Rabu, 11 Januari 2012

Komunikasi Verbal Dalam Perspektif 
Al Qur’an
Oleh : Maryadi

A. Pendahuluan
Islam sebagai agama yang sempurna tentu saja memiliki keterangan tentang bagaimana berkomunkasi. Semua itu terdapat dalam pedoman seluruh umat manusia yaitu Al-Quran. Salah satu contoh, Allah SWT menunjukan berbagai cara komunikasi yang dilakukan saat wahyu diturunkan kepada nabi Muhammad SAW. Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Dia-lah Tuhan Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana. (Ibrahim : 4). Juga ada bunyi kaidah yang dirumuskan Ushul Fiqh berkaitan dengan komunikasi verbal berdasarkan sabda Rasulullah: “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, hendaklah berkomunikasi secara efektif atau diam”.  
Bentuk komunikasi secara garis besar  terdiri dari komunikasi non verbal dan komunkasi verbal. Komunikasi non verbal adalah kumpulan isyarat, gerak tubuh, intonasi suara, sikap dan sebagainya yang memungkinkan seseorang untuk berkomunikasi tanpa menggunakan kata-kata. Komunikasi non verbal memiliki berbagai perbedaan dengan komunikasi verbal. Salah satunya, tidak mempunyai struktur yang jelas, sehingga relatif lebih sulit untuk dipelajari. Disamping itu intensitas terjadinya komunikasi non verbal juga tidak dapat diperkirakan dan bersifat spontanitas. Namun demikian dalam praktiknya banyak digunakan karena mempunyai beberapa manfaat, setidaknya memperjelas apa yang disampaikan secara verbal, di samping dapat menguatkan. Sedangkan komunikasi verbal adalah komunikasi dengan menggunakan simbol-simbol yang mempunyai makna dan berlaku umum , seperti suara, tulisan, atau gambar. Dari sini dapat disimpulkan bahwa dalam komunikasi ini tidak hanya menyangkut komunikasi lisan saja, tetapi juga komunikasi tertulis. Bahasa merupakan simbol atau lambang yang paling banyak digunakan. Mengapa demikian? Karena bahasa dapat mewakili banyak fakta, fenomena, dan bahkan sesuatu yang bersifat abstrak yang ada di sekitar manusia. Oleh karena itu dalam komunikasi bahasa inilah yang banyak digunakan oleh masyarakat[1].
Bahasa dapat didefinisikan sebagai seperangkat simbol, dengan aturan untuk mengkombinasikan simbol-simbol tersebut, yang digunakan dan dipahami suatu komunitas. Bahasa Verbal merupakan sarana utama untuk menyatakan pikiran, perasaan, maksud, serta tujuan. Hal tersebut dilakukan dengan menggunakan kata-kata untuk merepresentasikan berbagai aspek realitas individual. Seseorang yang mampu melakukan komunikasi verbal dengan baik biasanya disebut dengan komunikator efektif.
Sebagai Kalam Allah, al-Qur’an memiliki multi dimensi pembahasan dan multi manfaat. Diturunkan kepada umat manusia sebagai rahmat dan hidayat. Untuk memperoleh petunjuk dan pelajaran dari kitab Suci ini, konsep-konsep yang dikandungnya harus dijabarkan dan dioperasionalkan agar lebih mudah dicerna, dipahami, dan diamalkan dalam berbagai tingkat serta latar belakang sosiokultural. Dengan komunikasi verbal yang efektif, pembelajaran lebih komunikatif, sehingga mampu menciptakan suasana yang menyenangkan bagi siswa, dan pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan kualitas hasil pembelajaran. Demikian pula halnya dengan para mubaligh, diharapkan mampu mengoptimalkan efektifitas pelaksanaan tugas mulia yakni berdakwah, terutama dalam dakwah billisan. Inilah sesungguhnya urgensi pembahasan tentang komunikasi verbal dalam perspektif al-Qur’an. Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha suci Allah, dan aku tiada Termasuk orang-orang yang musyrik". (Yusuf:108) 
B. Pengertian Komunikasi Verbal
