FENOMENA
HOMOSEX DI INDONESIA
Oleh : Maryadi
Pendahuluan
Sebagai
sebuah orientasi seksual, “homosek”, tetap dianggap kontroversial karena diasumsikan sebagai gejala abnormal, hal ini bersifat
linear jika dikaitkan
dengan konsepsi agama. Padahal, di
dalam sebuah realita kehidupan, tidak sedikit
orang memiliki orientasi seksual yang berbeda dengan orang lain. Terkadang orientasi
yang berbeda itu given dan adakalanya socially atau politically
constructed. Dalam sebuah
pengertian, individu
yang memiliki orientasi
seks tertentu yang disebabkan oleh
faktor biologis biasanya disebut
gay, lesbian, biseksual, hermafrodit atau kata lainnya bersifat
kodrati. Dalam hal ini
tidak ada keputusan (judgment )
apa-apa, kecuali melihatnya dalam perspektif kekuasaan Tuhan, kecuali ada
temuan baru yang mampu mempengaruhi susunan hormonal seseorang
sehingga orientasi seksnya
berubah. Demikian juga orientasi seks yang disebabkan
oleh faktor nonbiologis,
misalnya sosial, budaya,
politik, ataupun lainnya, maka ini sama dengan gender[1].
Mempersoalkan
hal ini sejatinya tidak sesederhana seperti yang diasumsikan oleh kebanyakan
orang. Perlu upaya kritis yang lahir dari postulat-postulat ilmiah. Freud menyatakan
bahwa determinan manusia
berasal dari diri
manusia itu sendiri (faktor
internal), sementara Skinner
berpendapat bahwa faktor-faktor penentu tersebut berasal dari
stimulus-stimulus eksternal. Sementara Maslow berpendapat lain, dalam kajiannya dia menjelaskan bahwa manusia
itu makhluk rasional. Akan tetapi,
Freud
justru berpegang pada
anggapan dasar bahwa
manusia merupakan makhluk yang cenderung irasional di mana
sebagian besar dari
tingkah laku manusia
didorong oleh kekuatan-kekuatan irasional
yang tidak disadari;
Skinner dalam hal
ini tidak begitu
terikat pada hipotesis
rasional-irasional[2].
Dalam pandangan lain tentang
motivasi, Freud merumuskan
konsep homostatis, yaitu suatu konsep yang diilhami oleh gagasan
keseimbangan (equilibrium)
fisis Leibniz. Ia menerangkan
bahwa tingkah laku manusia dimotivasi oleh upaya pengurangan tegangan-tegangan internal (memuncaknya energi naluri/insting dari Id)
yang terjadi akibat ketidak seimbangan fisis. Dalam hal ini Skinner
berasumsi bahwa tingkah laku manusia tidak
digerakkan oleh agen-agen internal yang disebut naluri, melainkan
ditentukan oleh kekuatan-kekuatan eksterna[3].
Homoseksualitas
dan lesbianisme telah dijuluki 'alternatif gaya hidup' 'pilihan pribadi',
'variasi alami', dll. Di Barat hari ini, di mana homoseksualitas pernah
dianggap penyakit oleh Asosiasi Psikiater, kini telah dihapus dari daftar dan
digantikan oleh homofobia (ketidaksukaan kaum homoseksual dan homoseksualitas).
Sedangkan sebagian masyarakat Indonesia masih menganggap bahwa homoseksual,
biseksual serta perilaku seks lainnya yang tidak sesuai dengan norma agama dan
budaya sebagai perilaku yang menyimpang, karena perilaku seksual seperti ini
belum berlaku secara umum dan dapat diterima oleh masyarakat[4]. Perilaku
ini memunculkan apa yang disebut labeling yang merupakan pengidentifikasian
seseorang sebagai seorang penyimpang,
yang seringkali diikuti oleh adanya perubahan perlakuan orang lain terhadap
orang tersebut[5]
.
Di
dalam Fikih (hukum Islam) memang
selalu terdapat perbincangan seputar "dunia
kelamin" bahkan dalam porsi yang lebih luas. Fikih dirumuskan sebagai
hukum praktis (ahkam al-amaliyah) untuk memberikan solusi praktis kepada masyarakat. Secara ringkas, fikih selalu
menegaskan bahwa manusia hanya memiliki dua jenis kelamin,
yaitu laki-laki dengan penis (dzakar)
dan perempuan dengan vagina (farji ). Tidak ada yang secara spesifik
menjelaskan bahwa ada manusia
yang berbeda, selain
laki-laki dengan penisnya dan perempuan dengan vaginanya tetapi juga ada
hermafrodit dengan penis dan vagina sekaligus. Dalam soal homoseksual, fikih
hanya mengenal istilah khuntsa yang
dalam kamus Arab al-Munawwir diterjemahkan sebagai banci, waria, atau wandu.
Khuntsa berakar pada kata khanatsa yang berarti ‘lunak’ atau ‘melunak’[6].
Secara medis, kondisi ini sering
disebut sebagai hermafrodit. Kita mengenalnya dengan istilah transeksual.
Islam dengan tegas melarang perilaku yang
menyimpang atau perilaku yang menyerupai jenis kelamin tertentu yang tidak
sesuai dengan kelamin aslinya, ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw: “Rasululullah
pernah menghitung jumlah orang-orang yang dilaknat di dunia ini dan disambutnya
dengan Malaikat, diantaranya ialah laki-laki yang memang oleh Allah diciptakan
betul laki-laki, tetapi ia menjadikan
dirinya sebagai perempuan dan menyerupai perempuan.
Dan yang kedua yaitu perempuan
yang memang dicipta oleh Allah
sebagai perempuan betul-betul, tetapi
kemudian dia menjadikan dirinya sebagai laki-laki dan menyerupai laki-laki.
(hadis riwayat Thabrani)[7] .
Perilaku seperti itu ditegaskan kembali dengan munculnya hadis dari Ali bin Abi Thalib ra mengatakan: Rasulullah saw
pernah melarang aku memakai cincin emas dan pakaian sutera dan pakaian
yang dicelup dengan asfar (Thabrani)[8]
.
