasarkan pada penjelasan kongkrit dan ilmiah bukan secara kebetulan[14].
Dari analisa yang dikemukakan diatas maka fungsi teori informasi dapat dikemukakan  sebagai berikut :
1. Fungsi Menjelaskan
Teori harus mampu membuat suatu penjelasan tentang hal yang diamatinya. Misalnya mampu menjelaskan pola-pola hubungan dan menginterpretasikan peristiwa-peristiwa tertentu.Dalam teori informasi ini menjelaskanbahwa dalam suatu sistem telepon, faktor yang terpenting dalam keberhasilan komunikasi adalah bukan pada pesan atau makna yang disampaikan-seperti pada mazhab semiotika, tetapi lebih pada berapa jumlah sinyal yang diterima dam proses transmisi .
2. Fungsi Meramalkan
Meskipun kejadian yang diamati berlaku pada masa lalu, namun berdasarkan data dan hasil pengamatan yang dilakukan harus dibuat suatu perkiraan tentang keadaan yang bakal terjadi apabila hal-hal yang digambarkan oleh teori juga tercermin dalam kehidupan di masa sekarang. Fungsi prediksi ini terutama sekali penting bagi bidang-bidang kajian komunikasi terapan seperti persuasi dan perubahan sikap, komunikasi dalam organisasi, dinamika kelompok kecil, periklanan, public relations dan media massa.
Teori informasi memprediksikan bahwa khalayak tergantung kepada informasi yang berasal dari media massa dalam rangka memenuhi kebutuhan khalayak bersangkutan serta mencapai tujuan tertentu dari proses konsumsi media massa.
3. Fungsi Memberikan Pandangan
Teori informasi ini mampu memberikan pandangan kepada masyarakat terhadap sesuatu hal, dan pandangan tersebut jelas sangat erat kaitannya dengan ketergantungan masyarakat akan sebuah media massa. Ketika media membangun persepsi dengan memberikan informasi tentang hal-hal yang buruk terhadap masyarakat oleh pemegang kekuasan, maka pemegang kekuasaan akan berusaha mengembalikan atau membalikan persepsi tersebut dengan menyampaikan informasi melalui media pula.
4. Fungsi Memberikan Strategi 
Teori Informasi berfungsi memberikan strategi dalam hal ini teori ini mampu mengorganisasikan dan menyimpulkan pengetahuan tentang suatu hal. Ini berarti teori informasi mampu mengamati realitas kita tidak boleh melakukan secara sepotong-sepotong. Kita perlu mengorganisasikan dan mensintesiskan hal-hal yang terjadi dalam kehidupan nyata. Pola-pola dan hubungan-hubungan harus dapat dicari dan ditemukan. Pengetahuan yang diperoleh dari pola atau hubungan itu kemudian disimpulkan. Hasilnya (berupa teori) akan dapat dipakai sebagai rujukan atau dasar bagi upaya-upaya studi berikutnya.
2. Memfokuskan. Teori pada dasarnya menjelaskan tentang sesuatu hal, bukan banyak hal.
3. Menjelaskan. Teori harus mampu membuat suatu penjelasan tentang hal yang diamatinya. Misalnya mampu menjelaskan pola-pola hubungan dan menginterpretasikan peristiwa-peristiwa tertentu.
4. Pengamatan. Teori tidak sekedar memberi penjelasan, tapi juga memberikan petunjuk bagaimana cara mengamatinya, berupa konsep-konsep operasional yang akan dijadikan patokan ketika mengamati hal-hal rinci yang berkaitan dengan elaborasi teori.
5. Membuat predikasi. Meskipun kejadian yang diamati berlaku pada masa lalu, namun berdasarkan data dan hasil pengamatan ini harus dibuat suatu perkiraan tentang keadaan yang bakal terjadi apabila hal-hal yang digambarkan oleh teori juga tercermin dalam kehidupan di masa sekarang. Fungsi prediksi ini terutama sekali penting bagi bidang-bidang kajian komunikasi terapan seperti persuasi dan perubahan sikap, komunikasi dalam organisasi, dinamika kelompok kecil, periklanan, public relations dan media massa.
6. Fungsi heuristik atau heurisme. Artinya bahwa teori yang baik harus mampu merangsang penelitian selanjutnya. Hal ini dapat terjadi apabila konsep dan penjelasan teori cukup jelas dan operasional sehingga dapat dijadikan pegangan bagi penelitian-penelitian selanjutnya.
7. Komunikasi. Teori tidak harus menjadi monopoli penciptanya. Teori harus dipublikasikan, didiskusikan dan terbuka terhadap kritikan-kritikan, yang memungkinkan untuk menyempurnakan teori. Dengan cara ini maka modifikasi dan upaya penyempurnaan teori akan dapat dilakukan.
8. Fungsi kontrol yang bersifat normatif. Asumsi-asumsi teori dapat berkembang menjadi nilai-nilai atau norma-norma yang dipegang dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, teori dapat berfungsi sebagai sarana pengendali atau pengontrol tingkah laku kehidupan manusia.
9. Generatif. Fungsi ini terutama menonjol di kalangan pendukung aliran interpretif dan kritis. Menurut aliran ini, teori juga berfungsi sebagai sarana perubahan sosial dan kultural serta sarana untuk menciptakan pola dan cara kehidupan yang baru[15].
Sedangkan menurut Koentjaraningrat dalam suatu riset, teori mempunyai fungsi-fungsi:1. Menyimpulkan generalisasi-generalisasi dari fakta-fakta hasil pengamatan, artinya merupakan kesimpulan induktif yang menngeneralisasi hubungan antara fakta-fakta atau kelas-kelas fakta-fakta.2. Memberi kerangka  orientasi untuk analisis dan klasifikasi dari fakta-fakta yang dikumpulkan dalam penelitian, artinya berfungsi sebagai pendorong proses berpikir deduktif yang bergerak dari alam abstrak ke alam fakta-fakta konkrit. Suatu teori dipakai oleh periset sebagai kerangka yang memberi batasan terhadap fakta-fakta konkrit yang tak terbilang banyaknya dalam kenyataan di masyarakat. 3. Memberi ramalan terhadap gejala-gejala baru yang terjadi, artinya adalah memberi prediksi atau ramalan sebelumnya kepeda periset mengenai fakta-fakta yang akan terjadi.
4. Mengisi lowongan-lowongan dalam pengetahuan kita tentang gejala-gejala yang telah atau sedang terjadi[16].
Fungsi teori menurut Soerjono Soekamto merupakan ikhtisar hal-hal yang telah diketahui serta diuji kebenarannya yang menyangkut objek yang dipelajari.Teori memberikan petunjuk-petunjuk terhadap kekurangan-kekurangan pada seseorang yang memperdalam pengetahuannya.Teori berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang dipelajari. Selanjutnya suatu teori akan sangat berguna dalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta, membina struktur konsep-konsep serta memperkembangkan definisi-defini yang penting untuk penelitian.Pengetahuan teoritis memberikan kemungkinan-kemungkinan untuk mengadakan proyeksi sosial, yaitu usaha untuk dapat mengetahui ke arah mana masyarakat akan berkembang atas dasar fakta yang diketahui pada masa yang lampau dan pada dewasa ini[17].                                                                                               

Kritik Terhadap Teori Informasi
Teori informasi yang dikemukakan Shannon dan Weaver ini banyak menuai kritik . Salah satunya adalah ia tidak mnjelaskan konsep umpan balik (feedback) dalam model teorinya. Padahal dalam konsep analogi pesawat telepon yang ia kemukakan, konsep umpan balik sangat berperan penting dalam menentukan keberhasilan komunikasi. Hal ini dikarenakan teori yang ia kaji hanya melihat komunikasi sebagai fenomena linear satu arah.Teori informasi (matematis) yang ia kaji hanya melihat komunikasi dari faktor komunikator yang dominan. Padahal penerima sebagai komunikan pun adalah bagian dari proses komunikasi yang akan terlibat jika konsep umpan balik ia masukkan. Selain itu umpan balik juga justru bisa memberitahukan kegagalan dalam komunikasi. Sebagai contoh, ketika seseorang menelpon dan yang ditelepon tidak melakukan reaksi apapun, atau mungkin sinyal di udara lemah, maka reaksi diam penerima sebenarnya adalah umpan balik bagi sumber atau penelpon.
Selain konsep umpan balik yang tidak diusung dalam teori informasi, sebenarnya, Shannon dan weaver juga tidak mengkaji detil tentang peranan medium (media) dalam teorinya. Ia hanya terfokus pada fungsi saluran atau transmitter. Padahal konsep medium tidak dapat dipisahkan dari konsep transmisi yang ia usung sebelumnya. Secara garis besar, jika dibandingkan dengan teori kontemporer, misalnya, interaksionisme simbolik, model teori Shannon dan Weaver ini terlalu sederhana. Padahal komunikasi terdiri dari banyak aspek seperti yang dikatakan Schramm sebagai area studi Multidisipliner. Ia akan selalu berkaitan dengan ilmu sosial, psikologi, kejiwaan, teknologi, bahkan perang.

Penutup
Beberapa kritik terhadap teori ini memang pantas dikemukakan di sini mengingat beberapa hal yang tampaknya masih perlu penjelasan dan pengujian lebih lanjut, yakni antara lain sebagai berikut:
(1) Sulit untuk menjelaskan dengan teori ini mengenai kekuatan penjelasannya, misalnya dalam kasus, sekelompok orang dengan ide dan kepercayaannya selama ini mengirim pesanpesan kepada sekelompok orang yang berbeda melalui penggunaan media, khususnya media massa.
(2) Kritik berikut berkaitan dengan adanya kekuatan untuk meramalkan (to predict) sesuatu yang belum terjadi. Bahwa budaya dunia ketiga akan rusak atau hancur, dan orang-orangnya akan beridentitas sebagai orang barat, terutama dalam pandangan-pandangan dan kepercayaannya. Apa iya seperti itu. Bukankah adanya akulturasi buada malahan justru bisa memperkaya wawasan masyarakat sehingga pada akhirnya akan mengembangkan budaya yang ada, termasuk budaya lokal?.
(3) Terlalu sederhana jika kita hanya melihat seperti garis lurus dari proses penggunaan media yang asalnya dari pengirim menuju ke penerima, lalu dilihat efeknya. Efek-efek komunikasi tidak bisa diukur atau dijelaskan sebagai pola hubungan garis lurus, tapi bisa jadi berpola kurva, kurva linear, spurious, atau bahkan negatif.
(4) Kritik berikutnya adalah falsifiability (bisa salah). Negara-negara dunia ketiga tidak terpengaruh oleh media barat, dan mereka juga tidak kehilangan kebudayaannya. Bahkan dalam hal-hal tertentu, justru media barat bisa digunakan untuk menjelaskan pola budaya lokal, sehingga budaya lokal menjadi mengglobal.
(5) Adanya suatu alur peristiwa yang tampak logis sehingga berkonsekuensi terhadap teori itu sendiri.
(6) Kritik lainnya adalah pada heuristic provocativeness. Mungkin akan muncul hipotesis baru mengenai effek dari adanya proses budaya. Budaya mana yang paling banyak dipengaruhi oleh budaya lainnya, dan seberapa besar pengaruh budaya tersebut terhadap budaya lokal.
(7) Terlalu menganggap kuat organisasi pengusung media massa. Kita sebenarnya mengetahui bahwa budaya barat dan budaya timur memang berbeda.





DAFTAR PUSTAKA
Berger, Arthur Asa.Media Analysis Techniques. Beverly Hills : Sage Publication.1982

Carey, James W.Communication as Culture, Essays on Media and Society. Boston:  Unwin Hyman, 1989

Crowly, David dan David Mitchell. Communication Theory Today. Cambridge : Policy Press.1994.

Effendy, Onong Uchjana.Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek. Bandung: PT Remaja Rosdakarya 2003

Effendy, Onong Uchjana. Spektrum Komunikasi. Bandung: Penerbit Mandar Maju, 1992

Fiske, John. Introduction To Communication Studies. 2nd Edition. London: Guernsey Press Co Ltd, 1999

Griffin, EM.  A First Look at Communication Theory, 5th Edition. USA: McGraw-Hill, 2003

Littlejohn, Stephen W.. Theories of Human Communication. USA: Wadsworth Group, 2002

Miller, Katherine. Communication Theories: Perspectives, Processes, and Contexts. USA: McGraw Hill, 2002

Mulyana, Deddy. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2003

Susanto, Astrid. S. Komunikasi Kontemporer. Jakarta: Penerbit Binacipta, 1977

















Denzin, Norman K dan Yvonna S. Lincoln (2005), Handbook of Qualitative Research, London : Sage Publication.

Dijk, Teun A. Van, (1988), News As Discourse, Hillsdale, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associate.

Eriyanto, (2001). Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta : LKiS,
Fairclough, Norman  (2006). Discourse and Social Change.  Cambridge: Polity Press

------------------------  (2005). Analysing Discourse, Textual analysis for social research. London and New York: Routledge

-------------------------   (1995). Media Discourse, London : Edward Arnold.

-------------------------   (1995). Critical Discourse Analysis, London-NY : Longman.

Foss, Sonja K, at.all, (1985) Contemporary Perspectives on Rethoric, Illinois : Waveland.

Gee, James Paul, (2005). an Introduction to Discourse Discourse Analysis, Theory and Method, London and New York : Routledge.

Fiske, John, 1991. Introduction to Communication Studies. London and New York: Routledge

Gamson, Willam A dan Andre  Modigliani. 1998. “Media Discourse and Public Opinion on

Nuclear Power A. Constructionist Approach”, Journal of Sociology, Vol 95, No. 1. July 1989.

Gee, James Paul. 2000. An Introduction to Discourse Analysis, Theory and Method. London – New York : Routledge.

Griffin, EM. 2003. A First Look at Communication Theory. Boston-Toronto: McGraw Hill.

Halliday, MAK (1993), Language as Social Semiotic, The Social Interpretation of Language and Meaning, London : The Open University Set Book.

Hamad, Ibnu. 2004. Konstruksi Realitas Politik di Media Massa sebuah Study Critical Discourse Analysis Discourse. Jakarta: Granit.

Heath, Robert L dan Jannings Bryant. 2000. Human Communication Theory and Research,  Concepts, Contexts, and Challenges.  Mahwah, New Jersey – London: Lawrence Erlbaum Associate Publisher.

Krippendorf, Klauss. 1980.  Content Analysis, An Introduction to Its Methodolgy” (Beverly Hill California : Sage Publication.

Littlejohn, Stephen W. 1999. Theories of Human Communication. Belmont-Toronto: Wadsworth Publishing Company.

McQuail, Dennis and  Sven Windahl. 1996.  Communication Models : for The Study of Mass Communication. New York  : Longman.

Mills, Sara. 1997. Discourse, London and New York : Routledge

Norris, Sigrid dan Rodney H. Jones (2005), Discourse in Action, London and New York: Routledge

Schiffrin, Deborah at.al, editor. (2005). The Handbook of Discourse Analysis. Blackwell Publishing.

Sobur, Alex. 2001. Analisis Teks Media, Suatu Pengantar Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing, Bandung : Rosdakarya,

Titscher, Stefan, at.al. 2000. Methods of Text and Discourse Analysis. London-Thousand Oaks-New Delhi : Sage Publication.


[1]McQuail, Dennis and  Sven Windahl.  Communication Models : for The Study of Mass Communication. (New York  : Longman. 1996), h. 125
[2]Gee, James Paul,  an Introduction to Discourse Discourse Analysis, Theory and Method, (London and New York : Routledge, 2005), h .215
[3]Hamad, Ibnu. Konstruksi Realitas Politik di Media Massa sebuah Study Critical Discourse Analysis Discourse. Jakarta: Granit. 2004), h. 124
[4]Miller, Katherine.  Communication Theories: Perspectives, Processes, and Contexts. USA: McGraw Hill, 2002), h. 126
[5]Griffin, EM. A First Look at Communication Theory, 5th Edition. (USA: McGraw-Hill, 2003), h. 236
[6] Susanto, Astrid. S. Komunikasi Kontemporer. (Jakarta: Penerbit Binacipta, 1997), h. 125
[7]Berger, Arthur Asa. Media Analysis Techniques. (Beverly Hills : Sage Publication. 1982) , h. 234
[8]. Carey, James W. Communication as Culture, Essays on Media and Society. Boston:  Unwin Hyman, 1989, h. 235
[9]. ibid
[10]. Crowly, David dan David Mitchell. Communication Theory Today. (Cambridge : Policy Press.1994), 326
[11]. ibid
[12]Effendy, Onong Uchjana. Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek. ( Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2003), h. 126-132
[13]. ibid
[14]Fiske, John. Introduction To Communication Studies. 2nd Edition. (London: Guernsey Press Co Ltd, 1999), h. 213-216
[15]Littlejohn, Stephen W. Theories of Human Communication. (USA: Wadsworth Group, 2002), h. 223-237
[16]. Mulyana, Deddy. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2003), h. 125
[17]Soerjono Soekamto, Sosiologi Suatu Pengantar ( Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada,1982), h.26

Tidak ada komentar:

Posting Komentar