Komunikasi verbal merupakan bentuk komunikasi yang manggunakan simbol-simbol bermakna dan berlaku umum dalam proses komunikasi melalui suara, tulisan atau gambar. Lebih khusus lagi komunikasi verbal adalah komunikasi yang mengunakan simbol suara saja. Sebagai contoh dengan kemampuan komunikasi verbal yang dimiliki, Bung Karno mampu memukau pendengar selama berjam-jam, tanpa bergeming. Hitler berhasil mempengaruhi kaum nazi untuk menumpas kaum Yahudi.. Bung Tomo, dengan teriakan takbirnya yang menggetarkan hati para pejuang, mampu menggerakan arek-arek Suroboyo melawan dan mengusir Belanda, hanya dengan senjata bambu runcing. Torik Bin Ziad, mampu membakar semangat juang pasukannya, sesaat setelah mendarat dan berpidato dengan latar belakang kapal yang telah dibakar atas perintahnya: ”Saudara-saudara. Lautan di belakang kalian, dan musuh di depan hidung. Kita berada pada poin of no return. Tidak ada tempat untuk berlari. Tidak ada alternatif lain, selain meluluh-lantakkan musuh. Serbuuu…”. Dan Torikpun menang[2].
Dengan kemampuan berkomunikasi verbal secara efektif, ternyata kebenaran pemikiran manusia yang sedemikian relatif dapat mempengaruhi jalan pikiran berjuta anak bangsa. Islam sebagai dien yang sempurna tentu akan dapat disosialisasikan dan diinternalisasikan kepada para pemeluknya untuk lebih dihayati dan diamalkan secara murni dan konsekuen, jika disampaikan oleh guru agama atau muballigh yang mampu melakukan komunikasi verbal secara efektif. Untuk maksud tersebut perlu upaya menggali konsep tentang memahami dan mengetahui bagaimana  berkomunkasi verbal dalam Islam sebagaimana yang tertuang dalam Al-Qur’an sebagai kitab suci yang mengkover berbagai persoalan yang dihadapi manusia, tidak terkecuali tentang konsep komunikasi verbal[3].
Al-Qur’an memerintahkan untuk berbicara efektif (Qaulan Baligha). Semua perintah jatuhnya wajib, selama tidak ada keterangan lain yang memperingan. Begitu bunyi kaidah yang dirumuskan Ushul Fiqh. Dari sisi lain Rasulullah bersabda: “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, hendaklah berbicara secara efektif atau diam”. Konsep tentang komunikasi verbal tidak hanya berkaitan dengan masalah cara berbicara efektif saja melainkan juga etika bicara.
Sebuah gambaran ketika memasuki era reformasi masyarakat Indonesia berada dalam suasana euforia, bebas bicara tentang apa saja, terhadap siapapun, dengan cara bagaimanapun. Hal ini terjadi, setelah mengalami kehilangan kebebasan bicara selama 32 tahun di masa Orde Baru. Memasuki Era Reformasi orang menemukan suasana kebebasan komunikasi verbal, sehingga tidak jarang cara maupun muatan pembicaraan berseberangan dengan etika ketimuran, bahkan etika keagamaan Islam, sebagai agama yang dianut mayoritas penduduk Indonesia.
C. Indikator Komunikasi Verbal Efektif
Seseorang yang piawai dalam melakukan komunikasi verbal lazim disebut dengan komunikator efektif. Berdasar teori yang ada, seorang komunikator baru disebut efektif jika memiliki indikator: Cradibility, Capability, Clarity, Symphaty dan Enthusiasity .
1. Credibility
Credibility maksudnya citra diri. Hal ini berkaitan dengan prestasi, spesifikasi keilmuan, kompetensi, pengalaman dalam bidang yang ditekuni, nama baik, jasa-jasa dalam bidang tertentu, temuan, popularitas, serta dedikasinya terhadap profesi yang ditekuni. Membangun kredibilitas atau citra diri berarti membangun kesuksesan penampilan. Tingkat kesuksesan pembicara sangat relatif, tetapi setidak-tidaknya ada tiga kawasan, yang dapat dijadikan tolok ukur: yakni kawasan teknologi, kawasan akademik dan kawasan humanistik. Kredibilitas sang pembicara dalam pandangan Audience dibangun berdasarkan kesan yang diperoleh melalui penampilan sang pembicara ditinjau dari ketiga kawasan tersebut di atas. Di samping itu, kredibilitas juga dapat dibangun berdasarkan informasi tentang pembicara yang diperoleh audience baik dari MC / moderator maupun dari sesama audience.
2. Capability
Kecakapan atau kemampuan memadai, seperti  kecakapan mengemukakan pikiran secara singkat, jelas, tetapi padat, sehingga dapat meyakinkan audience dengan mudah. Untuk membina kecakapan ini, perlu melakukan beberapa upaya antara lain, membuat persiapan yang matang dan mengemas materi pembicaraan secara sistematis, runtut, dan logis. Kecakapan mempertahankan pikiran atau pendapat, dalam forum pertemuan yang bersifat dialogis atau komunikasi dua arah seperti dalam diskusi atau seminar serta kemampuan mengkoordinasikan dan mengkombinasikan secara tepat komuniksi verbal dan non verbal.
3. Clarity.
Kejelasan dan ketepatan ucapan. Penerapan komunikasi verbal banyak bertumpu pada clarity. Sebagai komunikator, seorang pembicara handal dituntut mampu mengkomunikasikan pesan atau formasi kepada audience. Vokal sebagai media pengungkapan ekspresi merupakan media penyampaian informasi melalui pengucapan. Sampai atau tidaknya penyampaian pesan dari seorang pembicara, banyak ditentukan oleh keterampilan penguasaan teknik vokalnya. Keterampilan tersebut sangat dipengaruhi tingkat kejelasan penyampaian materi atau pesan.
4. Sympathy
Seorang Pembicara berpenampilan simpatik merupakan buah dari perpaduan serasi antara ketulusan, kesabaran dan kegembiraan. Pembicara yang mampu tampil simpatik sepanjang ceramahnya akan merasa puas dan memuaskan audience . Materi pembicaraan disampaikan dengan cara simpatik, sehingga diikuti dengan penuh antusias dan akhirnya dapat dipahami dengan jelas. Sementara pembicara mendapatkan kepuasan bathiniah, karena melihat wajah-wajah yang penuh antusiasme dan puas dengan apa yang didapatkan darinya.
5. Enthusiasity.
Antusiasme Audience cenderung lebih menyenangi pembicara yang tampil antusias, yang tercermin dari semangat tinggi, gerak lincah, penampilan energik, stamina yang fit, wajah berseri-seri. Audience tidak menyukai pembicara yang tampil tanpa antusiasme, misalnya , terlihat loyo, lesu, letih, letoy dan lemas. Apalagi wajahnya melankolis, mengesankan sendu, sedih, nampak tertekan, tidak berbahagia atau tampil terpaksa.Untuk dapat tampil antusias atau gairah tinggi, seorang pembicara harus memiliki fisik sehat serta hati yang gembira. Sulit rasanya membayangkan seorang pembicara yang sedang tidak enak badan atau sakit, dapat tampil prima penuh antusiasme. Jangankan dalam keadaan sakit, dalam keadaan sehat pasca sakit pun seorang pembicara masih membutuhkan proses adaptasi, sebelum dapat tampil energik 
Efektifitas komunikasi verbal sangat ditentukan oleh kelima hal tersebut. Siapapun orangnya, jika menguasai kelima hal tersebut niscaya akan mampu menjadi pembicara handal, karena memiliki daya pikat untuk memukau audience. Melalui pengkajian dalam makalah yang sederhana ini diharapkan dapat diketahui ayat- ayat yang menyinggung persoalan komunikasi verbal, bagaimana sesungguhnya konsep berkomunikasi secara verbal dalam al-Qur’an, sebagaimana yang dikupas oleh para mufasir, baik yang menyangkut cara ataupun etika.
D. Identifikasi ayat al-Qur’an tentang Komunikasi Verbal
Berdasarkan  penelusuran yang dilakukan secara etimologi, maka dapat diidentifikasi istilah yang mengandung makna komunikasi verbal baik secara denotatif maupun konotatif.  Adapun yang termasuk kategori denotatif adalah: a). Qaulan Baligha ( QS. an-Nisa’: 63), b). Qaulan Layina ( QS. Thaha: 44), c). Qaulan Ma’rufa ( QS. Al-Baqarah: 235; QS. An- Nisa’: 5& 8; QS. Al-Ahzab: 32), d). Qaulan Maisura ( QS. Al-Isra’: 28 ), e). Qaulan Karima ( QS. Al-Isra’: 23).  Sedang yang termasuk kategori konotatif adalah: a). Mau’idhah ( an-Nisa’: 66), b). Da’wah: (an- Nahl :125; Yusuf:108), c). Nashihah ( at-Taubah: 91; al-A’raf: 21, 62,68,79,93; Hud:34; Yusuf:11; Qashas:12), d). Taushiyah ( al-Ashr: 3)
Dalam makalah singkat ini dipaparkan makna komunikasi verbal kategori denotatif Qaulan Layyina dan makna komunikasi verbal kategori konotatif Da’wah.
1. Makna Komunikasi Verbal Kategori Denotatif
إذ هبا إلى فرعون إنه طغى فقولا قولا لينا لعله يتذكرون أويخشى
Artinya : Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut (QS. Thaha: 43 - 44).
Dalam ayat ini Allah memerintahkan kepada Musa dan Harun untuk pergi menemui Fir’aun yang telah melampaui batas dengan menindas secara kejam Bani Israil. Dalam Tafsir Ibnu Katsir diperjelas dengan uraian: pergilah kamu berdua kepadanya dan berbicaralah dengan kata-kata yang lemah lembut, serta bersikaplah simpatik dan bersahabat padanya. Cobalah sadarkan dia tentang dirinya sendiri yang tak kurang dan tak lebih hanyalah seorang hamba di antara hamba-hamba-Ku. Dan janganlah kamu berdua lalai, selalu ingatlah kepada-Ku dan menyebut nama-Ku selagi kamu menjalankan tugas suci ini. Dan dengan membawa kecakapanmu menyampaikan keterangan dan dalil-dalil yang kuat dan hujjah-hujjah yang tidak dapat dibantah, mudah-mudahan dia (Fir’aun) menyadari akan dirinya dan takut kepada-Ku[4].
Di dalam Tafsir Al-Qurtubi dijelaskan bahwa ayat ini merekomendasikan untuk memberi peringatan dan melarang sesuatu yang munkar dengan cara yang simpatik melalui ungkapan atau kata-kata yang baik dan hendaknya hal itu dilakukan dengan menggunakan perkataan yang lemah lembut, lebih-lebih jika hal itu dilakukan terhadap penguasa atau orang-orang yang berpangkat. Bukankah Allah sendiri telah memperingatkan dalam firmannya: Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir’aun) dengan kata-kata yang lemah lembut. Al-Qurtubi menjelaskan lebih lanjut makna lemah lembut yaitu kata-kata yang tidak kasar, dikatakannya bahwa segala sesuatu yang lembut akan melembutkan dan segala sesuatu yang lembut lagi melembutkan, ringan untuk dilakukan. Kalaupun Musa diperintahkan untuk berkata-kata yang lembut, maka hal itu merupakan keleluasaan bagi orang lain (Fir’aun) untuk mengikuti jejak, meniru dari apa yang dikatakannya dan yang diperintahkannya kepada mereka untuk berkata-kata yang baik. Dan hal itu telah difirmankan Allah: Dan katakanlah kepada manusia dengan perkataan yang baik[5].
Sedangkan didalam Tafsir Al-Maraghi dijelaskan metode yang harus diterapkan dalam berdakwah, yaitu: Berbicaralah kalian kepada Fir’aun dengan pembicaraan yang simpatik dan lemah lembut, agar lebih dapat menyentuh hati, untuk mengundang empati, sehingga dapat lebih menariknya untuk menerima dakwah. Dengan sikap simpatik dan perkataan yang lemah lembut, hati orang-oang yang durhaka akan menjadi halus dan kekuatan orang-orang yang sombong akan luluh[6]. Oleh sebab itu, datang perintah yang serupa kepada Nabi Muhammad saw:
إدع الى سبيل ربك بالحكمة والموعظة الحسنة وجادلهم بالتى هيىاحسن
Artinya : Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-Mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. (An-Nahl 16: 125)
Contoh lain perkataan lemah lembut ialah perkataan Musa kepada Fir’aun:
هل لك إلى أن تزكى واهديك إلىربك فتخشى
Artinya : Adakah keinginan bagimu untuk membersihkan diri (dari kesesatan) dan kamu akan kupimpin ke jalan Tuhanmu agar supaya kamu takut kepadanya (An Nazi’at, 79:18-19)
Selanjutnya Allah mengemukakan alasan, mengapa Musa diperintahkan untuk berkata lemah lembut:
لعله يتذكر أويخشى
Bahwa kata la’alla (mudah-mudahan) dalam kalimat ini menunjukkan tercapainya maksud sesudah kata itu. Yakni, perintah untuk menjalankan risalah, mengajarkan atas apa yang diperintahkan Allah dan berusaha untuk mengerjakan seperti halnya orang lain mengerjakan atau bahkan lebih.
Dari beberapa uraian di atas dapat diartikan, makna qoulan layina yaitu kata-kata yang lembut yang disampaikan secara simpatik sehingga dapat menyentuh hati, meninggalkan kesan mendalam, sehinga menarik perhatian orang untuk menerima dakwah. Kata-kata yang lembut menyebabkan orang-orang yang durhaka akan menjadi halus dan kekuatan orang yang sombong menjadi luluh. Untuk itulah kata lembut tidak berarti kata-kata yang lemah, karena dalam kelembutan tersebut tersimpan kekuatan yang dahsyat yang melebihi kata-kata yang diungkapkan secara lantang dan kasar, terlebih jika disertai sikap yang tidak bersahabat, justru akan mendatangkan sikap antipati dan memusuhi.
Kata yang lembut mengandung keindahan. Indah untuk didengarkan dan untuk disampaikan serta mudah  dicerna siapa pun. Oleh karenanya dalam berdakwah, kata-kata yang lembut hendaknya lebih diutamakan, sehingga orang yang mendengarkannya tidak merasa terganggu, bahkan justru tumbuh rasa simpati, empati untuk selalu mendengarkannya kata demi kata, bahkan menjadikannya suatu prinsip hidup. Sikap simpatik yang tercermin pada kehalusan sikap dan kelembutan kata, mutlak diperlukan untuk menjamin efektifitas komunikasi verbal dan optimalisasi hasil. Al-dharief yang disebut khafifuddam oleh orang Mesir merupakan padanan istilah Barat symphatety dan di Indonesia disebut simpati atau penampilan yang simpatik. Hal tersebut merupakan buah dari perpaduan serasi antara al-ittishalatul lisaniyah (komunikasi verbal) dan al-ittishalatul isyarah (komunikasi non verbal).
Keharusan kerja keras untuk berlatih juga berlaku bagi da’i yang memiliki kecenderungan untuk berpenampilan over estimate maupun under estimate. Untuk dapat tampil simpatik, kedua kecenderungan tersebut harus didekonstruksi terlebih dahulu sampai mencapai titik netral, baru direkonstruksi menjadi sebuah penampilan yang simpatik. Jika seorang pembicara mampu tampil simpatik di depan mustami’, semua tutur katanya akan diikuti dengan seksama. Tidak ada satu kata pun yang terlewatkan untuk diikuti oleh mustami’, apalagi satu kalimat, atau terlebih lagi satu paragraf. Semuanya akan dicermati dengan sepenuh hati, karena tersentuh penampilan pembicara yang simpatik. Akhirnya, hati pun tergerak untuk menggerakkan semua anggota tubuh agar melaksanakan ‘apapun’ yang disampaikan oleh sang da’i.
Inilah yang disebut dengan komunikasi verbal yang efektif. Yakni apa yang disampaikan pembicara, dapat diterima mustami’ sesuai dengan apa yang dimaksud oleh pembicara. Jika pembicara bermaksud menanamkan pemahaman tentang suatu konsep, dan konsep tersebut dapat dipahami oleh mustami’ sesuai dengan yang dimaksudkan, proses da’wah tersebut dapat disebut efektif. Jika pembicara bermaksud menggerakkan mustami’ untuk melakukan suatu tindakan selaras dengan ketentuan Allah, dan para mustami’ benar-benar melakukannya, maka komunikasi verbal tersebut dapat dikatakan efektif. Efektifitas komunikasi verbal sangat dipengaruhi oleh kadar simpati pembicara.
Para Dosen atau da’i seharusnya dapat tampil simpatik dan berbicara lembut, karena sebenarnya merupakan ‘bintang iklan’ risalah, yang memiliki otorita untuk menyampaikan berbagai informasi dengan muatan value yang bersumber dari Allah maupun Rasulullah. Jika para guru agama atau para da’i tidak mampu bersikap simpatik atau bertutur dengan lembut, akan kontra produktif bagi penyebaran risalah Allah.
2. Makna Komunikasi Verbal Kategori Konotatif
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Katakanlah (hai Muhammad): ‘Inilah jalanku. Aku dan orang-orang yang mengikutiku berdakwah  kepada Allah dengan hujah yang nyata. Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”. (Yusuf : 108).
Dari sudut bahasa, dakwah artinya mengajak atau menyeru. Adapun menurut istilah, dakwah memiliki pengertian yang lebih khusus yaitu mengajak dan menyeru manusia ke jalan Allah (da’watun naas ilallah). Makna ini mempunyai arti yang sangat luas, yakni mengajak dari kekafiran kepada keimanan, dari syirik kepada tauhid, dari kesesatan kepada petunjuk, dari kebodohan kepada ilmu, dari kehidupan jahiliyah kepada kehidupan islami, dari kemaksiatan kepada ketaatan, dari bid’ah kepada sunnah, dari keburukan kepada kebaikan.
Dakwah dalam pengertian yang luas seperti ini bukan hanya bisa dilakukan oleh semua orang, tetapi semestinya harus dilakukan oleh semua orang. Bukankah Allah Ta’ala telah menegaskan dalam QS Al-‘Ashr bahwa yang harus dilakukan oleh setiap orang agar tidak merugi, setelah beriman dan beramal shalih, adalah saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran, yang tidak lain adalah dakwah itu sendiri. Lebih dari sebuah kewajiban, dakwah sejatinya memiliki banyak keutamaan. Pertama, dakwah adalah tugas utama para rasul (muhimmatul rusul). Seluruh nabi dan rasul, tanpa kecuali, diutus oleh Allah dengan tugas utama untuk berdakwah. Dan keutamaan dakwah terletak  pada disandarkannya kerja dakwah ini kepada manusia yang paling utama dan mulia yakni para nabi dan rasul.
Kedua, dakwah adalah amal perbuatan yang terbaik (ahsanul a’mal). Allah SWT berfirman:
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang berdakwah (menyeru) kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: ‘Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?” (Fushilat: 33).
Sayyid Quthb berkata dalam Fi Zhilal Al-Quran: “Sesungguhnya kalimat dakwah adalah kalimat terbaik yang diucapkan di bumi ini, ia naik ke langit di depan kalimat-kalimat baik lainnya. Akan tetapi ia harus disertai dengan amal shalih yang membenarkannya, dan disertai penyerahan diri kepada Allah…”
Syaikh ‘Abdurrahman bin Naashir As-Sa’di rahimahullah menerangkan dalam tafsir beliau, yakni tidak ada yang lebih baik perkataannya dan jalannya daripada perkataan dan jalannya orang-orang yang berdakwah kepada agama Allah[7]. Dalam ayat lain Allah menegaskan amalan dakwah kepada agama-Nya dengan kalimat perintah:
ولتكن منكم أمة يدعون إلى الخير ويأمرون بالمعروف وينهون عن المنكر
Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan umat yang berdakwah kepada kebaikan, dan memerintahkan yang kepada ma’ruf serta melarang dari perbuatan mungkar.” (Ali-'Imraan: 104)
Yakni hendaknya di antara kamu wahai orang-orang yang beriman yang Allah telah anugerahkan keimanan kepada kalian serta berpegang teguh dengan agama-Nya, ada sekelompok orang yang mengajak kepada kebaikan yaitu segala perkara yang dapat mendekatkan diri kepada Allah serta menjauhkan diri dari kemarahan-Nya. Dan memerintahkan kepada yang ma’ruf (yakni diketahui secara akal maupun syariah tentang kebaikannya) dan melarang dari perbuatan yang mungkar[8].”
Ketiga, dakwah akan diganjar oleh Allah dengan balasan yang besar dan berlipat ganda. Marilah kita simak sabda-sabda Rasulullah saw berikut ini:
Orang yang menunjukkan kepada kebaikan seperti orang yang melakukannya.” (HR Ahmad, Abu Ya’la, dan Ibnu Abid Dunya)
Siapa yang mencontohkan perbuatan baik dalam Islam, lalu perbuatan itu setelahnya dicontoh (orang lain), maka akan dicatat untuknya pahala seperti pahala orang yang mencontohnya tanpa dikurangi sedikit pun pahala mereka yang mencontoh nya. (HR. Muslim dari Jarir bin Abdillah ra).
Demi Allah, sesungguhnya Allah SWT menunjuki seseorang karena (dakwah)mu maka itu lebih bagimu daripada unta merah.” (Bukhari, Muslim & Ahmad). Unta merah adalah kendaraan yang paling mewah dan paling dibanggakan di zaman Nabi.
Rasulullah saw berkata kepada Ali ra: “Wahai Ali, sesungguhnya Allah SWT menunjuki seseorang dengan usaha kedua tanganmu, maka itu lebih bagimu dari tempat manapun yang matahari terbit di atasnya (lebih baik dari dunia dan isinya). (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak).
Sesungguhnya Allah swt memberi banyak kebaikan, para malaikat-Nya, penghuni langit dan bumi, sampai semut-semut di lubangnya dan ikan-ikan selalu mendoakan orang-orang yang mengajarkan kebaikan kepada orang lain.” (HR. Tirmidzi dari Abu Umamah Al-Bahili). Subhanallah, berapakah jumlah malaikat, semut dan ikan yang ada di dunia ini? Bayangkan betapa besar kebaikan yang diperoleh oleh seorang da’i dengan doa mereka semua!
Imam Tirmidzi setelah menyebutkan hadits diatas lalu mengutip ucapan Fudhail bin ‘Iyadh yang mengatakan: “Seorang yang berilmu, beramal dan mengajarkan (ilmunya) akan dipanggil sebagai orang besar (mulia) di kerajaan langit.”
Keempat, dakwah pada saat yang sama adalah nasihat bagi diri sendiri. Dengan demikian, sebelum dakwah itu bermanfaat bagi orang yang didakwahi, dakwah sudah memberikan manfaat kepada orang yang berdakwah itu sendiri. Dengan berdakwah, seseorang akan terpacu untuk senantiasa belajar, dan terpacu untuk beramal shalih sebagaimana yang ia dakwahkan kepada orang lain. Dengan berdakwah, seseorang juga akan memiliki rasa malu kepada Allah, diri sendiri, dan orang lain. Ia akan merasa malu jika ia tidak melaksanakan ketaatan sebagaimana yang ia dakwahkan. Ini tentu saja merupakan faktor positif yang akan mendorong seseorang untuk bisa bertahan menjadi orang yang baik.
Kelima, dakwah merupakan penyelamat dari adzab Allah. Allah SWT berfirman:
وَإِذْ قَالَتْ أُمَّةٌ مِنْهُمْ لِمَ تَعِظُونَ قَوْمًا اللَّهُ مُهْلِكُهُمْ أَوْ مُعَذِّبُهُمْ عَذَابًا شَدِيدًا قَالُوا مَعْذِرَةً إِلَى رَبِّكُمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ -فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ أَنْجَيْنَا الَّذِينَ يَنْهَوْنَ عَنِ السُّوءِ وَأَخَذْنَا الَّذِينَ ظَلَمُوا بِعَذَابٍ بَئِيسٍ بِمَا كَانُوا يَفْسُقُونَ
Mengapa kamu menasehati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengazab mereka dengan azab yang amat keras?” Mereka menjawab: “Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Tuhanmu , dan supaya mereka bertakwa. Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik. (Al-A’raf : 163-165).
Ayat ini dengan tegas menyatakan bahwa meskipun suatu masyarakat sudah sangat sulit diajak menjadi baik, kita tetap harus memberikan nasihat, agar kita mempunyai alasan dihadapan Allah yang bisa menyelamatkan kita dari adzab-Nya yang dahsyat. Jika ini tidak kita lakukan, maka bersiap-siaplah menerima adzab Allah yang akan ditimpakan secara merata, menimpa orang yang zhalim dan juga orang yang baik.
وَاتَّقُوا فِتْنَةً لَا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. dan ketahuilah bahwa Allah Amat keras siksaan-Nya.” (QS Al-Anfal : 25)
Hilangnya dakwah di tengah-tengah masyarakat juga akan mengakibatkan doa-doa kita tidak lagi didengar oleh Allah SWT, sebagaimana sabda Rasulullah saw: “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, kalian harus melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar, atau Allah akan menurunkan hukuman dari-Nya kemudian kalian berdoa kepada-Nya dan Dia tidak mengabulkan doa kalian.” (HR Tirmidzi, beliau berkata: hadits ini hasan).
Dan keenam, dakwah merupakan jalan menuju khairu ummah (umat terbaik). Allah SWT berfirman:
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ
Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS Ali ‘Imran : 110 )
Dakwah kepada agama Allah merupakan jalannya para Nabi dan para Rasul, bahkan dakwah kepada agama Allah menjadi misi utama yang diperjuangkan oleh mereka. Oleh sebab itulah berdakwah di jalan Allah merupakan amalan yang sangat agung dan dicintai oleh Allah ta’ala.
 E. Penutup
Al Qur’an bukan hanya berisi perintah dan larangan bagi umat manusia, lebih dari itu al Qur’an memiliki metode khusus dalam mengkomunikasikan perintah dan larangan agar mudah dimengerti dan  akhirnya bisa diterima oleh sekalian manusia.
هَٰذَا بَلَاغٌ لِلنَّاسِ وَلِيُنْذَرُوا بِهِ وَلِيَعْلَمُوا أَنَّمَا هُوَ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ وَلِيَذَّكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ ﴿٥٢﴾
Artinya : (Al Qur’an) ini adalah penjelasan yang sempurna bagi manusia dan supaya mereka diberi peringatan dengannya, dan supaya mereka mengetahui bahwasanya Dia adalah Tuhan yang Maha Esa dan agar orang yang berakal mengambil pelajaran. ( QS.14:52)
فَاصْبِرْ عَلَىٰ مَا يَقُولُونَ وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ غُرُوبِهَا ۖ وَمِنْ آنَاءِ اللَّيْلِ فَسَبِّحْ وَأَطْرَافَ النَّهَارِ لَعَلَّكَ تَرْضَىٰ
Artinya; Maka sabarlah kamu atas apa yang mereka katakan, dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu, sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya, dan bertasbih pulalah pada waktu- waktu dimalam hari dan pada waktu-waktu disiang hari, supaya kamu merasa senang  ( QS 20:130)
Disini dapat disimpulkan bahwa dengan komunikasi verbal yang efektif apabila mengacu pada pilar-pilar dakwah yang dikemukakan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagaimana berikut:
1. Berilmu Tentang Apa yang Didakwahkan
2. Beramal dengan Apa yang Ia Dakwahkan
3. Niat yang Ikhlas
4. Memulai dari Perkara yang Paling Penting, Kemudian yang Penting dan Selanjutnya







Daftar Pustaka
Al Qur’an

‘Abd a-Hay al-Farmawi,1977, al-Bidayah fi al-Tafsir, al-Maudhu’i, al –Matma’at al-   Hadarat al –Arabiyat, Cet ke-2.

Ahmad Al-Ansori al-Qurtubi,Ibnu, Al-Jami’ul Ahkam Al-Qur’an, Darul Hud, juz V.

Al-Maraghi, Mustafa, Terjemah Tafsir Al-Maraghi juz 15, diterjemahkan oleh Bahrun Abu Bakar dan Herry Noer Aly, CV. Toha Putra, Semarang

Amin, Bahtiar, Adz-Dzikro, terjemah dan tafsir juz 11-15, Angkasa, Bandung:1156).

Baidan, Nahruddin, 2000, Rekonstruksu Ilmu Tafsir, Yogyakarta, Dana Bakti Primayasa.

Bovee L.Courland, dan John V. Thill, 1995, Bussines Communication Today, Fourth Edition, New York: McGraw-Hill, Inc.,

Cawidu, Harifudin, 1991, Konsep Kufr dalam Al-Qur’an: Suatu Kajian Teologis dengan pendekatan tafsir tematik, Jakarta: Bulan Bintang

Efendi U.Onong, 1981, Dimensi-dimensi Komunikasi, Bandung, Alumni

George L. Grice, 1993, Mastering Public Speaking, Masachussetts: Simon Company

Glann, Ethel C.1990, Public Speaking Today and Tomorrow, New Jersy: Prantice Hall Inc.

Hamka, 1982, Tafsir Al-Azhar, Cet. III, juz XV, Yayasan Latimojung, Surabaya,

Haryani, Sri, 2001, Komunikasi Bisnis, Yogyakarta, UUP AMP YKPN,

Hijazi, Mahmud, Tafsir Al-Wadhih, Darul Jabal, Beirut.

Husin al-dzahabi,M., 1962, al-Tafsir wa al-Mufassirun, I, Kairo, Dar al kutub al-haditsat

Katsir, Ibnu, Tafsir Ibnu Katsir, Terjemah dan Tafsir, terjemahan Salim Bahreisy, Said Bahreisy, PT. Bina Ilmu, 1990.

Khalil, Komaruddin, 2005, Kiat Sukses Menjadi Pembicara yang Mengugah dan Mengubah, Bandung : MQS Publishing

Nasr, SH, 1972, Ideals and Realies of Islam, London, George Allen & Unwin Ltd.,

Sihab, quraisy, 2000, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Ciputat, Jakarta, Lentera Hati, Cet. I.




[1].  Efendi U.Onong, 1981, Dimensi-dimensi Komunikasi, Alumni, Bandung.
[2]. Khalil, Komaruddin, 2005, Kiat Sukses Menjadi Pembicara yang Mengugah dan Mengubah, Bandung : MQS Publishing
[3]. Ibid
[4]. Katsir, Ibnu, Tafsir Ibnu Katsir,
[5]. Qurtubi, Ibnu Ahmad Al-Ansori, Al-Jami’ul Ahkam Al-Qur’an, Darul Hud, juz V 159.
[6].  Al-Maraghi, Mustafa, Terjemah Tafsir Al-Maraghi juz 15,
[7]. Taisirul Karimir Rahman hal. 749
[8].  Taisirul Karimir Rahman hal. 142

Tidak ada komentar:

Posting Komentar