Fikih
memilah istilah khuntsa ini menjadi dua jenis. Pertama yang disebut khuntsa musykilah. Istilah ini dipahami fikih
merujuk merujuk pada seorang yang memiliki
penis dan vagina. Para ulama menyebutkan kategori
jenis ini masuk pada hermafrodit. Memang
jenis yang satu ini langka. Ulama fikih pada waktu itu tentu telah menemukan fakta seksual jenis tersebut. Di Indonesia sendiri, kasus
hermafrodit itu beberapa kali terjadi dan berakhir dengan operasi ganti
kelamin. Jenis kedua yang
disebut khuntsa ghairu musykila, yaitu sudah jelas dihukumi sebagai laki-laki atau
perempuan. Untuk menentukan kedua jenis ini, yang menjadi
ukuran biologis adalah
bentuk alat reproduksi.
Jika di dalam tubuh terdapat rahim, ia dihukumi
sebagai perempuan. Sebaliknya, jika pada kelamin dalam tidak ada rahim, ia dihukumi
sebagai laki-laki. Tipe
yang berpenis dan tidak punya
rahim inilah yang dimasukkan dalam kelompok gay[9].
Fenomena
Homosex di Televisi
Dalam
mencermati kian merebak dan meluasnya kesempatan yang diberikan media kepada
kaum Homosex merupakan sebuah fenomena bahwa kelompok ini adalah nyata dan
menjadi fenomena tersendiri dalam realitas sosial. Hanya saja, potret yang
ditampilkan media masih jauh dari apa yang diharapkan oleh aktivis pemerhati
gender dan identitas seksual. Homosex, sampai saat ini, lebih sering
ditampilkan sebagai pelengkap penderita, pemanis, dan bahan lelucon. Sebagai
contoh penampilan Aming pada saat ditayangkannya acara Extravaganza yang senantiasa menampilkan
sosok perempuan ekstrim dengan dandanan berlebihan. Demikian pula dengan Olga
Syahputra yang senantiasa menjadi bahan ejekan dan lelucon dalam setiap acara
yang dibintanginya. Meskipun penggambaran terhadap eksistensi mereka yang
mendapat penerimaan dari lingkungannya, tetapi kondisi ini tentu saja belum
sepenuhnya sesuai dengan apa yang dialami oleh kaum Homosex dalam realitas yang
seringkali mengalami pelecehan, pemarginalan, bahkan kekerasan baik secara
psikologis maupun fisik.
Berbeda
dengan kaum homosex diatas, potret Homosex secara positif ditampilkan oleh
Dorce sebagai sosok yang cerdas dan shalihah dalam acara yang dipandunya.
Demikian halnya dengan Ivan Gunawan yang menjadi representasi Homosex sebagai
sosok yang kreatif, perfeksionis, dan multitalenta. Dalam konteks kedua figur
ini, Homosex bukan lagi dijadikan sebagai pelengkap penderita melainkan sebagai
tokoh yang sejajar dengan kelas gender yang lain – laki-laki & perempuan.
Tak
dapat dipungkiri bahwa sejumlah acara yang menampilkan Homosex sebagai salah
satu pengisinya –baik tokoh sentral maupun pendamping- mendapat sambutan yang
luar biasa dari masyarakat, bahkan melahirkan ikon-ikon baru. Di dunia
presenter dikenal Dave Hendrik dan Dorce, Ivan Gunawan berkibar dengan label
desain bajunya, di ranah komedi Aming, Olga, dan Tessy menjadi top of mind dari
pemirsa televisi.
Televisi
swasta sebagai lembaga bisnis yang memang secara natural berusaha memenuhi
permintaan pasar mengangkat fenomena ini. Hampir setiap hari kita disuguhi
dengan tontonan yang dipenuhi dengan kaum Homosex. Tidak hanya presenter acaranya
tetapi juga pengisi acaranya. Bahkan, berita dalam infotainment sekarang pun
tak sungkan-sungkan lagi mengangkat isu tentang ini – skandal Krisna Mukti
dengan salah satu pengusaha di Kalimantan, foto mesra Evan Sanders dengan teman
prianya, perihal Betrand Antolin dan Indra L. Brugman, dll. Bahkan, dalam salah
satu episode Cerita Pagi yang ditayangkan Tran TV, diceritakan bagaimana kisah
seorang waria yang menjalani kerasnya sanksi masyarakat terhadap dirinya yang
berakibat pada sulitnya ia untuk mencari penghasilan selain ngamen di jalanan.
Demikian pula, pada sejumlah sinetron yang menampilkan bagaimana seorang Homosex
mengalami proses pertobatan –dengan menjadi laki-laki heteroseksual.
Selanjutnya
program reality show “Be A Man” yang ditayangkan Global TV menampilkan
sekelompok Homosex yang digembleng dalam sebuah kamp militer agar mereka
menjadi laki-laki kembali. Dalam tayangannya, celotehan, cara berpakaian,
berdandan, dan kondisi emosi pesertanya sedemikian rupa menjadi sebuah tontonan
yang –kurang- menarik. Fenomena acara ini seolah memandang Homosex bukan
sebagai sebuah pilihan tetapi lebih pada sebuah keterpaksaan akibat faktor
ekonomi dan lingkungan. Lebih lanjut, fenomena Homosex bukan hanya
bersinggungan dengan menjadikan lelaki “melambai” menjadi lelaki macho. Akan
tetapi, ini adalah bersinggungan dengan kondisi psikologis dan kenyamanan
individu dalam memilih peran gendernya sebagai implikasi konstruksi sosial.
Tanpa
bermaksud menyalahkan televisi, Homosex dianggap sebagai komoditas ekonomi
media yang hanya digunakan sebagai kendaraan pendongkrak rating dan iklan. Homosex
bukan dianggap sebagai fenomena sosial yang seharusnya dipotret secara
berimbang, bukan hanya sebagai pelengkap penderita. Homosex, sebagaimana
semangat yang ingin diusung oleh feminist, dapat digambarkan sebagai sosok yang
mandiri, mampu melakukan adjustment terhadap lingkungan, serta diakui memiliki
orientasi seksual tertentu.
Homosex dan
Keterbukaan Homoseksual di Indonesia
Merujuk
pada pendapat Moh Yasir Alimi perihal orientasi seksual sebagai bentukan
sosial, maka fenomena keterbukaan orientasi seksual Homosex di Indonesia juga
harus disikapi sebagai sebuah keberagaman. Dede utomo dalam bukunya “Memberi
Suara pada yang Bisu” mengampanyekan agar Homosex di Indonesia kian berani
untuk mengungkap jati dirinya –dalam istilah Homosex dikenal istilah “kloset
; menutup diri”, “came out ; membuka diri”. Semakin gencarnya media
memberikan peluang untuk berkarya bagi kaum Homosex, tampaknya juga berpengaruh
pada kian banyaknya organisasi yang memperjuangkan hak-hak mereka. Bahkan,
perkawinan di antara sesama Homosex pun telah beberapa kali terjadi di
Indonesia –pada tahun 90-an akhir Pyramide Cafe di jalan Bantul menjadi salah
satu saksinya.
Irshad
Manji penulis “Beriman Tanpa Rasa Takut” yang kebetulan adalah lesbian
mengatakan bahwa orientasi seksual yang berbeda selama ini digambarkan sebagai
sesuatu yang tabu untuk dibicarakan dan senantiasa dikonfrontasikan dengan
nilai-nilai agama. Hasilnya, muncul represi agama terhadap kemerdekaan
individu. Pernyataan lebih fenomenal lagi muncul dari Prof. Musdah Mulia yang
dimuat dalam salah satu koran bahwa gay/lesbian adalah legal karena orientasi
seksual tidak pernah membedakan manusia di mata Tuhan. Berkaca pada fenomena
ini, lantas bagaimanakan sikap Anda dan bagaimana pula tentang fenomena homosex
dan khurafat di Majelis Ta’lim.
Fenomena
Homosex dan Khurafat Di Majelis Ta'lim
Majlis
Ta’lim dalam pengertian sederhana adalah tempat belajar atau mencari ilmu.
Tentu yang dimaksud adalah ilmu agama Islam. Berbeda dengan lembaga pendidikan
formal yang mempunyai kurikulum baku, majelis ta’lim jauh lebih longgar, bahkan
tanpa ikatan formal sebagaimana lembaga pendidikan pada umumnya. Keberadaan
majlis ta’lim biasanya merupakan swausaha dan swadana masyarakat yang memang
berkeinginan memperdalam ilmu agama Islamnya tanpa jadwal dan kurikulum yang
ketat, namun kekeluargaan, serta disesuaikan dengan kebutuhan komunitasnya.
Namun
belakangan, sebagian majlis ta’lim menjadi ajang pamer kekuatan, ajang pamer
banyak-banyakan jama’ah, yang konon untuk memenuhi syahwat pimpinannya.
Misalnya, pada musim pemilihan umum tingkat daerah hingga tingkat nasional,
biasanya elite parpol yang ingin partainya meraih suara banyak, mendekati
pimpinan majlis ta’lim tertentu dengan harapan jamaahnya yang terkesan banyak
itu mau memberikan suara kepada parpol yang dipimpinnya. Diduga, mengalirlah
money politic, yang susah dibuktikan kebenarannya namun sulit ditepis begitu
saja. Siapa yang paling diuntungkan? Kemungkinan pimpinan atau elite majlis
ta’lim tersebut. Siapa yang berhasil dibodohi? Selain jama’ah yang taklid juga
pimpinan dan elite parpol tadi. Karena, siapa bisa menjamin bahwa parpolnya
akan kebanjiran suara dari jama’ah majlis ta’lim tadi?
Perkembangan
selanjutnya lebih meprihatinkan, tidak sekedar menjadikan majlis ta’lim sebagai
sumber fulus, tetapi ada juga yang menjadi sumber penyebaran paham sesat
(syi’ah dan sebagainya) serta aneka kemunkaran seperti homoseks, free sex dan
pedofilia, sebagaimana terjadi baru-baru ini. Setidaknya, akhir-akhir ini ada
dua majlis ta’lim yang terkesan banyak jama’ahnya. Nama majlis ta’limnya pun
cukup mentereng, seperti Nurul Musthofa yang berarti cahaya pilihan.
Bahkan ada majlis ta’lim yang merupakan ‘saingan’ Nurul Musthofa,
menggunakan nama tak tanggung-tanggung yaitu Majelis Rasulullah SAW.
Kenyataannya,
Nurul Musthofa (NM) pimpinan habib Hasan Assegaf, dan Majelis
Rasulullah SAW (MR) pimpinan habib Munzir Al Musawwa, sama-sama punya
kebiasaan buruk, yaitu menutup ruas jalan untuk menggelar acaranya. Tidak hanya
pada musim muludan tetapi juga pada hari-hari lain. Sejumlah orang yang
disebutnya jama’ah dari berbagai tempat seperti tumplek bleg di satu lokasi.
Tidak sekedar memacetkan jalan, akan tetapi juga membuat bising kawasan
sekitar.
Aparat
kelurahan dan kecamatan serta pihak RT dan RW memberi izin kepada kerumunan ini
berkiprah, karena mereka takut melihat banyaknya jama’ah majlis tersebut.
Padahal, sesungguhnya segerombolan orang yang disebut jama’ah tadi hanyalah
massa cair yang mudah diurai dengan protap (Prosedur Tetap) yang baku. Bahkan, menurut sebuah sumber,
massa cair yang dikesankan sebagai jama’ah tadi diduga adalah massa bayaran,
bukan benar-benar jama’ah majlis bersangkutan.
Sumber
fulus untuk mendanai massa bayaran tadi, antara lain kemungkinan dari sejumlah
orang kaya yang cinta habib dan dari
sumber-sumber lain yang tidak accountable. Tujuannya jelas, dengan adanya
gerombolan orang di satu titik dengan dalih menghadiri majlis ta’lim yang
dipandu seorang habib, adalah untuk unjuk kekuatan. Serta, minim unsur
ta’limnya. Misalnya, bisa dilihat banyaknya muda-mudi berkhalwat, pacaran,
mojok, saat acara berlangsung. Gerombolan seperti ini sudah seharusnya tidak
diberi izin oleh pihak RT dan RW juga oleh aparat terkait (babinsa, Lurah dan
Camat), karena selain merampas hak masyarakat pengguna jalan, juga menimbulkan
kebisingan, gangguan kamtibmas, serta lebih banyak mudharatnya ketimbang
manfaatnya. Bahkan ada yang mencurigai, aktivitas keagamaan itu jangan-jangan
menjadi cover yang nyaris sempurna untuk sebuah transaksi narkoba dan
obat-obatan telarang lainnya.
Bila
habib Hasan Assegaf yang diduga mengidap penyakit homoseksualitas dan pedofilia
–yang dugaan itu– sudah mulai terkuak keburukan dan kebohongannya, tidak
demikian halnya dengan habib Munzir. Namun, Hasan dan Muzir sama-sama
mendoktrin jama’ahnya dengan cerita-cerita yang ajaib bernuansa khurafat bahkan
berbau kemusyrikan. Seorang jama’ah Majelis Rasulullah dengan identitas e-mail
pemudasuci@yahoo.com pernah menulis artikel di mailing list (milis) Majelis
Rasulullah tentang karomah sang habib. Mungkin saking semangatnya di dalam
mengkampanyekan sang habib, artikel bernuansa khurafat dan kebohongan tersebut
di-forward (diteruskan) ke berbagai blog pribadi. Antara lain mampir juga ke
lamannya mas Yogo Saptono (http://www.kaskus.us/showthread.php?t=13118500).
Oleh si
pemudasuci@yahoo.com ini, habib Munzir dideskripsikan sebagai sosok yang
masyhur (terkenal) dalam dakwah syariah, namun mastur (menyembunyikan diri)
dalam keluasan haqiqah dan ma’rifahnya. Juga, dikesankan sebagai sosok yang
banyak mengalami peristiwa ghaib namun tetap rendah hati dan tetap merahasiakan
peristiwa ghaib tersebut. Beberapa ‘karomah’ yang dimiliki habib Munzir menurut
penuturan pemudasuci@yahoo.com, antara lain berupa dapat mengetahui ajal
seseorang. Misalnya, melalui penuturan berikut: “… ketika orang ramai minta
agar habib Umar Maulakhela didoakan karena sakit, maka beliau (maksudnya habib
Munzir-red) tenang-tenang saja, dan berkata: habib Nofel bin Jindan yang akan
wafat, dan habib Umar Maulakhela masih panjang usianya. Benar saja, keesokan
harinya habib Nofel bin Jindan wafat, dan habib Umar Maulakhela sembuh dan
keluar dari opname. Itu beberapa tahun yang lalu…”
Kemampuan
habib Munzir yang dikesankan bisa mengetahui ajal seseorang, juga bisa ditemui
melalui penuturan pemudasuci@yahoo.com sebagai berikut: “… ketika habib Anis
Al-Habsyi Solo sakit keras dan dalam keadaan kritis, orang-orang mendesak habib
Munzir untuk menyambangi dan mendoakan habib Anis, maka beliau berkata kepada
orang-orang dekatnya, habib Anis akan sembuh dan keluar dari opname, Insya
Allah kira-kira masih sebulan lagi usia beliau. Betul saja, habib sembuh, dan
sebulan kemudian wafat…”
Cerita-cerita
di atas tidak sekedar membohongi dan membodohi, tetapi sudah bernuansa musyrik,
karena mensejajarkan habib Munzir dengan Allah SWT dalam hal memiliki
pengetahuan tentang ajal manusia. Padahal, dalam ajaran Islam hanya Allah yang
mengetahui ajal setiap manusia. Bahkan para Rasul pun tidak diberi kemampuan
tentang itu. Apalagi hanya seorang habib Munzir!
قُلْ
لَا أَقُولُ لَكُمْ عِنْدِي خَزَائِنُ اللَّهِ وَلَا أَعْلَمُ الْغَيْبَ وَلَا
أَقُولُ لَكُمْ إِنِّي مَلَكٌ إِنْ أَتَّبِعُ إِلَّا مَا يُوحَى إِلَيَّ قُلْ هَلْ
يَسْتَوِي الْأَعْمَى وَالْبَصِيرُ أَفَلَا تَتَفَكَّرُونَ [الأنعام/50]
Katakanlah: aku
tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak
(pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa
aku seorang malaikat. aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku.
(QS Al-An’am: 50). Selain dikesankan punya kemampuan mengetahui ajal seseorang,
habib Munzir oleh si pemudasuci@yahoo.com juga dikesankan mampu meredakan
aktifitas gunung berapi, sebagaimana penuturan berikut: “… ketika gunung
Papandayan bergolak dan sudah dinaikkan posisinya dari siaga satu menjadi awas,
maka habib Munzir dengan santai berangkat ke sana, sampai ke ujung kawah,
berdoa, dan melemparkan jubahnya ke kawah, kawah itu reda hingga kini dan
kejadian itu adalah 7 tahun yang lalu (VCD-nya disimpan di markas dan dilarang
disebarkan)…”
Kehebatan
lainnya, sebagaimana dituturkan oleh si pemudasuci@yahoo.com adalah habib
Munzir mampu mengatasi dukun jahat: “…demikian pula ketika beliau masuk ke
wilayah Beji Depok, yang terkenal dengan sihir dan dukun-dukun jahatnya, maka
selesai acara habib Munzir malam itu, keesokan harinya seorang dukun mendatangi
panitia, ia berkata: saya ingin jumpa dengan tuan guru yang semalam buat maulid
di sini. Semua masyarakat kaget, karena dia dukun jahat dan tak pernah shalat
dan tak mau dekat dengan ulama dan sangat ditakuti. Ketika ditanya kenapa? Ia
berkata: saya mempunyai empat jin khodam, semalam mereka lenyap, lalu subuh
tadi saya lihat mereka (jin-jin khodam itu) sudah pakai baju putih dan sorban,
dan sudah masuk Islam, ketika kutanya kenapa kalian masuk Islam, dan jadi
begini? Maka jin-jin ku berkata: apakah juragan tidak tahu? semalam ada Kanjeng
Rasulullah saw hadir di acara habib Munzir, kami masuk Islam…”
Berita
itu bertentangan dengan Islam, karena tidak ada keterangan dalam Islam bahwa
orang yang sudah wafat walaupun Nabi sekalipun hadir di acara manusia yang
masih hidup, apalagi acara bid’ah seperti maulidan. Yang ada justru hadits
tentang proses dicabutnya nyawa seseorang ketika mati sampai selanjutnya,
kaitannya dengan alam ghaib, bukan kembali ke dunia apalagi ke acara yang
diselenggarakan orang hidup. (lihat
http://nahimunkar.com/2519/ruh-manusia-sesudah-mati-ada-di-mana/ ). Jadi itu
dusta atas nama agama.
Masih menurut
penuturan si pemudasuci@yahoo.com pula: “… kejadian serupa di Beji Depok
seorang dukun yang mempunyai dua ekor macan jadi-jadian yang menjaga rumahnya,
malam itu macan jejadiannya hilang, ia mencarinya, ia menemukan kedua macan
jadi-jadian itu sedang duduk bersimpuh di depan pintu masjid mendengarkan ceramah
habib Munzir…”
Ini cerita
berdasarkan pengakuan dukun dan mengenai macan jadi-jadian lagi, sedangkan
mempercayai dukun itu sendiri sudah dilarang dalam Islam.
Hadis-hadis
Nabi s.a.w :
مَنْ أَتَى عَرَّافًا
فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً.(رواه
مسلم وأحمد
“ Orang yang
mendatangi tukang ramal (paranormal) kemudian ia bertanya kepadanya tentang
sesuatu, maka shalatnya tidak akan diterima selama 40 malam”. (Hadist Riwayat
Imam Muslim dan Imam Ahmad dari sebagian isteri Nabi [Hafshah]).
مَنْ أَتَى كَاهِنًا
أَوْ عَرَّافًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُول فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى
مُحَمَّدٍ (رواه أحمد والحاكم.
“ orang yang
mendatangi dukun atau tukang ramal, kemudian membenarkan apa yang dikatakannya
maka orang tersebut telah kufur terhadap apa yang telah diturunkan kepada
Muhammad saw”. (HR. Imam Ahmad dan al- Hakim dari Abu Hurairah).
Boleh
jadi, cerita-cerita pembodohan seperti inilah yang menjadi salah satu daya
tarik sekelompok orang, selain pengakuan sang habib yang konon merupakan
keturunan nabi Muhammad dari jalur Fathimah ra. Bahkan para pengikut fanatik
habib Munzir ini percaya tentang karomah sang habib yang dapat berdaya-guna
meski tanpa kehadiran habib Munzir, sebagaimana penuturan pemudasuci@yahoo.com
berikut ini: “… maka saat mereka membaca maulid, tiba-tiba terjadi angin ribut
yang mengguncang rumah itu dengan dahsyat, lalu mereka minta kepada Allah
perlindungan, dan teringat habib Munzir dalam hatinya, tiba-tiba angin ribut
reda, dan mereka semua mencium minyak wangi habib munzir yang seakan lewat di
hadapan mereka, dan terdengarlah ledakan bola-bola api di luar rumah yang tak
bisa masuk ke rumah itu. Ketika mereka pulang mereka cerita pada habib Munzir,
beliau hanya senyum dan menunduk malu…”
Padahal
seharusnya justru menjelaskan, acara maulidan itu sendiri tidak ada landasannya
yang kuat dalam Islam. Sedang reda atau tidaknya suatu peristiwa itu hanya
Allah yang menguasainya.
Firman Allah
Ta’ala:
وَإِنْ يَمْسَسْكَ
اللَّهُ بِضُرٍّ فَلَا كَاشِفَ لَهُ إِلَّا هُوَ وَإِنْ يَمْسَسْكَ بِخَيْرٍ
فَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ(17)وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ وَهُوَ
الْحَكِيمُ الْخَبِيرُ(18)
“ Jika Allah
menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat
menghilangkannya melainkan Dia. Dan jika Dia mendatangkan kebaikan kepadamu,
maka Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Dan Dialah Yang Berkuasa atas sekalian
hamba-Nya, dan Dialah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui”. (QS. al-An-am
[6] : 17-18)
Pada
suatu ketika, habib Munzir diminta partisipasinya dalam demo anti Ahmadiyah
yang diprakarsai habib lainnya, namun Munzir menolak. Sehingga, ia dituduh pro
Ahmadiyah, karena dia tidak dikenal sebagai orang yang anti demo tentang
apapun. Menurut penuturan pemudasuci@yahoo.com diceritakan bahwa: “…demikian
pula ketika habib Munzir dicaci-maki dengan sebutan Munzir Ghulam Ahmad, karena
ia tidak mau ikut demo anti Ahmadiyah, beliau tetap senyum dan bersabar, beliau
memilih jalan damai dan membenahi ummat dengan kedamaian daripada kekerasan, dan
beliau sudah memaafkan pencaci itu sebelum orang itu minta maaf padanya, bahkan
menginstruksikan agar jamaahnya jangan ada yang mengganggu pencaci itu, kemarin
beberapa minggu yang lalu di acara Al-Makmur Tebet habib Munzir malah duduk
berdampingan dengan si pencaci itu, ia tetap ramah dan sesekali bercanda dengan
Da’i yang mencacinya sebagai murtad dan pengikut Ahmadiyah…”
Penuturan
tadi mau tak mau membawa kita kepada kesimpulan, bahwa habib Munzir ini boleh
jadi termasuk yang percaya atau toleran kepada yang meyakini ada nabi lain
setelah Muhammad Shallallahu alaihi wasallam. Kalau tidak, kenapa tidak ada
penjelasan sama sekali? Paling kurang, sikap seperti itu membingungkan bagi
orang yang mau berfikir, sedang bagi yang fanatic, maka menghargainya sebagai
sikap yang terpuji. Padahal di balik itu secara tidak langsung kalau
dihubungkan dengan sikap Abu Bakar Shiddiq khalifah pertama yang memerangi nabi
palsu Musailimah al-kaddzab dan para pengikutnya, maka lafal kekerasan sama
dengan disematkan pula kepada Abu Bakar radhiallahu anhu dan para sahabat yang
menyerang nabi palsu. Apakah habib Munzir lebih baik daripada Abu Bakar
radhiallahu anhu dan para sahabat?
Berkat
keberanian seorang guru ngaji bernama Ustadz Maryam (menantu Haji Atung), maka
keburukan habib Hasan Assegaf terkupas tuntas. Selain mengidap homoseksualitas,
ternyata Hasan Assegaf ini mengidap pedofilia, yaitu penyakit kelainan
orientasi seks yang cenderung melampiaskan hasrat birahinya kepada anak lelaki
muda (usia belasan tahun). Meksi Hasan Assegaf sudah beristri sejak 2004, namun
penyakitnya tetap eksis. Menurut pemerhati yang biasa menangani kasus pedofilia
dan homoskesualitas, serta paham bahasa gaul, kosa-kata yang digunakan Hasan
kepada korbannya memang lazim digunakan kalangan pengidap kelainan seks seperti
waria atau bencong. Sebagaimana diberitakan majalah GATRA Nomor 15/18 yang
sudah beredar sejak hari Kamis tanggal 16 Februari 2012, ada beberapa istilah
yang digunakan Hasan, misalnya, spg dan vcd beef.
Menurut
pemerhati bahasa gaul, vcd beef merupakan kependekan dari video compact disc
(VCD) dan beef adalah BF yang merupakan kependekan dari Blue Film alias film
biru alias film porno, atau biasa disebut juga bokep. Sedangkan spg merupakan
kependekan dari sepong yang bermakna sederhana isep atau menghisap. Dalam
konteks ini, sepong adalah oral sex (menghisap alat kelamin atau dihisap alat
kelaminnya).
Penjelasan
pemerhati bahasa gaul tadi, nampaknya mendukung cerita jabonjaya yang
mengatakan bahwa sejak 2002 Hasan tidak sekedar melakukan pelecehan
(meraba-raba), tetapi menurut bahasa jabonjaya: “…Mereka di oral dan mengoral
sang habib.” (http://nahimunkar.com/11067 / fenomena-habib-diduga-cabul-dari-majlis-nm)
Korban
Hasan Assegaf tidak cuma anak lelaki belasan tahun, tetapi ada sejumlah remaja
putri. Sebagaimana diberitakan Tribunnews.com edisi Rabu, 15 Februari 2012,
seorang remaja putri korban Hasan menuturkan, mereka disuruh foto bugil
kemudian foto tersebut ditunjukkan kepada Hasan. Alasannya, melalui foto bugil
itu sang habib bisa melihat keseluruhan isi hati si perempuan. Indera untuk
membaca isi hati dari Hasan akan terhalang jika perempuan masih mengenakan
busana.
Sebagaimana
Munzir, sosok Hasan Assegaf juga diselimuti kisah-kisah fantastis yang bagi
orang beriman dan berpendidikan, sulit diterima akal sehat. Sebagaimana dapat
diperiksa pada http://kisahhabib.blogspot.com/2011/03/cahaya-pilihan.html
yaitu: Di tahun 1998, sekitar enam bulan setelah Hasan Assegaf membuka
sekaligus memimpin Majelis Ta’lim Al-Irfan di belakang rumah Habib Kramat
Empang, Bogor, ia kedatangan seorang jama’ah yang membawa seorang pria berumur
separuh baya. Pria itu minta agar habib Hasan Assegaf bersedia mengobati
kakinya.
Ketika
itu, habib Hasan Assegaf sempat bingung, karena ia belum pernah menangani hal
demikian. Namun, karena tidak ingin mengecewakan tamunya, habib Hasan Assegaf
kemudian mengambil sebotol air putih dan membacakan Ratib Alattas. Botol itu
kemudian diserahkan kepada si sakit dengan pesan agar diminum setibanya di
rumah. Dua hari kemudian orang itu kembali lagi dalam keadaan sembuh. Kisah ajaib bagaikan Ponari sang dukun cilik
itu, ternyata menyebar dari mulut ke mulut, dan anehnya membuat sebagian
masyarakat percaya, sehingga mereka berduyun-duyun menjadi jama’ah Hasan
Assegaf.
Bila
Munzir bisa melawan harimau jejadian, Hasan Assegaf bisa mengalahkan
kalajengking: “…suatu hari, ketika Hasan Assegaf bangun tidur, ranjangnya penuh
dengan kalajengking. Maka ia pun segera bangkit dari tidur dan berdoa. Dalam
sekejap kalajengking-kalajengking itu mati semua…” Bahkan konon, selain
kalajengking, Hasan pernah menemukan seekor ular di kamar tidurnya.
Cerita
pembodohan seperti yang melingkari sosok Munzir dan hasan Assegaf, tentu
sengaja direkayasa untuk membuat sosok keduanya menjadi begitu bernilai di mata
jama’ah yang bodoh ilmu dan lemah iman ini. Artinya, majlis ta’lim yang mereka
dirikan sudah menyimpang dari semestinya. Yaitu bukan membuat pintar tapi
membodohi.Tidak sekedar membodohi, tetapi juga merugikan masyarakat. Hal ini
sebagaimana pernah diungkap secara terulis oleh Ahmad melalui blog
pribadinya, Minggu 19 Juni 2011, sebagai berikut:
Sabtu malam
(18/06), Saya lewat jam setengah dua belas malam, saya beranjak dari kantor di
Mampang Prapatan menuju rumah di Depok. Meskipun kondisi jalanan masih cukup
ramai, hal ini wajar terutama pada malam Minggu. Namun hal yang tampak biasa
dan wajar berubah menjadi luar biasa dan menyebalkan karena adanya rombongan
sebuah pengajian.
Sejak sebelum memasuki kawasan Pasar Minggu, kepadatan jalan raya
mulai terlihat dan nampak tidak biasa karena volume kendaraan lebih banyak dari
biasanya. Bunyi klakson bersahutan, baik dari pengendara mobil, sepeda motor,
maupun angkutan umum. Semua tak lebih karena “kemarahan” akibat kemacetan yang
terjadi. Dan “parade” ini terus berlangsung hingga kawasan jalan Poltangan,
tempat pengajian digelar.
Kemacetan
semakin parah begitu memasuki Pasar Minggu, terutama saat memasuki terowongan
yang jalannya menyempit. Setelah masuk terowongan, saya melihat beberapa
mikrolet yang disesaki penumpang berbaju takwa dan kopiah putih, bukan hanya
bergelantungan, mereka juga memenuhi atap mikrolet. Yang mengejutkan lagi,
sebagian besar mereka adalah anak remaja yang kelihatannya masih SD atau SMP.
Di bagian belakang mikrolet dipajang spanduk putih yang ditulis dengan spidol
hitam bertuliskan, TEBET BERSOLAWAT, atau pada mobil yang lainnya, JUANDA-DEPOK
BERSOLAWAT, dan pada beberapa bagian ada juga tulisan bahasa Arab yang bacaanya
“Nurul Musthofa”, yang artinya “cahaya pilihan”.
Perjalanan berlanjut, dan semakin rusuh saja. Selain intensitas
suara klakson yang makin tinggi, laju kendaraan pun semakin lambat. Bukan itu
saja, beberapa jamaah muda yang saya sebut di atas juga mulai turun ke jalan,
entah untuk apa. Stres melanda. Tak bisa melawan, hanya boleh bertahan. Dan
saya hanya menggeleng dan menganggukkan kepala mengikuti irama klakson yang
dibunyikan sebagai satu-satunya cara meredam stres dan kemarahan.
Di sisi jalan,
tepatnya di pinggir rel kereta api yang tanahnya lebih tinggi dari jalan raya,
banyak sekali jamaah yang nongkrong sambil menyimak pengajian dan mondar-mandir
tak tentu arah. Beberapa jamaah yang kelihatannya dari satu keluarga berjalan
kaki ke arah berlawanan, bersama anak-anak mereka yang masih kecil. Di samping
itu, terlihat wajah yang pucat pasi dan kelelahan dari beberapa pengendara
mobil yang sempat saya tengok mukanya. Agresifitas para pengendara motor pun
sangat kentara. Mereka tidak membiarkan ada ruang kosong sekecil apapun di
depannya, dan tak hentinya membunyikan klakson memerintahkan kendaraan di
depannya supaya segera maju.
Laju kendaraan
perlahan membaik begitu mendekati pusat pengajian di seputar jalan Poltangan.
Setengah jalur menuju Lenteng Agung yang dijadikan majelis, dijaga ketat oleh
beberapa jamaah dan sedikit polisi serta dipagari dengan tali. Walau kendaraan
mulai berjalan lancar –sekalipun terseok-seok– beberapa pengendara masih
meluapkan kekesalannya dengan membunyikan klakson berulang kali. Kontan saja para
penjaga barikade marah. Mereka (penjaga barikade) meneriakkan ke para
pengandara supaya tidak membunyikan klakson lagi. Teriakannya begini, “Woi,
klakson, woi! Pada mau ngaji apa mau ngapain, sih!” Lho, ‘gimana sih? Yang
membunyikan klakson tentu saja bukan orang yang datang untuk mengaji, melainkan
mereka yang terganggu karena kemacetan ini. Dan tak lama setelah teriakan
tersebut, ada salah seorang yang berteriak, “b**gsat!”. Malu saya mendengarnya,
ada kata makian di tengah pengajian. Sambil melintasi para jemaah yang sedang
mengikuti pengajian, saya mencoba untuk tetap tenang dan sesekali mencuri
pandang ke arah pengajian karena penasaran, “apa yang disampaikan oleh sang
ustadz?” Anehnya, sang ustadz tidak ada di situ, melainkan sebuah proyektor yang
menayangkan sang Ketua Majelis sedang memberikan ceramah. Rasa penasaran saya
akan isi pengajian nihil, karena saya sama sekali tidak bisa mendengar apa yang
disampaikan oleh sang Ketua majelis di layar proyektor. Suara bising kendaraan,
klakson yang masih saja “meraung”, serta teriakan orang-orang memecahkan
konsentrasi ketika menyimak tausyiah sang ustadz yang tak dapat didengar dengan
baik. Setelah cukup sabar menanti, siksaan “efek pengajian di jalanan” pun
berakhir. Laju sepeda motor saya kembali kencang, dan tak ada lagi klakson
kemarahan. Kemacetan malam itu menyisakan kesan yang sangat mendalam sekaligus
banyak pertanyaan. Saya sangat terkesan, mengapa orang mau berbondong-bondong
datang ke pengajian seperti itu, padahal tidak semuanya mengikuti pengajian
dengan sungguh-sungguh, apalagi melihat cukup banyak anak-anak dan ibu-ibu yang
mengajak serta anaknya yang masih kecil untuk ikut pengajian.
Saya terkesan
bagaimana para jamaah dengan kompaknya bersatu demi tertibnya pengajian
tersebut (tidak berlaku untuk ketertiban di luar pengajian). Tapi di luar itu,
saya tak habis pikir, mengapa mereka memilih mengadakan pengajian di tengah
jalan raya yang jelas-jelas menganggu ketertiban umum? Bukankah mengadakannya
di tanah lapang yang luas atau masjid yang besar adalah pilihan (lebih) bijak?
Lalu, kemana aparat kepolisian yang bertugas menertibkan lalu lintas? Dan
pertanyaan terbesar adalah, apakah mereka, para petinggi majelis sadar akan
situasi ini? Kesemrawutan dan ketidaktertiban berlalu lintas yang terjadi
ketika jamaahnya mengadakan pengajin yang menyebabkan banyak pihak (terutama
pengendara) merasa tidak nyaman dan merasa terganggu? Sampai dimanakah batas
toleransi yang mereka miliki? Sadarkah mereka kalau kemacetan menimbulkan
banyak kerugian materil maupun imateril bagi orang lain (berapa cc bahan bakar
dan waktu terbuang, berapa banyak orang yang merasa kesal dan marah). Mengingat
banyak orang yang mengeluhkan setiap diadakannya pengajian yang selalu
mengganggu ketertiban umum?
Pemerintah
sudah seharusnya tegas kepada kelompok-kelompok seperti ini, yang menjadikan agama
(Islam) sebagai tameng, menjadikan majlis ta’lim sebagai kedok, untuk memenuhi
syahwat duniawi pemimpinnya. Caranya, jangan beri izin kepada majlis-majlis
seperti ini yang menggelar pengajian dengan cara menutup sebagian ruas jalan.
Jalanan bukan tempat mengaji. Masjid dan mushalla adalah tempat yang semestinya
untuk itu.
Apa-apa
yang mereka lakukan sama sekali jauh dari kaidah dan etika majlis ta’lim yang
semestinya mencerdaskan serta mencerahkan, justru kontraproduktif, yaitu
menstigma Islam sebagai biang kekacauan. Bahkan ketika mereka menggelar muludan
dengan nuansa yang seperti itu, apalagi diramaikan dengan letusan puluhan
petasan (mercon), maka apa-apa yang mereka lakukan sama sekali tidak akan
menumbuhkan kecintaan kepada Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam, tetapi
justru kebalikannya. Begitulah cara musuh-musuh Islam memfitnah Islam dan Nabi
Muhammad Rasulullah: mereka menggunakan atribut Islam, menyebut-nyebut cinta
Rasul, namun output yang mereka hasilkan adalah kebencian.
Kelompok-kelompok
seperti ini jelas berbahaya, sama bahayana dengan terorisme yang meledakkan
sejumlah bangunan dan menewaskan sejumlah orang seperti Bom Bali dan
sebagainya. Bahkan kelompok-kelompok seperti ini memang berbahaya. Karena
kelompok-kelompok seperti ini –secara sadar atau tidak— secara tidak langsung
membenamkan citra negatif ke dalam benak sejumlah orang terhadap Islam dan Nabi
Muhammad Shallallahu alaihi wasallam
Mereka –sadar atau tidak— menjalani perbuatan yang hakekatnya sama
dengan menggerogoti dan melakukan pembusukan dari dalam.
Penutup
Dari
fenomena yang telah diungkap diatas, Realitasnya di Indonesia, norma-norma yang
ada masih cenderung strukturalis, yakni melihat sesuatu berdasarkan posisi
binernya. Termasuk dalam hal identitas. Identitas yang diterima sebagai hal
yang umum hanya identitas laki-laki dan perempuan (konsekuensinya adalah relasi
yang dianggap sah adalah relasi heteroseksual), padahal kedua kategori tersebut
tidak cukup untuk mengakomodir identitas lain, misalnya identitas gay, lesbian,
biseksual, transeksual, transgender, maupun queer. Identitas tersebut kemudian
dianggap sebagai sesuatu yang “merusak” sistem yang telah dibangun oleh
pemahaman yang melulu biner. Disini terjadi pergulatan makna. Bahwa dalam
tataran pemikiran, wacana tentang identitas gay, lesbian, transeksual,
transgender dan queer menjadi wacana yang asing bagi pemahaman yang sudah
berpijak pada pola-pola stukturalis. Dalam tararan praktis, keasingan ini
diwujudkan dengan respon-respon yang cenderung menolak orang-orang gay,
lesbian, transeksual, transgender dan queer dengan alasan tidak sesuai dengan
norma walaupun dalam realitas mereka ada. Bagaimana pandangan kita tentang
fenomena yang telah merambah dari segala arah dan masalah ?
Daftar Pustaka
Ahmadi, Abu. Psikologi Sosial. Surabaya: Bina Ilmu, 1988
Alwisol. Psikologi Kepribadian. Cet.VI. Malang. UMM Pres, 2008
at-Thabrani, Abu al-Qasim Sulaiman ibn Ahmad ibn. Al-Mu'jam
al-Kabeer. juz III, Beirut: Dar al Fikr, 1980
Bracher, Mark. Jacques Lacan, Diskursus, dan Perubahan Sosial: Pengantar Kritik-Budaya Psikoanalisis.
Bandung: Jalasutra, 2005
Hidayati, Rahmi. Struktur
Kepribadian Dalam Perspektif
Psikoanalisa (Studi Kasus
Pada Lesbian). Skripsi
Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri (UIN) Malang. Tidak Diterbitkan.
2007
Horton, Paul B., & Chester L. Hunt. Sosiologi, Jilid 1 Ed.
Ke-VI, ( terj. Aminuddin Ram, Tita Sobari ). Jakarta: Penerbit Erlangga, 1993
Brook, Ann. Postfeminisme dan Cultural Studies. Bandung: Jalasutra.
1997
Munawir, A. fatah. Kamus Al-Munawwir, Arab-Indonesia
Terlengkap. ( Surabaya. Pustaka
Progresif. 1996
Poduska, Bernard. Empat
Teori Kepribadian (Eksistensialis, Behaviorisme, Psikoanalisa, Aktualisasi
Diri). Restu Agung:
Jakarta Pusat. 2000
Puspitosari, Hesti & Pujileksono, Sugeng. Waria dan Tekanan
Sosial. Malang : UMM Press, 2005
Sa’adah, Urin Laila. Pembentukan Identitas
Seksual Kaum Gay. Skripsi
Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri
(UIN) Malang. Tidak Diterbitkan. 2008
Santrock, John W.
Adolescence, Perkembangan Remaja.Jakarta: Erlangga, 2003
Tong, P. Rosemary. Feminis Thought. Bandung: Jalasutra. 1998
Majalah Cermin Dunia Kedokteran No. 126, tahun 2000.
Jakarta. PT. kalbe Farma, 2000
http://nahimunkar.com
www.media
muslim.info.
[1]. Ahmadi,
Abu. Psikologi Sosial. ( Surabaya: Bina Ilmu. 1988),
[2]
Alwisol. Psikologi Kepribadian. Cet.VI. ( Malang: UMM Pres. 2008 ), h. 8
[3].
Ibid
[4]
Puspitosari, Hesti & Pujileksono, Sugeng. Waria dan Tekanan Sosial. ( Malang : UMM Press, 2005 ) h. 44
[5]
Horton, Paul B., & Chester L. Hunt. Sosiologi, Jilid 1 Ed. Ke-VI, ( terj.
Aminuddin Ram, Tita Sobari ). ( Jakarta: Penerbit Erlangga, 1993), h. 207
[6]
Munawir, A. fatah. Kamus Al-Munawwir, Arab-Indonesia Terlengkap. ( Surabaya. Pustaka Progresif. 1996 ), h. 867
[7]
at-Thabrani, Abu al-Qasim Sulaiman ibn Ahmad ibn. Al-Mu'jam
al-Kabeer. juz III, ( Beirut: Dar al Fikr, 1980), h. 337
[8]
Ibid, h. 338
[9].
www.media muslim.info.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar