Fenomena
Masyarakat Miskin Perkotaan
Pendahuluan
Keberadaan
sebuah realitas masyarakat tidak dengan sendirinya muncul, ada sesuatu sebab
yang kemudian menjadikan kondisi itu terjadi dalam kehidupan. Bermacam sebab
yang menghadir sebagai realitas, menandakan bahwa sebab itu adalah kenyataan di
alam dari sebuah persoalan. Dengan kata lain sebab itu sendiri adalah
persoalan, yang kemudian menimbulkan permasalahan. Secara ontologis, keberadaan
masyarakat miskin ataupun kaya, keberadaannya adalah sama, yaitu masyarakat itu
sendiri. Pada wilayah aksiologis yang kemudian terjadi batasan antara yang satu
dengan yang lain, beserta atributnya. Maka, untuk melihat sebagai sebuah
kesatuan antara yang ontologis dan aksiologis dipergunakan pengetahuan untuk
menempatkan dalam proporsinya.
Melihat
fakta yang ada, keberadaan semua kategori masyarakat itu sama-sama ada, entah
itu masyarakat miskin, dunia ketiga, borjuis, eropa, modern dan sebagainya.
Sehingga beradaannya tidak memunculkan persoalan. Yang memunculkan persoalan,
ketika berada pada dataran nilai (aksiologisnya) atau riilnya, yang secara
epistologis dapat dilihat sebagai pengetahuan, yaitu kemiskinan sebagai
realitas.
Bagi
kota-kota besar di Indonesia, persoalan kemiskinan merupakan masalah yang serius
karena dikhawatirkan akan menyebabkan terjadinya kantong-kantong kemiskinan
yang kronis dan kemudian menyebabkan lahirnya berbagai persoalan sosial di luar
kontrol atau kemampuan pemerintah kota untuk menangani dan mengawasinya.
Kemiskinan merupakan salah satu masalah sosial di Indonesia yang tidak mudah
untuk diatasi. Beragam upaya dan program dilakukan untuk mengatasinya, namun
masih saja banyak kita jumpai permukiman masyarakat miskin di hampir setiap
sudut kota yang disertai dengan ketidaktertiban dalam hidup bermasyarakat di
perkotaan. Misalnya yaitu, pendirian rumah maupun kios dagang secara liar di
lahan-lahan pinggir jalan sehingga mengganggu ketertiban lalu lintas yang
akhirnya menimbulkan kemacetan jalanan kota. Masyarakat miskin di perkotaan itu
unik dengan berbagai problematika sosialnya sehingga perlu mengupas akar
masalah dan merumuskan solusi terbaik bagi kesejahteraan mereka. Dapat
dijelaskan bahwa bukanlah kemauan mereka untuk menjadi sumber masalah bagi kota
namun karena faktor-faktor ketidakberdayaanlah yang membuat mereka terpaksa
menjadi ancaman bagi eksistensi kota yang mensejahterahkan[1].
Untuk
itu kewajiban pemerintah sangat diperlukan keefisienannya dalam menghadapi
permasalahan masyarakat miskin kota ini. ”Pemerintahan perkotaan yang baik
selalu berupaya menemukan cara-cara untuk dapat melibatkan kelompok miskin
perkotaan, sehingga kebutuhan mereka dapat direfleksikan dalam kebijakan dan
program-program pemerintah kota. Pencapaian untuk alternatif perkotaan masa
depan sangat tergantung pada seberapa jauh kelompok-kelompok miskin mampu
mengorganisasikan diri, yang tidak hanya terbatas dalam lingkup wilayah mereka
tetapi juga dapat menghasilkan suatu kekuatan politik secara lebih besar dalam
skala kota dan bangsa.” (Panos: Governing Our Cities). Keluhan yang paling
sering disampaikan mengenai permukiman masyarakat miskin biasanya adalah
rendahnya kualitas lingkungan yang dianggap sebagai bagian kota yang mesti
disingkirkan[2].
Di
kota-kota besar di negara-negara Dunia biasa ditemukan adanya daerah kumuh atau
pemukiman miskin. Adanya daerah kumuh ini merupakan pertanda kuatnya gejala
kemiskinan, yang antara lain disebabkan oleh adanya urbanisasi berlebih, di
kota-kota tersebut. Secara umum, daerah kumuh (slum area) diartikan sebagai suatu
kawasan pemukiman atau pun bukan kawasan pemukiman yang dijadikan sebagai
tempat tinggal yang bangunan-bangunannya berkondisi substandar atau tidak layak
yang dihuni oleh penduduk miskin yang padat. Kawasan yang sesungguhnya tidak
diperuntukkan sebagai daerah pemukiman di banyak kota besar, oleh penduduk
miskin yang berpenghasilan rendah dan tidak tetap diokupasi untuk dijadikan
tempat tinggal, seperti bantaran sungai, di pinggir rel kereta api, tanah-tanah
kosong di sekitar pabrik atau pusat kota, dan di bawah jembatan.
Stigmatisasi
pembangunan perkotaan memposisikan kawasan dan lingkungan permukiman kumuh
adalah penyakit kota. Kawasan dan lingkungan permukiman kumuh dianggap sebagai
bagian wilayah kota yang sangat tidak produktif, kotor, tidak memiliki potensi,
tidak efisien dan mengganggu estetika serta keindahan. Pendekatan konvensional
yang paling populer adalah menggusur permukiman kumuh dan kemudian diganti oleh
kegiatan perkotaan lainnya yang dianggap lebih bermartabat. Cara seperti ini
yang sering disebut pula sebagai peremajaan kota yang ternyata bukanlah cara
yang berkelanjutan untuk menghilangkan kemiskinan dari perkotaan. Kemiskinan
dan kualitas lingkungan yang rendah adalah hal yang mesti dihilangkan tetapi
tidak dengan menggusur masyarakat yang telah bermukim lama di lokasi tersebut.
Menggusur adalah hanya sekedar memindahkan kemiskinan dari lokasi lama ke
lokasi baru dan kemiskinan tidak berkurang. Bagi orang yang tergusur malahan
penggusuran ini akan semakin menyulitkan kehidupan mereka karena mereka mesti
beradaptasi dengan lokasi permukimannya yang baru. Apalagi berkenaan dengan
upaya pengembangan dan penguatan masyarakat, lemahnya pilihan taktis dan
strategis dalam upaya pemecahan problem kaum miskin di perkotaan, sehingga yang
terjadi justru penegakan kepentingan elit dan lebih mengejar target
soisal-ekonomi-politik saja dan pemecahan masalahpun terkesan setengah hati.
Stigma negatif terhadap komunitas dan lingkungan permukiman kumuh pada
hakekatnya mengingkari kesejarahan kota, sedangkan praktek penggusuran dan
pengusiran merupakan praktek pelanggaran terhadap hak-hak konstitusional, hak
tradisional maupun hak asasi manusia yang melekat pada setiap warga dan
masyarakatnya. Pada sisi lain, stigmatisasi tersebut sekaligus menunjukkan
adanya sindrom inferioritas di kalangan pengelola kebijakan dan pemerintahan,
yakni berupa ketidakberdayaan dan rendahnya kapasitas dalam mengelola
pembangunan dan penciptaan kesejahteraan rakyat. Persoalan lebih mendasar dari
stigmatisasi komunitas dan kawasan lingkungan permukiman kumuh, adalah bias
sektoral pembangunan yang berorientasi pertumbuhan. Rumah hunian dan lingkungan
permukiman merupakan bagian eksistensial bagi setiap manusia, sehingga praktek
penggusuran dan pengusiran tersebut dapat dikatakan sebagai praktek
dehumanisasi pembangunan. Tidak teringkari bahwa kawasan dan lingkungan
permukiman kumuh perkotaan berkembang di luar kendali kebijakan dan sistem
penataan ruang kawasan perkotaan. Dalam banyak kasus masyarakat pemukim kawasan
ini berhadapan dengan persoalan laten terkait dengan ketidakpastian status
hukum penguasaan dan penggunaan lahan, menempati lahan yang dalam perspektif
lingkungan dan pengelolaan kawasan tidak direkomendasikan sebagai daerah hunian
sampai lahan publik. Tidak ayal jika tanah-tanah in-absensia, bantaran sungai,
penyangga jalan kereta api, pemakaman umum dan kawasan sekitar pembuangan akhir
sampah perkotaan dikerumuni gubug-gubug, rumah semi permanen dan kemudian juga
rumah permanen. Lingkungan permukiman kumuh tersebut miskin fasilitas umum dan
dihuni para pekerja kota dalam berbagai sektor dan jenis pekerjaan. Di kawasan
seperti ini kualitas lingkungan dan peri-kehidupan masyarakatnya buruk,
sehingga mudah terjangkit berbagai persoalan penyakit endemik serta sarat
masalah sosial dan kemiskinan. Konflik-konflik keagrariaan kota berkembang dan
secara eksplosif muncul setiap saat. Persoalan yang terus mengendap dan laten
menilik pada lemahnya penyelenggaraan hukum, perlindungan hak warga dan
ketidakpastian serta inkonsistensi implementasi kebijakan penataan dan
pengelolaan ruang kawasan. Komitmen pemerintah terhadap masalah kemiskinan,
jaminan perlindungan dan pemenuhan hak-hak dasar manusia serta penanganan
masalah permukiman kumuh merupakan usaha pemerintah menjalankan kewajiban konstitusionalnya
atas hak-hak asasi warga yang dijamin konstitusi negara. Komitmen demikian
memperoleh dorongan penguatan dari komitmen internasional.
Ditengah
berbagai kelemahan dan kekurangan dalam sistem penyelenggaraan pengembangan
perkotaan dan pelayanan permukiman yang ada dewasa ini, orientasi dan paradigma
baru pembangunan kota, khususnya perumahan dan permukiman perkotaan, harus
ditempuh. Stigma pengembangan kota sebagai penggusuran kelompok tak berdaya
harus dihilangkan, sebaliknya pemberdayaan setiap pihak yang terlibat perlu
ditingkatkan. Implementasi dari tekad dan komitmen ini masih membutuhkan
penyempurnaan, baik proses maupun model dan polanya. Penyempurnaan ini
nampaknya tidak cukup melalui peningkatan aspek ketrampilan profesional (professional
skills) semata, akan tetapi juga menghendaki adanya perubahan paradigma.
Perubahan ini justru menjadi dasar yang akan menentukan proses, pola dan model
dalam sistem pengembangan kota. Perubahan paradigma dimaksud, tidak hanya untuk
pengembangan kota tetapi merupakan tuntutan dan bagian integral dari
pelaksanaan otonomi daerah; sebagai hak dan kewajiban daerah untuk mengurus dan
mengatur daerah otonomi termasuk hal-hal yang menyangkut asas desentralisasi,
terkait dengan pembagian dan penyerahan maupun pelimpahan wewenang secara
proporsional[3].
Orientasi
dan paradigma baru terkait dengan pijakan sikap, pikiran dan tindakan politik
pemerintahan dan pembangunan yang mendudukkan rakyat (masyarakat) sebagai
subyek dan bagian integral dalam penyelenggaraan negara. Perubahan ini menuntut
penyempurnaan pada berbagai aspek, terutama terkait dengan kebijakan,
pengelolaan sumberdaya aparat serta model, pendekatan dan metode kerja
pembangunan dan pelayanan. Dalam pembangunan kota sebagai usaha penataan dan
peningkatan kualitas lingkungan permukiman kumuh, secara paradigmatik
pemerintah dituntut sikap keberpihakannya pada warga dan masyarakat
penghuninya. Operasionalisasi pelayanan permukiman dituntut untuk selaras
dengan penataan ruang kawasan perkotaan yang ada, namun aspirasi, inisiatip dan
kepentingan warga miskin dan kelompok berpenghasilan rendah merupakan hal yang
utama. Hal ini berarti merubah orientasi dan pandangan yang sebelumnya dominan,
bahwa perumahan dan permukiman adalah persoalan individual warga sebagaimana
tercermin dari model dan pendekatan pasar dalam pembangunan perumahan. Proses
kerja dan pembelajaran bersama untuk membangun hubungan dan kerjasama
pemerintah dan masyarakat menjadi pokok yang penting dan harus dijalani seluruh
elemen pemerintahan. Pemerintah bersama seluruh aparat, kedinasan dan
kebijakannya dituntut untuk bertindak partisipatoris dalam realitas kehidupan
masyarakatnya dengan maksimalisasi peran sebagai regulator, pelayan dan
pemberdaya masyarakat/warga dalam mencapai kesejahteraan.
Peran
multi-pihak seperti swasta/dunia usaha, organisasi non-pemerintahan maupun
perguruan tinggi dan lainnya dalam proses ini adalah kunci yang lain.
Keterlibatan multi-pihak merupakan penguatan sistem dukungan bagi keberlanjutan
usaha pembangunan perkotaan. Seperti pembangunan kawasan bisnis oleh swasta
didorong dengan tetap menempatkan dan menguatkan keberadaan masyarakat di
sekitarnya sebagai bagian dari keutuhan sistem kota secara sosial, ekonomi,
politik dan budaya. Pembebasan lahan jangan sampai dioperasionalkan sebagai
praktek jual-beli dan pengusiran, tetapi kerjasama sinergis dalam penataan
kawasan dengan masyarakat kota, terutama pemukim kawasan terbangun, sebagai
subyek yang tidak boleh dinomorduakan.Bagaimanapun, pilihan warga untuk
bertahan dan menghuni kawasan permukiman padat dan kumuh perkotaan karena
asesibilitasnya yang mudah terhadap ruang kerja dan penghidupan mereka.
Tempat-tempat demikian memungkinkan pekerja berpenghasilan terendah dapat hidup
dan menjalankan berbagai aktivitas produktif dengan biaya terendah dalam suatu
kegiatan ekonomi. Permukiman kumuh dapat memfasilitasi eksistensi dari bentuk
keunggulan ekonomi komparatif ; memberi fungsi ekonomi dengan biaya yang
kompetitif, baik dalam skala perekonomian tingkat kota, wilayah maupun global ;
serta sebagai sumber keunggulan perekonomian kota. Mengelola tempat-tempat ini
dengan baik, di bagian wilayah manapun, merupakan kunci untuk menjamin
kesuksesan ekonomi dan kestabilan demokrasi.
Realitas
kemiskinan dalam dunia global, nation state dan agama jelas berbeda penyebab
dan keberadaan kemiskinan itu sendiri. Pada masyarakat global, kemiskinan
justru-bagi mereka pendukung globalisasi-lahir karena tidak mengikuti arus yang
sedang mengglobal saat ini, yaitu masyarakat bergerak sebagai satu keseluruhan.
Inilah yang dikehendaki oleh globalisasi. Untuk mendukung globalisasi,
muncullah para aktor-aktor sebagai pemain utamanya. Bank Dunia, WTO, IMF,
NAFTA, APEC, Perusahaan-perusahaan transnasional dan lainnya mendesain ‘arena
bermain’ demi mendulang keuntungan kapital berupa pasar bebas. Dengan permainan
itu, pergadangan global yang dipandu oleh prinsip yang menuntut liberalisasi
pasar, jelas bermuara pada keserakahan berupa maksimalisasi keuntungan. Lebih
mengenaskan lagi, untuk memaksimalisasi keuntungan ini ternyata bergerak tak
hanya pada perdagangan barang dan jasa, tetapi telah meliputi seluruh aspek
kehidupan. Inilah praktik neo-liberalisme, dan kemiskinan adalah keberadaan
dari mereka yang dikalahkan.
Setiap
negara pasti mengedepankan kesejahteraan bagi rakyatnya. Perihal prosesnya
bagaimana untuk mewujudkannya tergantung sistem yang diselenggarakan. Namun
bila sistem yang terselenggara nyatanya menempatkan persoalan kemiskinan hanya
sebatas jargon politik, sampai kapan pun kemiskinan tetap menggelayut pada
rakyat banyak. Gambaranya seperti di negeri paman sam, model ala Demokrat atau
Republik.
Partai
demokrat menempatkan semua rakyat berhak memperoleh posisi yang sama, dalam hal
ekonomi dan yang lain. Kelompok yang miskin didorong untuk keluar dari jerat
kemiskinan itu sendiri. Republik berbeda, justru mendorong mereka yang kaya
untuk terus mendulang kekayaan, sehingga keberlimpahannya modal mengalir
dinikmati oleh yang miskin. Aksi wall street bukti semaju dan sekapitalis AS
pun, suara kemiskinan masih ada setelah sekian lama terpendam, akhirnya
membuncah suara penolakan pada keserakahan.
Berbeda
dengan Indonesia, sebagai negara kesatuan, memiliki beragam cara pandang dalam
menyelesaikan kemiskinan. Sayangnya semua berorintasi yang sama, namun tidak
jelas praktiknya. Ala Nasionalis, Moderat, Islamis sekalipun, partai yang
berkuasa dan memiliki suara justru untuk pemenuhan kelompoknya sendiri.
Inginnya menyelesaikan kemiskinan, tetapi silang sengkarut politik menjerat
pada kepentingan antar sesama untuk saling bersengkongkol agar korupsi terus
saja bisa dijalankan.
Sebagai
homo religiousus, kesalehan seseorang belum menjamin pada kesalehan sosial.
Praktik peribadatan seolah tak relasional dengan praktik kehidupan bernegara.
Simbol kesalehan justru digunakan sebagai citra dan menjadikannya hanya sebatas
ritual an sich. Diluar urusan itu, sudah bukan lagi keharusan sebagai seorang
yang patuh beribadah.
Sebenarnya
dalam kehidupan ini tidak bisa melepaskan dualitas yang beriringan bersama
dalam praktik kehidupan. Entitas dualitas itu menjadi berada sebab
masing-masing bukan untuk saling timpang, tetapi bagaimana selaras dan
harmonis. Si kaya ada karena si miskin, negara maju ada karena ada negara
berkembang dan seterusnya. Meski demikian, kemiskinan bukan menjadi keadaan
yang sejatinya telah berada, tetapi menjadi arena berbagi dan bahwa diluar sana
masih ada yang lain, yang berbeda posisi dan kedudukan satu sama lain. Jika
kemiskinan itu lahir disebabkan oleh sistem penyeleggaraan ekonomi-politik-hukum
demi pemenuhan kebutuhan manusia yang tak terbatas, maka kemiskinan bukan
sendirinya ada, tetapi efek dari keserakahan dan ketidakpedulian. Kemiskinan
bukan menjadi realitas keseharian, melainkan hasil ciptaan dari konsekwensi
sistem dan struktur yang mendominasi, culas dan hegemonik.
Keberadaan Undang-undang No. 38
Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dapat dimanfaatkan oleh wajib zakat dan
pengelola zakat untuk memanfaatkan potensi zakat yang ada di Indonesia.
Meskipun demikian, bukan berarti bahwa dengan adanya UU tersebut permasalahan
dan kontribusi zakat terhadap masyarakat miskin teratasi dan optimal
penggunaannya. Karena sebagai UU masih ada beberapa kelemahan yang ada pada UU
No. 38 Tahun 1999 tersebut antara lain muzaki tidak terikat secara langsung
sebagai wajib zakat dan pengelola zakat hanya berwenang untuk menerima zakat[4]
Disisi lain, keraguan akan pemberlakuan UU No. 38 Tahun 1999 disebabkan oleh
adanya kekhawatiran bahwa pemberlakuan zakat sebagai pengurang penghasilan kena
pajak justru akan mempersulit pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara
dari sektor pajak[5]
Terlepas dari keberadaan UU No. 38
Tahun 1999, bahwa pada dasarnya setiap muslim yang telah memenuhi syarat wajib
zakat harus membayar zakat dalam rangka melaksanakan fungsi sosial dan ajaran
agamanya. Secara terminologis, zakat merupakan bagian harta yang wajib
dibayarkan oleh setiap muslim yang memenuhi syarat untuk diberikan kepada
pihak-pihak yang berhak menerimanya sesuai ketentuan ajaran Islam. Menurut
bahasa kata zakat merupakan kata dasar dari zaka yang berarti berkah, tumbuh,
bersih dan baik. Berdasarkan istilah fiqih, zaka berarti sejumlah harta
tertentu yang diwajibkan Allah diserahkan kepada orang-orang yang berhak.
Adapun jumlah yang dikeluarkan dari kekayaan itu disebut zakat[6]
Adapun keterkaitan antara
optimalisasi pemanfaatan zakat dengan upaya pengentasan kemiskinan telah
diutarakan oleh ekonom-ekonom muslim antara lain Dawam Rahardjo yang
menyarankan bahwa pengelolaan zakat dibawah pengawasan negara sehingga dana
zakat dapat didistribusikan kepada masyarakat miskin yang sangat membutuhkan.
Budiman menyebutkan bahwa keberadaan
dana ZIS (Zakat, Infak, dan Shadaqah) mempunyai andil yang signifikan dalam
membantu masyarakat miskin serta pembangunan infrastruktur seperti masjid,
sekolah, rumah sakit[7].
Hal yang perlu diperhatikan terkait dengan zakat adalah perlunya memposisikan
zakat sebagai sumber pendapatan yang daoat mengangkat harkat dan martabat
penduduk miskin di Indonesia yang sebagian besar adalah muslim. Disisi lain,
ada bagian yang perlu diperbaiki terkait dengan zakat yaitu kesempurnaan
peraturan tentang zakat dan kualitas sumber daya manusia pengelola zakat.
Karena keberaaan lembaga pengelola zakat (BAZIS) tidak terlepas dari keberadaan
sumber daya manusia dan perangkat perundang-undangan yang mengaturnya[8].
Pentingnya
Peran Pengelola Zakat Dalam Mengentaskan Kemiskinan
Pengelola zakat dalam hal ini BAZIS (Badan Amil Zakat, Infak dan
Shadaqah) diawali oleh pembentuikan lembaga semi pemerintah di lingkungan Pemda
DKI Jakarta yang bertugas melaksanakan pengunmpulan dan pembagian zakat,
didirikan pada tahun 1968. Pada tahun 1968 Departemen Agama mengeluarkan
Peraturan Menteri Agama No. 4 Tahun 1968 tentang Pembentukan Badan Amil Zakat
dan Peraturan Menteri Agama No. 5 Tahun 1968 tentang Pembentukan Baitulmaal
(perbendaharaan) di Tingkat Pusat, Propinsi, dan Kabupaten/Kota[9].
Upaya pemerintah dalam mempertegas keberadaan BAZIS tertuang dalam
Surat Keputusan Bersama antara Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama No. 29
dan 47 Tahun 1991 tentang Pembinaan Badan Amil Zakat, Infak, dan Shadaqah.
Sementara itu, pada tahun 1999
pemerintah telah mengeluarkan Undang-undang No. 38 Tahun 1999 tentang Badan
Amil Zakat Infak dan Shadaqah. Adapun realisasi pembentukan Badan Amil Zakat
Nasional (BAZNAS) tertuang pada SK Presiden Megawati yang salah satu programnya
adalah menjalin kerjasama dengan Direktor Jenderal Pajak untuk menerbitkan
Nomor Pajak Wajib Zakat (NPWZ)[10].
Dalam hal pengumpulan dan penyaluran zakat, selama ini pengumpulan
dan penyaluran zakat belum optimal karena pengumpulan dan penyalurannya
terpencar melalui berbagai badan-badan amil zakat. Dengan keluarnya Keputusan
Presiden No 103 Tahun 2004 tentang perubahan susunan keanggotaan Badan Amil
Zakat, peran pemerintah bisa lebih optimal dalam melakukan fungsi fasilitasi
dan sosialisasi zakat (tempointeraktif.com). Dari rekapitulasi data zakat
Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf Depag RI diperoleh data untuk tahun
2002 di seluruh Indonesia terkumpul dana zakat Rp 6, 81 M, infaq Rp 997 juta,
shodaqoh Rp 8,8 M. Tahun 2003 zakat Rp 69, 57 M, infaq Rp 20,82 M, shodaqoh Rp
23, 87 M. Dan hingga Juli Tahun terkumpul zakat Rp 88,03 M, infaq Rp 33,94 M
dan shodaqoh Rp 36,49 M[11]
Dana yang dikumpulkan dari kaum
muslim tersebut disalurkan kepada pihak-pihak yang memenuhi persyaratan atau
berhak menerima. Sebagai contoh penyaluran zakat di Kabupatenm Tangerang,
sebanyak 4.800 kaum duafa dari 28 kecamatan di Kabupaten Tangerang menerima
zakat, infak dan shodaqoh (ZIS). Penyerahan ZIS tersebut dipusatkan di kawasan
wisata Tanjung Kait Kecamatan Mauk.Dari sejumlah ZIS tersebut, 25% atau senilai
Rp 144.000.000,00 diantaranya dihimpun dari dinas/instansi serta bagian-bagian
di Pemerintah Kabupaten Tangerang. ZIS yang dihimpun telah disalurkan antara
lain dalam bentuk beasiswa 630 murid madrasyah Rp 57 juta, bantuan guru mengaji
Rp 65 juta, pengembangan ekonomi umat bagi 66 penerima sebesar Rp 20 juta.
Selain itu dana ZIS dimanfaatkan untuk pengobatan gratis 1.300 orang dengan
dana Rp 19,5juta, santunan yatim piatu Rp
10 juta[12].
Pada saat ini pemerintah menargetkan dalam kurun waktu 10 tahun
mendatang jumlah penduduk yang menderita rawan pangan menurun sebesar 2 juta
jiwa per tahun. Dan diharapkan pada 2015 jumlah penduduk rawan pangan dapat
berkurang sebesar 50 persen dari keseluruhan tingkat kerawanan pangan di
Indonesia. Data Badan Pusat Statistik pada 2004 sekitar 36,1 juta jiwa atau
16,7 persen dari total penduduk tergolong miskin. Bahkan 8,9 juta penduduk
diantaranya hidup dalam kondisi sangat miskin. Pada 2002 prevalensi anak balita
kurang gizi sebesar 24,8 persen, tetapi pada 2003 naik menjadi 27,3 persen,
selain itu prevalensi gondok naik menjadi 11,1 persen dari 9,8 persen pada
1998. Badan Pusat Statistik (BPS) memperkirakan jumlah penduduk miskin di
Indonesia pada 2005 mencapai 62 juta jiwa atau sekitar 28,44 persen dari total
jumlah penduduk yang mencapai 218 juta jiwa. Jumlah 62 juta penduduk miskin
tersebut berdasarkan hasil pendataan sementara BPS yang memperkirakan jumlah
RTM (Rumah Tangga Miskin) di Indonesia mencapai 15,5 juta kepala keluarga (KK)[13].
Kalau dikaji lebih jauh antara pentingnya keberadaan pengelola zakat
dengan program pemerintah dalam mengurangi kerawanan pangan atau penduduk
miskin seharusnya berjalan seiring seirama. Karena apabila proses penyadaran
dan kesadaran dari umat islam yang telah memenuhi syarat sebagai muzaki
tebentuk dengan diimbangi oleh manajemen pengelola zakat yang baik (termasuk
perbaikan kesejahteraan pengelola zakat), maka program pengentasan penduduk
miskin yang dicanangkan oleh pemerintah bukan sekedar slogan[14].
Dengan demikian, peran pengelola
zakat di masa depan harus mampu memenuhi kebutuhan masyarakat dan sejalan
dengan program pemerintah dalam rangka mengangkat harkat dan martabat umat
Islam. Disisi lain, pengelola zakat dan pemerintah perlu menjalin kerjasama
dalam rangka perbaikan organisasi pengelola zakat. Hal yang lebih lagi adalah
apabila pemerintah mengawasi langsung semua organisasi zakat yang ada di
Indonesia sehingga akan terwujud integrasi sistem pengumpulan dan penyaluran
zakat[15].
Hambatan
Dalam Pemanfaatan Zakat
Dalam pelaksanaan pemanfaatan zakat selama ini masih terdapat
beberapa kendala atau hambatan, yaitu[16] :
1. Kurangnya kesadaran masyarakat dalam membayar
zakat.
2. Belum
adanya dukungan yang bersifat kelembagaan secara maksimal terhadap pengumpulan
zakat
3. Masih sempitnya pandangan masyarakat terhadap
konsepsi fiqih zakat yang lebih sesuai
4. Adanya
anggapan di sebagian masyarakat bahwa dengan membayar zakat adalah langkah yang
tidak produktif atau suatu kerugian.
5. Zakat
sampai sekarang baru menjadi pengurang dari penghasilan (cost) dan bukan
pengurang pajak (tax deductible)
6. Belum adanya konsep manajemen zakat seragam
diantara lembaga zakat yang telah ada
Dari
hambatan pelaksanaan zakat di atas, seharusnya pengelola zakat dan pemerintah
bisa membuat rumusan sistem zakat dalam jangka panjang sehingga keberadaan
zakat memang mampu mengangkat harkat dan martabat umat Islam di Indonesia.
Adapun beberapa langkah yang perlu dilakukan oleh pengelola zakat dan
pemerintah dalam rangka mengoptimalkan pemanfaatan zakat bagi umat Islam adalah[17]:
1. Perbaikan manajemen pengelola zakat, meliputi
adanya integrasi sistem pengelola zakat baik itu terkait dengan konsep zakat,
profesionalisme panitia zakat, data base wajib zakat dan penerima zakat
2. Perlu kebijakan pemberian insentif dari
pemerintah bagi wajib zakat yang juga menjadi wajib pajak. Sehingga masyarakat
akan mampu melaksanakan pungutan wajib tersebut dan tidak merasa menjadi suatu
beban.
3. Perlu
adanya kesesuaian program-program pengentasan kemiskinan pemerintah dan upaya
mengangkat harkat serta martabat umat Islam dari pengelola zakat.
Penutup
Berdasarkan uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa:
1. Perlunya
sosialisasi yang lebih intensif tentang peraturan zakat yang telah ada
(termasuk perlunya dilakukan penyempurnaan terhadap peraturan yang dinilai
kurang komprehensip)
2. Perlu
terus dilakukan perbaikann manajemen pengelolaan zakat mulai dari pusat sampai
desa terutama sumber daya manusianya
3. Pemerintah
perlu memberikan dan melaksanakan kebijakan isentif kepada muzaki dalam rangka
peningkatan penerimaan zakat
4. BAZIS mulai dari pusat sampai desa
perlu menciptakan keseragaman atau integrasi dalam pengelolaan zakat (mulai dari
pengumpulan zakat, basis data penerima zakat, dan distribusinya). Disisi lain
panitia atau pengelola zakat juga perlu memperoleh insentif yang wajar (sebagai
bagian dari 8 asnaf)
5. Pengelolaan
zakat yang baik akan berdampak pula pada upaya pengentasan kemiskinan di
Indonesia
Referensi
Budiman, Budi, Potensi
Dana ZIS Sebagai Instrumen Ekonomi Islam; Dari Teori dan Implementasi
Manajemenny”, P3EI UII, Yogyakarta, 2002
Djuanda,
Gustian, “Alternatif Model Pengenaan Pajak dan Zakat Penghasilan di Indonesia”,
P3EI UII, Yogyakarta, 2002
Gunadi, “Optimalisasi
Pemungutan Zakat dan Pajak Demi Kesejahteraan Ummat dan Pembangunan Nasional”
Media Indonesia Online, 2011
Qardhawi,
Yusuf, Hukum Zakat, Litera Antar Nusa, Jakarta. Cetakan V, 2001
Riyardi, Agung,
Pajak, Zakat, dan Dhoribah Dalam Sisem Fiskal”, P3EI UII, Yogyakarta,
2002
usamto, Ahmad
Akbar, “Zakat Sebagai Pengurang Penghasilan Kena Pajak Sebuah Tinjauan Makro
Ekonomi”, P3EI UII, Yogyakarta, 2002
[1]
Susamto, Ahmad Akbar, “Zakat Sebagai
Pengurang Penghasilan Kena Pajak Sebuah Tinjauan Makro Ekonomi”, P3EI UII,
Yogyakarta, 2002
[2].
Susamto, Ahmad Akbar, 2002
[3]Susamto,
Ahmad Akbar, “Zakat Sebagai Pengurang Penghasilan Kena Pajak Sebuah Tinjauan
Makro Ekonomi”, P3EI UII, Yogyakarta, 2002
[4].
Budiman, 2002
[5].
Susamto, 2002
[6]
(Qardhawi, 2001.
[7]
Budiman, 2002
[8].
Djuanda, Gustian, “Alternatif Model Pengenaan Pajak dan Zakat Penghasilan di
Indonesia”, P3EI UII, Yogyakarta, 2002
[9].
Djuanda, Gustian, 2002
[10].
Ibid
[11].
tempointeraktif.com
[12]
Susamto, Ahmad Akbar, 2002, “Zakat Sebagai Pengurang Penghasilan Kena Pajak
Sebuah Tinjauan Makro Ekonomi”, P3EI UII, Yogyakarta
[13].
Media Indonesia Online
[14]
Gunadi, “Optimalisasi Pemungutan Zakat dan Pajak Demi Kesejahteraan Ummat
dan Pembangunan Nasional”2002
[15]
Susamto, Ahmad Akbar, “Zakat Sebagai Pengurang Penghasilan Kena Pajak Sebuah
Tinjauan Makro Ekonomi”, P3EI UII, Yogyakarta, 2002
[16]
(Budiman, 2002):
[17]
Gunadi, “Optimalisasi Pemungutan Zakat dan Pajak Demi Kesejahteraan Ummat dan
Pembangunan Nasional”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar